Bab 2. Penjilat

1305 Kata
Orang yang bertanya ke Alena adalah Ayah dari Rafli yang bernama Abraham Axelle pria blasteran Italian-France memiliki wajah tampan tidak jauh beda dengan Rafli. "Ah, tidak apa-apa, Tuan besar," jawab Alena yang menyekat sisa air matanya dengan tangan bergetar. Karena tidak percaya, Tuan Abraham mendekati Alena. Dia mengintimidasi sekretaris setianya itu. "Baik, kalau begitu. Kamu saya pecat," jawab Tuan Abraham dengan tegas dan suara dingin. Alena menghela napas panjang. Kenapa keduanya suka sekali pecat dia. Dan, apa salah dia. Alena menatap Tuan Abraham bos dan CEO yang baik dan pengertian ini. "Tuan, kenapa pecat saya lagi. Saya sudah dipecat tadi baru lima menit yang lalu. Masa saya harus dipecat lagi. Hidup saya itu, sudah rumit sekali, Tuan. Lebih baik, saya berkemas daripada dipecat untuk ke tiga kalinya," ucap Alena yang keceplosan mengatakan dia dipecat dan dia kembali ke mejanya dan merapikan semua barangnya. Dia ingin pergi ke ruangan HRD untuk ambil pesangon, paling tidak uang itu bisa menjadi modal dia untuk buka usaha toko kue. Mendengar perkataan Alena, Tuan Abraham mengepalkan tangannya. Dia tidak menyangka kalau anaknya berani memecat sekretaris terbaik di perusahaan ini. "Anak tidak tahu diri. Dia pikir siapa dia, baru saja gantikan aku, sudah main pecat saja. Tunggu kamu, Rafli," ujarnya yang segera masuk ke dalam ruangan untuk meminta penjelasan kepada Rafli kenapa dia memecat Alena. Di dalam ruangan, Rafli yang memiliki sifat playboy, menghubungi wanitanya, dia bercanda dan tertawa. Saat pintu dibuka dan suara teriakkan dari sang empunya perusahaan membuat Rafli mengakhiri panggilannya. "Rafli Damian Axelle! Anak tidak tahu diri! Kenapa kamu memecat Alena!" pekik Tuan Abraham hingga membuat Rafli melotot dan Alena yang di luar juga terkejut. "Tuan Abraham, marah besar sepertinya. Aduh, bagaimana ini," ucap Alena yang ketakutan melihat kemarahan bosnya itu. Alena terlihat panik karena dia tidak menyangka kalau yang dia ucapkan tadi langsung menjadi bumerang untuk sang CEO. Asisten Rafli yang berjalan menuju meja Alena melihat ke arah Alena yang panik dan krasak-krusuk. Karena penasaran, asisten Rafli berhenti dan bertanya. "Sekretaris Alena, kenapa wajahmu pucat?" tanya asisten Rafli yang berdiri tepat di belakang Alena. Alena terlonjak kaget karena kemunculan asisten CEO yang tiba-tiba. "Ya, Tuhan. Kenapa Tuan asisten mengejutkan saya. Kalau saya, kena serangan jantung bagaimana. Saya masih muda dan belum juga menikah," jawabnya sambil mengusap dadanya yang berdegub kencang. Arvin, menaikkan alisnya, dia benar-benar tidak mengerti ada apa dengan sekretaris bosnya ini. Arvin yang hendak masuk ditahan oleh Alena. "Jangan, ada Tuan Abraham. Kalau Tuan asisten mau masuk, nanti saja." Alena memegang tangan Arvin dan menahan Arvin agar tidak masuk. "Tuan Abraham, ke sini? Kapan?" tanya Arvin. "Tadi," jawabnya. "Mau apa?" tanya Arvin dijawab dengan gelengan kepala. Arvin hanya diam dan menunggu di luar bersama Alena. Dia memperhatikan Alena merapikan barangnya. Dia menyerngitkan keningnya melihatnya Alena merapikan barangnya. Alena yang tahu dirinya dipandang dan apa yang dipikirkan oleh asisten tuannya ini langsung angkat bicara. "Saya dipecat. Makanya, saya merapikan barang saya," jawabnya. Arvin melotot mendengar perkataan dari Alena. Saat hendak membuka mulut, terdengar suara yang cukup kencang dari dalam ruangan CEO. Hingga membuat keduanya sama-sama saling memandang satu sama lain. "Apa maksud kamu memecat sekretaris, Papi? Apa kamu tahu, dia sangat bagus dalam bekerja, teliti dan dia juga sangat membantu kamu nantinya, makanya Papi rekomendasikan dia sebagai sekretaris kamu. Keterlaluan kamu, apa mau kamu, Rafli?" tanya Tuan Abraham dengan wajah sudah merah padam. Rafli mendengar pertanyaan dari papinya, Tuan Abraham berdecih. Dia tidak menyangka kalau papinya marah kepada dia hanya karena sekretarisnya itu. "Papi, apa dia mengadu kepadamu?" tanya Rafli dengan tenang. "Tidak, dia tidak mengatakan apapun. Kamu ini benar-benar tidak bisa dikasih hati. Apa kamu pikir perusahaan kamu sudah hebat sehingga kamu berbuat seperti ini di perusahaan Papi. Papi tidak masalah kamu memecat karyawan kamu di perusahaan kamu itu, tapi tidak di sini. Paham kamu, Rafli," jawab Tuan Abraham dengan suara tegas. Rafli mengepalkan tangannya, dia tidak menyangka gara-gara sekretarisnya itu, dia dimarahi oleh Tuan Abraham. Rafli terpaksa menerima permintaan kedua orang tuanya untuk mengurus perusahaan milik keluarga. Dan perusahaan miliknya tetap jalan walaupun dia harus ekstra untuk mengurus perusahaan miliknya. "Aku sudah punya asisten. Aku juga bisa memilih siapa yang bekerja denganku. Kita tidak butuh karyawan terlalu banyak. Asistenku, bisa menyelesaikan jobdisc sekretaris, jadi dia tidak diperlukan. Dan, perusahaanku jauh lebih besar dari ini. Aku hanya mengikuti keinginan Mami," jawabnya. "Baik, kalau kamu mengatakan tidak butuh karyawan. Papi akan pecat semua devisi. Jadi, kamu dan asisten kamu yang kerjakan semuanya. Bukannya, kamu hebat? Perusahaanmu juga besar bukan, jadi tidak masalah jika seluruh karyawan perusahaan ini Papi pecat, semua karyawan. Dan seluruh pekerjaan kamu yang akan kerjakan sendiri urusan kantor ini dengan asisten kamu itu. Bagaimana, kamu setuju?" tanya Tuan Abraham dengan senyum menyeringai. Rafli tidak bisa berkata-kata, dia mati kutu. Mau lawan juga percuma. Yang ada, dia kalah. Tuan Abraham senang karena Rafli tidak bisa menjawabnya, dia bungkam seribu bahasa. Anak keras kepala ini harus dikeraskan juga jika tidak maka akan sewenang-wenang. "Dia tetap sekretaris kamu. Suka atau tidak suka. Jika sampai aku dengar kamu memecat dia lagi, maka bersiap saja, aku akan hancurkan perusahaan kamu. Jangan main-main kamu denganku. Sampai sini kamu paham, Rafli Damian Axelle?" tanya Tuan Abraham dengan sombong dan itu membuat Rafli semakin marah dengan sekretarisnya itu. Setelah puas mengancam Rafli, Tuan Abraham segera pergi dari ruangan Rafli untuk bertemu dengan Alena. Alena dan Arvin yang melihat pintu terbuka segera bangun dan memandang ke arah Tuan besarnya yang baru saja keluar dari ruangan CEO. "Kamu tidak perlu rapikan barangmu. Kamu tetap bekerja, bantu anak keras kepala itu. Saya yakin kamu pasti bisa bekerjasama dengan dia. Arvin, kabari saya jika sekretaris saya ini, dipecat oleh bosmu itu," ucap Tuan Abraham. Arvin mendengar perintah dari Tuan Abraham hanya menganggukkan kepala. Begitu juga dengan Alena, dia terpaku dengan perkataan Tuan Abraham. Rasanya campur aduk. Dia akhirnya lega karena dia tidak jadi dipecat. Tuan Abraham segera pergi, dia akan bertemu dengan teman lamanya. Sedangkan, di dalam ruangan, Rafli sudah tantrum, dia memukul meja karena kesal dengan Alena. "Sekretaris tidak tahu diri, pengadu, penjilat. Awas kamu, aku akan balas kamu. Lihat saja, sampai kapan kamu bertahan kerja dengan aku. Aku akan pastikan kamu mengundurkan diri dengan suka rela," ujarnya yang ingin membalaskan dendam ke Alena karena dialah, dirinya dimarahi habis-habisan oleh papinya itu. "Arvin, masuk dan bawa sekretaris Papi ke sini, sekarang!" teriak Rafli dengan napas naik turun. Arvin yang mendengar teriakkan bosnya segera masuk dan tidak lupa dia membawa Alena ikut masuk dengan menyeretnya. Jantung Alena berdegub kencang, dia seperti masuk ke dalam ruang sidang yang memperkarakan kasus kriminal. Terlebih lagi, saat dia melihat wajah Rafli yang menyeramkan. "Habislah, kamu Alena. Tamat riwayat kamu saat ini, beruang kutub sudah marah padamu," ucap Alena pelan dan itu masih bisa didengar oleh Arvin hingga Arvin menoleh ke arahnya. "Beruang kutub," cicit Arvin membuat Alena tersenyum kecil ke arah Arvin. "Arvin, bawa ini dan atur pertemuan dengan seluruh devisi, sekarang!" perintah Rafli menyerahkan map ke Arvin. Tanpa menunggu lama, Arvin mengambil amplop dan pergi dari hadapan Rafli dan meninggalkan Alena. Alena yang melihat Arvin pergi, memandang dan memberikan tatapan memohon kepada Arvin untuk membawanya pergi. Arvin tidak tega, tapi dia takut dengan kemarahan bosnya itu. Lebih baik pergi daripada kena amukan sang CEO. Alena pasrah dan dia masih memainkan jarinya, dia ingin tenang, tapi hawa di ruangan tersebut membuat napasnya mulai sesak. Seperti kehabisan oksigen. Terlebih lagi, Rafli mendekati dia. "Masih mau kerja di sini?" tanya Rafli dengan suara dingin. Alena mendengar kata masih mau kerja di sini, dijawab dengan menganggukkan kepala. Alena memberanikan diri untuk melihat Rafli yang jaraknya sangat dekat. "Kalau begitu aku punya kerjaan untukmu. Dengar baik-baik," ucap Rafli dengan senyum menyeringai dan dia berbisik di telinga Alena hingga membuat Alena melotot. "Apa!" teriak Alena dengan kencang dan wajah berubah memerah dan pandangannya juga tajam ke arah Rafli yang saat ini terlihat tenang dan biasa saja. "Bagaimana, mau?" tanya Rafli tanpa dosa sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN