Emir

1698 Kata
Setelah kejadian di rumah Ardi waktu itu. Entah kenapa setiap bertatap muka dengan Devan, jantung Olivia selalu berdetak dengan sangat cepat. Olivia menampik jika ia memiliki perasaan khusus untuk atasannya itu. Apalagi, baru beberapa bulan yang lalu Olivia resmi menyandang status janda, dan ia juga tidak mungkin bisa langsung jatuh cinta secepat itu. Olivia menyentuh dadanya, lebih tepatnya tepat di jantungnya. Dimana saat ini jantung itu berdetak dengan sangat cepat. Satu jam lebih ia menghabiskan waktunya di ruangan Devan untuk mendiskusikan soal kerja sama yang akan Devan ajukan kepada salah perusahaan yang lebih besar dari perusahaannya. Nggak! Gue nggak mungkin jatuh cinta sama Pak Devan. Apalagi hanya gara-gara sikap manisnya yang hanya sekali terjadi itu. Emir. Dia adalah sahabat Devan sejak kecil. Emir baru saja pulang dari Amerika. Ia ingin bertemu dengan sahabat masa kecilnya itu. Untuk itu, setibanya di bandara, Emir langsung meluncur ke kantor Devan. Emir mengernyitkan dahinya saat melihat seorang wanita, yang tak lain adalah Olivia, tengah berdiri di depan pintu ruangan Devan sambil mengusap-usap bagian dadanya. “Siapa wanita cantik itu? apa dia salah satu karyawan Devan? Lalu, apa yang dia lakukan disana?” Daripada menahan rasa penasarannya, Emir memutuskan untuk melangkah mendekati Olivia. “Apa yang sedang kamu lakukan disini?” tanyanya saat sudah berdiri di depan Olivia. Olivia membulatkan kedua matanya. Ia lalu menurunkan tangannya dari dadanya. “Maaf. Anda siapa ya? Anda sedang mencari siapa?” tanya Olivia balik. Emir menaikan sebelah alisnya, “kamu itu aneh ya. Ditanya malah balik nanya!” Untung cantik. Kalau enggak udah gue caci maki dia. “Apa Devan nya ada?” tanya Emir kemudian. “Apa Anda sudah membuat janji dengan Pak Devan?” Emir mengernyitkan dahinya, ‘tunggu-tunggu. Sejak tadi dia terus menginterogasi gue. Apa jangan-jangan dia sekretarisnya Devan?’ “Belum. Tapi tolong katakan pada atasan kamu kalau Emir mencarinya.” “Baik. Silahkan Anda tunggu sebentar.” Olivia lalu membalikkan tubuhnya, menggerakkan tangan kanannya untuk mengetuk pintu. Setelah mendengar sahutan dari dalam, Olivia lalu membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan itu. “Ada apa lagi? jangan bilang kalau kamu masih ingin berlama-lama di ruangan saya,” sindir Devan sambil menyungingkan senyumannya. Olivia menelan ludah. Apa wajah gue masih memerah? Itu yang dipikirkan Olivia saat ini. “Ada yang ingin bertemu dengan Anda.” “Siapa?” “Hai brother,” sapa Emir yang langsung masuk ke dalam ruangan Devan sebelum Olivia menyuruhnya. “Hai... kapan lo sampai di Jakarta?” Devan lalu beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya untuk memeluk sahabat terbaiknya itu. “Baru saja. Gue langsung kesini untuk menemui lo,” sahut Emir lalu melepaskan pelukan mereka. Emir menatap Olivia, ia lalu mengedipkan sebelah matanya. Olivia membulatkan kedua matanya. “Kalau begitu saya pamit undur diri,” pamitnya. “Tunggu!” seru Devan saat melihat Olivia mulai melangkahkan kakinya. “Tolong buatkan kopi untuk saya dan tamu saya,” lanjutnya. Olivia menganggukkan kepalanya, “baik, Pak.” Setelah itu Olivia kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu dan keluar dari ruangan itu. Devan mengajak Emir untuk duduk di sofa. “Apa lo akan menetap di Jakarta?” Emir menganggukkan kepalanya, “bokap gue minta gue untuk mengurus perusahaannya. Padahal gue masih malas mengurus masalah perusahaannya.” “Gue awalnya juga kayak lo. Tapi lama-lama menyenangkan juga,” ucap Devan dengan senyuman di wajahnya. Emir menyipitkan kedua matanya, “apa itu karena sekretaris lo yang bening itu?” godanya. Devan menelan ludah. Ia merasa seperti tengah tertangkap basah diam-diam memperhatikan sekretarisnya. “Sembarangan! Ya murni karena pekerjaanlah,” elaknya. Emir berpura-pura percaya. “Oya, gue punya kabar soal Erin.” Erin adalah sahabat masa kecil Devan dan Emir. Erin diam-diam menyukai Devan, dan hanya Emir yang tau. “Memangnya Erin kenapa? bukankah dia ingin menjadi model terkenal?” Itu yang Devan dengar terakhir kali tentang kabar sahabatnya itu. Emir menganggukkan kepalanya, “tapi, dia akan kembali di Jakarta. Katanya dia sangat merindukan lo.” “Rindu? Terus selama ini dia kemana aja saat gue kuliah di Amerika? Ngajak ketemuan juga nggak,” sewotnya. Olivia mengetuk pintu, setelah itu ia membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan atasannya itu. Olivia meletakkan dua cangkir kopi ke atas meja. “Silahkan diminum, Pak, kalau begitu saya permisi dulu,” pamitnya kemudian. “Tunggu!” seru Emir membuat Olivia mengurungkan niatnya untuk melangkahkan kakinya. “Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” “Siapa nama kamu?” Emir sejak tadi memang sangat penasaran dengan nama wanita cantik yang entah mengapa membuatnya sedikit tertarik. “Olivia,” sahut Olivia. Emir tersenyum, “apa saya boleh minta nomor ponsel kamu?” Olivia dan Devan mengernyitkan dahinya. “Buat apa lo minta nomor telepon sekretaris gue?” tanya Devan penasaran. “Ya... nggak apa-apa dong. Siapa tau kami bisa berteman. Ya ‘kan Olivia?” tanya Emir sambil mengedipkan sebelah matanya. “Olivia, saya sudah tidak butuh apa-apa lagi. Kamu bisa keluar sekarang?” Enak aja main minta nomor telepon Olivia! Aku aja nggak punya nomor telepon Olivia. Olivia menganggukkan kepalanya, “kalau begitu saya pamit undur diri,” ucapnya lalu melangkah menuju pintu dan keluar dari ruangan itu. Emir tertawa, “kenapa? apa lo cemburu? Apa lo nggak suka gue minta nomor telepon Olivia?” sindirnya. “Jangan sembarangan bicara. Mana mungkin gue cemburu sama sekretaris gue sendiri. Gue cuma nggak suka, lo macam-macam sama karyawan gue, karena gue tau siapa lo itu.” Devan mengambil secangkir kopi dari atas meja. Ia lalu mulai meniup kopi panas yang masih mengebulkan asapnya, pertanda kopi itu belum lama dibuat. Kemudian, Devan mulai meneguknya secara perlahan, menikmati rasa nikmat dari kopi buatan Olivia. Olivia memang sangat pandai membuat kopi. Kopi ini rasanya pas di lidah. Emir mengernyitkan dahinya saat melihat Devan yang begitu menikmati kopi di tangannya. “Apa senikmat itu rasanya?” tanyanya penasaran. “Kalau lo penasaran, kenapa nggak lo coba sendiri,” sahut Devan lalu kembali meneguk kopi di tangannya. “Awas ya kalau ternyata nggak enak!” ancamnya. Emir lalu mengambil secangkir kopi itu. Ia mulai melakukan apa yang tadi Devan lakukan, karena kopi itu benar-benar panas. Setelah itu, ia baru mulai meneguknya secara perlahan. “Gimana? Enak nggak? Kalau nggak enak, biar nanti gue protes sama Olivia,” godanya. Emir menggelengkan kepalanya, “jangan!” serunya setelah ia menelan cairan kopi yang ada di mulutnya. “Kopinya enak. Sepertinya bukan hanya orangnya yang bikin gue tertarik, tapi kopi buatannya juga,” lanjutnya. Devan yang terkejut saat mendengar ucapan Emir, sontak langsung menyemburkan cairan kopi yang ada di mulutnya tepat di baju Emir. Dan tentu saja Emir mengumpat Devan. Apapun keluar dari mulutnya. “Aish! Apa-apaan sih lo! Lo punya dendam sama gue, hah!” umpatnya lagi. Devan mengulum senyum, ‘rasain! Emang enak!' batinnya. “Sorry sorry, gue nggak sengaja. Habis lo sendiri bikin gue terkejut.” “Sinting lo! Baju gue jadi kotor nih!” seru Emir sambil mencoba membersihkan sisa-sisa tumpahan kopi itu. “Tenang, gue ada baju cadangan kok. Lo bisa pakai itu.” “Mana hari ini gue ada kencan dengan Siska lagi!” “Memangnya lo nggak pulang dulu apa? masa lo mau kencan dengan penampilan seperti itu? kalau gue jadi Siska, gue ogah kencan sama lo,” sindir Devan. “Lo nggak tau siapa Siska. Mau gue berpenampilan kayak gembel, dia mana peduli. Yang dia pedulikan itu duit gue.” “Kalau lo udah tau Siska itu cewek matre, kenapa lo masih mempertahankan dia? Memangnya nggak ada cewek lain apa?” Emir beranjak dari duduknya, “karena gue masih butuh tubuhnya buat muasin kebutuhan biologis gue. Dia selalu ada disaat gue butuh pelepasan, dan satu hal yang harus lo tau, gue nggak suka pakai wanita panggilan untuk muasin hasrat gue.” Devan berdecak, “memangnya lo nggak takut kena penyakit? Gue mah ogah!” Emir tertawa, “jangan bilang sampai sekarang lo belum pernah making love dengan pacar-pacar lo?” Devan menyungingkan senyumannya, “memangnya lo pikir gue pria nggak normal apa? tapi, gue juga pilih-pilih kali,” decaknya. “Terserah lo mau ngomong apa! sekarang dimana baju lo? Gue mau ganti baju.” “Dibelakang rak buku itu ada ruangan. Lo ambil aja baju yang lo suka.” Devan lalu beranjak dari duduknya, “setelah itu lo pergi dari sini. Gue masih banyak pekerjaan!” lanjutnya lalu melangkah menuju kursi kerjanya. Emir melenggang menuju ruangan yang ada di belakang rak buku yang ada di ruangan Devan. Ia lalu mengambil salah satu kemeja Devan dan memakainya. “Gue balik dulu. Oya, Erin berpesan sama gue, dia minta lo menjemputnya besok siang di bandara.” Tanpa menunggu jawaban dari Devan, Emir melenggang keluar dari ruangan Devan. Ia melihat Olivia yang tengah berkutat dengan laptop yang ada di atas meja kerjanya. “Halo cantik,” godanya saat sudah berdiri tepat di depan meja kerja Olivia. Olivia membulatkan kedua matanya, ia lalu beranjak dari duduknya. “Pak Emir!” “Panggil Emir aja, biar lebih akrab.” “Tapi...” Emir melihat jam di pergelangan tangannya, “sorry ya cantik. Aku nggak bisa lama-lama. Tapi, aku janji, aku akan sering datang kesini untuk bertemu denganmu,” godanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Astaga! Kenapa teman Pak Devan tak jauh beda dengan Pak Devan. Emir lalu mengambil dompetnya dari saku celananya, ia lalu mengambil kartu namanya dan memberikannya kepada Olivia. Olivia tidak langsung menerima kartu nama itu. “Itu untuk apa, Pak?” tanyanya bingung. Emir menarik tangan Olivia, lalu meletakkan kartu namanya di telapak tangan Olivia. “Sudah aku bilang. Jangan panggil pak. Panggil Emir aja. Disitu ada nomor ponsel aku. Siapa tau kamu mau menelponku nanti malam,” godanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Ni orang sakit mata kali ya! Dari tadi kedap kedip nggak jelas gitu! “Bye cantik. Aku pergi dulu.” Emir lalu melangkah pergi meninggalkan Olivia. “Orang itu yang aneh atau gue yang aneh ya? Kenal juga nggak, baru juga ketemu, lagaknya kayak udah kenal lama aja!” Olivia lalu kembali mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya, “bikin mood gue jelek aja!” Olivia lalu membuang kartu nama Emir ke tong sampah. Nggak penting juga. “Lebih baik gue menyelesaikan pekerjaan gue sekarang juga, setelah itu makan siang. Mana perut gue laper banget lagi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN