5. Pasar Malam

1153 Kata
25 Juli 2015... Tak butuh beberapa jam, aku dan Abdee akhirnya sampai di arena pasar malam. Tapi karena keadaan ramai, kami jadi harus mencari tempat parkir terlebih dahulu. Untungnya kami mendapatkannya setelah hampir 10 menit mencari tempat perkir.  "Nggak apa-apa 'kan kita jalan dari sini?" Abdee bertanya padaku. Jarak antara arena pasar malam dan parkiran memang sedikit jauh. Belum lagi dalam keadaan ramai seperti ini. "Nggak apa-apa kali. Santai aja," "Lo sini aja," Abdee mengamit tanganku dan menggenggamnya. "Jangan jauh-jauh, ntar lo ilang." Aku meninju pelan lengannya. "Lo pikir gue anak kecil!" "Kan emang kecil," ia membuat gerakan seakan mengukur tinggi badannya dan juga tinggi badanku. s****n dia! Mentang-mentang tinggi, seenaknya saja mengejekku. "Nyebelin!" ucapku kesal. Kudengar ia tertawa. "Becanda kali. Serius amat sih." "Lo 'kan tahu kalo gue agak sensitif sama yang namanya tinggi badan." "Emang kenapa sama tinggi badan lo?" ia memperhatikanku dari atas ke bawah. "Malah lo keliatan lucu dengan badan mungil lo itu." "Apaan sih!" aku berusaha mengendalikan debaran jantungku yang mulai berdetak kencang. Untungnya tak lama kemudian kami sampai di arena pasar malam. Aku menatap lapangan luas didepanku yang disulap menjadi area penuh wahana bermain dan juga tenda lapak pedagang. Dalam suasana hiruk-piruk dan lingkup lampu warna-warni, tempat itu layaknya dunia fantasi versi mini. Aku tersenyum senang. Dulu aku sering ke tempat ini bersama kedua orangtua dan juga adikku. Tapi itu sudah lama sekali, saat itu mungkin usiaku masih tujuh tahun. Dan di zaman yang sudah serba canggih seperti ini, membuat tempat seperti ini sulit untuk di temui. Apalagi di tengah padatnya kota. "Kita kemana dulu?"  "Kesana dulu, yuk?" aku menunjuk penjual arum manis yang ada disebelah kiri sana. Melihat ada anak kecil yang membawa arum manis itu, aku jadi menginginkannya. "Beli arum manis?" Aku mengangguk semangat. "Iya, gue mau beli arum manis." "Ayo," Abdee kembali mengamit tanganku, mengajakku ke tempat arum manis itu. Aku berdiri antusias di dekat gerobak penjual arum manis itu, menatap satu persatu bentuk arum manis disana. Hingga pilihanku jatuh pada arum manis berwarna biru yang ada disana.  Aku tidak tahu arum manis itu berbentuk apa, tapi dimataku itu terlihat lucu. Apalagi arum manisnya memiliki sebuah mata dan juga mulut, membuatnya semakin lucu. "Gue mau yang itu," tunjukku pada arum manis tadi. Abdee melirikku sekilas, lalu berbicara pada pedagangnya. Aku bertepuk tangan senang ketika arum manis itu sudah berpindah di tangan Abdee.  "Nih," Aku menerima arum manis yang diberikan Abdee. "Makasih," Dari sudut mataku, aku melihat jika Abdee terkekeh. "Seneng banget sih," ia mengacak-acak rambutku gemas. Aku kembali tersenyum. Ya Tuhan! Hari ini sudah berapa kali aku tersenyum? Aku bahkan sampai melupakan nasihat Mama untuk jangan terlalu senang akan sesuatu, jika tidak ingin merasa sakit nantinya. Entahlah, aku hanya terlalu senang. "Kita kemana lagi?" tanyaku. "Rumah hantu, yuk?" ajaknya sambil menaik turunkan alisnya. Mendengar kata rumah hantu, leherku langsung meremang. Aku menggeleng kencang. "Ogah! Gue nggak mau masuk rumah hantu," "Ayolah, sekali ini aja." "Nggak mau, Dee. Lo tahu gue orangnya penakut." rengekku, berusaha untuk membatalkan niatnya itu. Tapi sepertinya Abdee tidak akan luluh kali ini. "Lo tenang aja, kan ada gue." ia memukul dadanya pelan. "Gue bakal jagain lo," Ucapan sederhana itu entah kenapa seakan menyihirku, membuatku tanpa sadar mengangguk dan mengikutinya menuju wahana rumah hantu.  Kami mengantri untuk membeli tiket terlebih dahulu, baru setelah itu memasuki rumah hantu.  Baru beberapa langkah di pintu masuk, langkahku terhenti ketika mendengar suara dari dalam rumah hantu. Aku mencengkram erat lengan Abdee. "Gue takut, Dee." "Jangan takut. Gue disini kok. Gue nggak bakal ninggalin lo." Aku mengangguk ragu. Kemudian mengikuti langkahnya memasuki rumah hantu. Aku menjerit takut saat sebuah topeng tiba-tiba muncul di sisi kiriku. Belum selesai rasa kaget karena topeng tadi, aku kembali dibuat menjerit ketika seseorang menyerupai hantu berdiri di depan kami. Otomatis aku langsung menenggelamkan wajahku di lengan Abdee. Ya Tuhan! Ingin rasanya aku berlari keluar sekarang juga. "Udah. Hantunya udah pergi. Lagian 'kan itu hantu bohongan," ucap Abdee sambil terkekeh geli. Andai saja aku tak ketakutan, bisa aku pastikan jika aku akan menarik telinganya itu. "Gue mau keluar aja. Gue takut,"  "Iya, tapi kita harus cari jalan keluarnya dulu." Kami melanjutkan perjalan yang sempat terhenti. Dan selama mencari jalan keluar, aku tak berhenti berteriak. Suaraku bahkan sampai serak karena terlalu banyak berteriak. Sementara arum manis yang tadi aku pegang, kini bentuknya sudah tidak karuan. Padahal aku ingin memakannya lagi saat menaiki bianglala nanti. "Itu jalan keluarnya tuh," Abdee menunjuk ke depan.  Aku langsung berlari lebih dulu, meninggalkan Abdee dibelakang. Aku baru bisa bernafas lega saat sudah keluar dari rumah hantu. Mungkin karena masih merasa takut, aku jadi terduduk lemas di rerumputan, mengabaikan beberapa orang yang mulai menatapku. Tak berapa lama Abdee akhirnya keluar, ia langsung berlari menghampiriku. "Lo kenapa?" "Kaki gue lemes," lirihku. Tanpa sadar air mataku ikut turun. Demi apapun, aku benar-benar takut. Bayangan tentang rumah hantu tadi terus berputar dikepalaku. "Gue mau pulang aja," "Kok pulang sih? Kita baru bentar loh," "Pokoknya gue mau pulang!" rengekku. "Gimana kalo kita naik bianglala dulu, baru abis itu kita pulang?" "Bianglala?" itu terdengar menarik. "Iya, bianglala. Mau 'kan?" "Iya mau," Abdee tersenyum lebar. Ia membantuku berdiri dan mengajakku untuk beralih ke wahana bianglala. Seperti biasa, kami harus membeli tiket terlebih dulu.  Ketika mendapat tiket, kami juga harus mengantri. Menunggu bianglala berhenti berputar, baru setelah itu kami bisa menaikinya. Abdee duduk didepanku. Dan bianglala mulai berputar. Aku berseru senang ketika sudah berada di atas. "Waaaa seru banget." Tiba-tiba saja Abdee berpindah duduk disampingku. "Lo harus liat itu," satu tangannya merangkul bahuku, sementara tangannya yang lain mengarahkan wajahku ke arah kirinya.  Aku kembali dibuat terpesona saat sebuah kembang api menghiasi langit.  Mataku tak berkedip melihatnya. Ini terlalu sempurna buatku, dengan Abdee yang berada disebelahku, merangkul bahuku, sementara mata kami menatap kembang api disana. Jantungku kembali bergemuruh kencang. Ya Tuhan! Aku ingin waktu berhenti untuk sebentar saja. Aku ingin lebih lama berada di posisi seperti ini. Rasanya tak rela jika setelah ini kami harus segera pulang. "Lo seneng?" Mataku yang tadinya menatap kembang api, beralih menatapmya. Aku pun tersenyum. "Gue seneng banget. Makasih udah ngajak gue kesini," "Sama-sama," ia menepuk-nepuk puncak kepalaku pelan. "Apa sih yang nggak buat sahabat gue ini." Sahabat? Senyum yang tadi menghiasi wajahku, perlahan memudar. Aku segera mengalihkan pandanganku ke bawah. Jadi selama ini dia masih menganggap aku hanya sebagai sahabat? Apa sedikit pun dia tidak memiliki perasaan yang sama sepertiku? Memikirkan itu membuatku ingin segera pulang dan membenamkan wajah di bantal. Berteriak sekeras-kerasnya agar rasa sesak ini segera pergi. Hah! Mungkin ini sebabnya Mama menyuruhku untuk tidak terlalu senang. Mama pasti takut aku kecewa. Sayangnya aku malah mengabaikan ucapan Mama. Dan sekarang aku menyesal karena mengabaikan ucapannya.  "Kok diem?" tanya Abdee ketika aku terdiam lama. Untungnya setelah itu bianglala berhenti, jadi aku tidak harus bersusah payah menjawabnya.  "Kita langsung pulang aja, ya?" "Nggak mau kemana dulu gitu?" Aku menggeleng pelan. "Gue mau langsung pulang aja. Sorry ya," Abdee menghela nafas panjang. Dan ia tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaanku tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN