BAB 6

1843 Kata
Gala lekas mengejar mantan istrinya yang membawa gadis kecil yang terlihat mirip dengannya, tapi sayang kepergian Awina tak bisa Gala jangkau lagi. Ia ingin menyusul tapi ia ingat bawa ia sedang bersama Nadia keponakaannya, kenapa lagi-lagi Tuhan mempertemukan dengan Awina secara mendadak dan tiba-tiba. Sepanjang perjalanan pulang Gala masih memikirkan gadis yang sangat mirip dengannya tadi, hingga Gala ada berpikiran bahwa saat perpisahannya dengan Awina mantan istrinya itu sedang mengandung, aneh bila gadis kecil itu adalah anak angkat Awina yang bisa mirip dengan wajahnya. Hingga kebengongannya ini mendapat protes dari Nadia. “Om kenapa sih? Daritadi diam aja—Nadia kan lagi ngomong.” protes Nadia pada pamannya itu. “Hah—kenapa Nad, kamu tadi bilang apa?” “Enggak jadi, udah lupa Nadianya, lagin om diam aja.” “Nad, om boleh tanya enggak?” Gala bertanya dengan Nadia untuk menanyakan gadis yang ia tolong dari timpukan bola kala itu. “Tanya apa om? Kalo tanya soal pelajaran Nadia enggak mau jawab!” “Ngasal banget—itu kamu inget kan waktu om nolongin temen kamu yang hampir kena timpuk bola, nah namanya siapa kamu tahu enggak?” “Kapan om?” “Ya dua minggu lalu, Nad, masak kamu udah lupa.” Gala mencoba membuat Nadia ingat kembali. “Ohh—yang om langsung tarik itu bukan?” Gala mengangguk cepat. “namanya Allura om panggilannya Rara, dia enggak sekelas sama Nadia sih, Nadiakan di kelas 3B nah si Rara ini dikelas 3A, emang kenapa om?” “Tanya aja, terus-terus kamu tahu rumahnya enggak?” “Om Gala suka ya sama Allura?” ngaco Nadia dengan menatap pamannya. “Ngawur kamu, masak iya om suka anak kecil seumuran kamu,” Nadia dibuat diam oleh omnya, pasalnya anak jaman sekarang ini sungguh imajinasinya sangat kreatif, ya masak dirinya menyukai anak kecil yang lebih pantas menjadi anaknya daripada kekasihnya. Kalo yang menjadi pacarnya itu Ibunya Allura masih mending karena sama-sama dewasa. Gala kembali terdiam, masih memikirkan gadis kecil seumuran Nadia itu. Ia butuh menyelidiki kebenaran Allura sebagai anak Awina bila itu benar anak angkat Allura. “Tapi ya om dia tuh kasihan banget tahu, Nadia suka kasihan lihat dia kalo Nadia lagi diantar Papa sampai kelas dia lihat Nadia dan teman-teman lain lagi dianter Papanya.” “Kenapa gitu, Nad?” “Dia enggak punya Papa, om.” “emang Papanya kemana?” “Enggak tahu, dia cuman sama Mamanya aja.” “kalo begitu jangan sampai di bully, mungkin Papanya memang lagi kerja atau sibuk.” “Iya, enggak kok—Nadia mah baik.” “Anak pinter.” Ada sesuatu yang lega di hatinya bahwasanya Awina belum kembali menikah, awalnya Gala mengira bahwa Awina sudah kembali menikah dan Allura ini adalah hasil pernikahannya yang kedua. Perih memang bila melihat Awina dimiliki laki-laki lain, sisi laki-lakinya tak merestui itu. Bila ia masih diberikan waktu untuk kembali memulai dengan senang hati Gala menjaga Awina kembali dan tak akan membiarkan ada perpisahan lagi. Satu tahun lamanya hidup Gala hancur bahkan tak teratur. Mengurusi dirinya saja tak ia pikiran apalagi pola hidupnya. Ibunya saja sampai heran dan selalu memberikan support pada dirinya dasarnya Gala memang sudah bucin pada Awina namun harus berpisah karena ia dituduh berselingkuh. “Om makasih ya es krimnya, besok-besok lagi.” ujar Nadia dengan cengiran khasnya. “Yeee—sama-sama.” Gala ikut keluar dari mobilnya dan disana sudah ada Ibu dari Gala, wanita yang melahirkan Gala itu menggelengkan kepalanya melihat tingkah putranya yang selalu sama seperti ini. Dalila adalah wanita terluar biasa yang menemani Gala kala anak laki-lakinya itu terpuruk. “Kamu ini jangan sering-sering manjain Nadia.” “Biarinlah Ma, Nadia tuh udah kaya anak buat Gala.” “Kamu ini selalu aja jawabnya begini.” Gala membawa Dalila masuk ke rumah. “Ga, mau sampai kapan kamu begini? Hidup tuh jalan terus, umur kamu juga bukan umur yang muda lagi, enggak mau nikah lagi apa kamu ini.” Dalila mulai mengularkan dalil-dalilnya. “Gampanglah Ma, Gala masih ngejar seseorang dulu, makanya Mama doain Gala dong biar bisa dapatin dia lagi.” “Siapa? Awina?” Gala mengangguk semangat. “Hhh—Gal, Gal mau sampai kapan sih kamu ada disitu mulu—Awina udah bahagia kamu masih ditempat—besok kamu Mama kenalin ke anak temannya Mama ya, mau?” “Nggak! Aku enggak mau ya Ma—Gala cuman minta Mama buat support dan doain Gala buat dapetin Awina lagi, Awina masih sendiri Ma.” “Enggak memungkiri kalo Awina sudah ada pacar Gala.” “Maka dari itu sebelum janur kuning melengkung Gala mau pepet Awina lagi Ma,” kekeuh Gala. “Susah ngomong sama kamu ini.” Dalila menggelengkan kepalanya karena sudah kesal dengan tingkah anaknya ini. ∆∆∆ Allura menatap kesal dengan laki-laki yang menatap Ibunya dengan intens, ia tak suka dengan laki-laki yang dibawa Eyang Utinya itu. Jiwanya seperti memberikan feelling bahwa laki-laki itu tak serius menjalin hubungan dengan sang Ibu. Karena tak ingin Ibunya ada hubungan dengan pria didepannya ini, Allura menyenggol lengan Ibunya. “Mama, aku enggak suka sama cowok itu.” jujur Allura. “Sssttt—diam dulu Ra, nanti dengar Uti.” “Mau pulang Mama, aku enggak mau disini.” ajak Rara. “Allura, yuk ikut Uti aja kita cari jajanan.” Elliana mengajak cucunya. “Nggak! Allura mau sama Mama.” Rara memengang lengan Awina dengan erat. “Kamu katanya mau kentang yang panjang-panjang itu.” “Nggak! Maunya sama Mama aja nanti—Eyang Uti kalo mau beli sendiri aja.” “Allura!” Awina mengingatkan putrinya untuk tak boleh kasar pada orangtua. “Ya sudah-sudah.” “Allura mau main icesketing nggak?” pria itu menawari permainan. “Nggak, main aja sendiri!” tolak mentah-mentah Allura. “Ra—“ Awina menggeleng mengingatkan Allura lagi. “Mau pulang Mama!” pinta Allura dengan wajah ingin menangis. “Ya sudah-ya sudah.” “Ma, Awina ajak Rara pulang dulu—kumpulnya lain waktu lagi ya.” Awina mencari alasan untuk segera pergi dari sana. Elliana menarik nafasnya kesal. “Ya sudah, kamu hati-hati dijalan—Rara besok-besok nggak beloh gitu ya.” “Iya—“ “Kami pamit Ma—mari Mas Rudi.” Awina dan Allura pamit dari sana, ada senangnya Rara ikut dengannya ia bisa terbebas dari pertemuan tadi. Sebenarnya Awina masih menikmati kesendiriannya dengan Allura itu sudah cukup, apalagi ia memang tak ingin munafik ia masih mencintai Gala, mantan suaminya. Namun sebagai wanita yang kuat ia bertahan tanpa Gala. Bohong ia tak menginginkan Gala berada disampaingnya apalagi saat menghadapi putrinya yang makin kesini semakin tak bisa lagi ia tenangkan. Akhir-akhir ini Awina berpikir apa sudah saatnya ia harus mengenalkan Allura pada Papanya, laki-laki yang menolongnya tempo hari saat hampir saja kepalanya dihantam dengan bola kala itu. “Ma, aku enggak mau punya Papa kaya Om Rudi, matanya jelalatan ke Mama!” “Mama juga enggak mau Ra, cuman Mama kan menghormati Utimu—tapi Mama enggak suka sama sikap Rara yang tadi, kalo enggak suka cukup Rara aja yang tahu, ya.” “Iya Mama.” Awina menggelus kepala putrinya, menciumnya dengan sayang—Allura adalah harta Awina satu-satunya bila putrinya tak suka maka Awina juga tak akan mengambil resiko. Biarkan semua berjalan dengan apa adanya, mungkin Tuhan masih menginginkan Awina hidup mengurus putrinya terlebih dahulu, memberikan perhatian khusus untuk putrinya yang menjadi peran Ibu serta Ayah dalam kehidupan putrinya. ∆∆∆ Saat ini Gala tengah menunggu temannya yang memang pakar melacak orang, karena Gala tak ingin kecolongan kembali dan ia semakin yakin bahwa gadis kecil yang selalu bersama Awina, yang dari wajahnya mirip dengannya itu adalah putrinya. Ia tahu melakukan seperti ini adalah tindakkan tak baik, namun mau bagaimana lagi sebelum ia bertemu dengan Awina ia ingin memastikan, ia ingin mencari tahu sebuah kebenaran tentang gadis kecil bernama Allura itu. Apakah nanti Gala akan marah kala mengetahui sesuatu tentang sebuah kebenaran bila Allura adalah darah dagingnya, jawabannya adalah tidak, bahkan Gala akan merasa bersalah bahwa ia menjadi Ayah yang tak tahu diri, yang tak pernah tahu keberadaan putrinya. “Gala!” panggil teman Gala yang bernama Danis itu. “Dan, Apa kabar?” “Baik-baik, lo gimana terakhir gue ketemu lo kacau banget kan.” Gala tertawa dan mengangguk. “Sekarang udah baik-baik aja nih gue.” “Syukurlah.” ujar Danis senang. “jadi ada apaan nih Pak Jaksa ampe manggil gue.” “Gini, gue butuh pertolongan lo buat cari tahu tentang mantan istri gue, si Awina.” “Ahh-elahh Pak, masih aja jadi bucin!” “Ini beda masalahnya Dan.”  “Ada apaan emangnya?” Danis kepo ingin tahu. “Beberapa hari lalu gue ada lihat Awina gandeng gadis kecil dan itu mirip sama gue—Awina bilangnya ke gue kan itu anak sodaranya yang dia angkat jadi anaknya—logikanya dan, kalopun itu anak angkat enggak mungkin kan semirip gue.” “Serius?” Danis terbelalak. “Makanya dari itu gue minta tolong lo buat cari tahu itu.” “Oke, bisa diatur Pak Jaksa—secepatnya gue atur tim gue, seminggu inilah hasilnya bakal lo terima.” “Thanks Dan.” Satu jalan keluar sudah ia lampui, sebentar lagi ia akan menunjukkan pada dunia bahwa ia bisa kembali memiliki Awina hanya untuk dirinya. Kata orang jangan dulu sombong bila kenyataan belum ia dapat, namun kali ini beda Gala adalah laki-laki yang optimis bahwa ia bisa kembali membawa Awina kembali pada dirinya. Setelah pertemuannya dengan Danis kala itu, hari-hari Gala tak bisa dikatakan tenang, ketar-ketir menerima hasil dari Danis bahkan ia berdoa agar semuanya berjalan dengan yang ia inginkan. Beberapa hari ini ia juga tak menghubungi Awina untuk sekedar tanya, Gala membiarkan dirinya sendiri yang mencari bukti. Dan saat bukti ia dapat ia ingin mengatakan pada Awina untuk tak bisa lagi lari dari dirinya dan putrinya akan mendapat kasih sayangnya. Putrinya tak akan lagi merasakan iri pada teman-temannya, ia akan selalu ada untuk putrinya menjadi ayah terhebat untuk putrinya. Suara panggilan ponselnya membuat Gala mengalihkan dari pikiran-pikiran tentang Awina dan Allura. Nama Danis tertera disana, temannya itu memang sangat bisa diandalkan bahkan belum sampai seminggu hasilnya sudah bisa ia terima. “Gal, gue udah ada hasilnya nih, gue anter atau lo kesini?” “Gue kesana sekarang, tunggu gue!” Gala langsung menutup panggilan tersebut. Gala memang memiliki tingkat kesabaran tipis, ia mengebut dengan kecepatan yang dibilang gila, karena ketidak sabarannya menerima hasil yang divari Danis. Dengan cepat Gala turun dari mobilnya menuju kantor Danis yang sudah dihapalnya itu, sedangkan Danis sudah menunggu dirinya di lobi. “Gal!” “Gimana hasilnya?” Senyum Danis mengudara, “Lo baca sendiri deh, ke ruangan gue mau kagak?” “Boleh!” Gala membuka amplop coklat itu tanpa sabar, lantas ia mengeluarkan sebuah kertas putih berisi tiga lembar. Gala membaca dengan seksama tak ingin satu hurufpun tertinggal. Hingga akhirnya ia menemukan kalimat bahwa Allura Faine Permadi adalah darah dagingnya, putrinya dengan Awina kala itu, tangis Gala pecah saat itu bahwa perasaannya selama ini tak pernah salah. “Dan, Allura anak gue—anak gue sama Awina..” ∆∆∆
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN