Bagian 1

726 Kata
"Pulang jam berapa nanti?" ucap Mas Arya ketika aku mengangsurkan segelas teh hangat. "Gak tahu, Mas. Mungkin habis Ashar!" Mas Arya mengangguk lalu menyeruput teh buatanku, setelah itu ia beranjak dan pamit pergi ke kantor. Tak lupa, satu kecupan mendarat di kening. Sebuah kebiasaan selama pernikahan kami yang memasuki tahun keenam. Belum ada buah hati di antara kami, namun cinta dan kasih sayangnya selalu menjadi penguat di saat jiwa dan raga ini rapuh dalam penantian. Ia bukanlah yang sempurna, namun paling melengkapiku. Tak pernah sekalipun ku dengar Mas Arya meninggikan suaranya atau menghardik, ia terlalu baik. Ku antarkan dia sampai pelataran rumah.  "Semoga menang ya arisannya. Jangan pikirin Mas, pakai aja buat yang kamu suka, belanja apa yang kamu pengen." Aku mengangguk sambil tersenyum. Ia selalu tak pernah pelit masalah uang, bahkan adik bungsuku lulus kuliah dengan biaya penuh dari suamiku karena ibu sudah tak sanggup lagi bekerja dan sakit-sakitan. Sementara Ayahku sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. "Kabari nanti pulang jam berapa ya, Mas." "Iya, Sayang!"  Satu kecupan kembali mendarat, setelah itu mobilnya berlalu dan hilang dari pandangan seiring deru mesinnya juga yang tak lagi terdengar. Aku kembali masuk ke dalam, lalu bersiap untuk menghadiri sebuah undangan dan juga arisan yang diajak oleh teman lamaku, Dea. [Ran, nanti kita kumpul jam sebelas, jangan telat. Aku kirim lokasinya.]  Dea mengirimkan pesan, sejak dulu ia memang terkenal sangat om time, minggu kemarin aku baru kembali bertemu dengannya setelah bertahun-tahun tak saling jumpa karena Dea baru kembali ke Jakarta setelah lama tinggal di luar negeri dan ikut suaminya. [Oke, De!]  Aku membalasnya singkat dan segera bersiap. Rasanya tak ingin mengecewakan Dea bila sampai telat. Selama enam tahun menikah, ini untuk pertama kalinya aku mengikuti arisan, ini pun atas suruhan Mas Arya, katanya, agar aku tidak jenuh hanya menghabiskan waktu di rumah seharian. Sebulan yang lalu, Mas Arya pun memberikan mobil baru di hari ulang tahunku, padahal aku sama sekali tidak pernah meminta apa pun selama pernikahan kami, cinta dan kasih sayangnya sudah cukup membuatku bahagia. Mas Arya menelpon ketika aku baru saja membuka pintu mobil. "Hallo, Mas." "Sayang, sepertinya aku gak pulang malam ini. Mendadak harus ke Bandung, kamu tidur di rumah ibu saja ya biar gak sendirian." "Iya, Mas. Tenang saja. Sendirian pun gak apa-apa, kok!" "Sudah mau berangkat?" "Iya, Mas." "Hati-hati, ya!" "Iya, Sayang. Have a nice day. Love you" "Love you too." Panggilan pun terputus, aku segera melajukan mobil dan meninggalkan rumah.  Beruntung, suasana di jam seperti ini tidak terlalu ramai. Aku sampai lebih cepat ke tempat dimana kini Dea berada.  "Hai, Ran!" sambut Dea ketika aku memarkirkan mobilku di sebuah rumah yang tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil. "Sepertinya belum banyak yang datang, De." "Iya, baru kita saja. Kecepatan kayaknya!" Ia tertawa. "Yuk, Masuk! Ku kenalkan pada sahabatku." Aku mengangguk dan mengikutinya, dari dalam datang seorang wanita cantik berjilbab ungu muda menyambut ku dengan ramah. "Kenalkan ini sahabatku Naya," ucap Dea padaku. "Dan ini Ranisa, Nay," lanjutnya pada temannya itu. Kami saling bersalaman dan memperkenalkan diri. "Makasih sudah mau datang dan genapin Arisan kami, Mbak Ranisa." "Tidak usah panggil Mbak. Ranisa saja," jawabku sambil tersenyum. Kemudian setelahnya aku dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang ada di ruang tamu.  Akan tetapi, betapa aku tersentak kaget ketika melihat siapa yang sedang tersenyum di dinding itu dengan dua anak dan juga Naya di sana. Dia Mas Arya, suamiku. "Kok melamun, Ran," ucap Naya mengagetkan. Sementara tanganku sudah bergetar dan dingin. "Bagus foto keluarganya." Aku berusaha tenang. Aku harus tahu ada apa ini sebenarnya. Naya tersenyum. "Terimakasih." "Kemana anak-anaknya. Kok gak kelihatan?" "Si sulung sedang sekolah, usianya enam tahun. Sementara si bungsu sedang main sama tantenya." Darah kembali berdesir dan mendidih, aku berharap pria dalam foto itu hanya kebetulan saja mirip dengan Mas Arya. "Aku seperti kenal suamimu, Mbak." Naya kembali tersenyum. "Namanya Arya, dia salah satu orang yang bekerja di pertambangan. Jarang pulang, deh. Kami menikah sudah tujuh tahun." Dia benar Mas Arya, itu berarti Arya menikahiku satu tahun setelah menikah dengan Naya. Oh ... Tuhan, duniaku terasah runtuh, kenapa enam tahun ini aku tidak pernah sedikitpun mencium bila ternyata suamiku sudah beristri. Dia juga hampir setiap hari pulang ke rumah. Ada apa ini? Seketika aku merasa lemas, kemudian duduk sambil minum air putih. Ku tatap wajah cantik yang teduh milik Naya, apakah ia pun selama ini tidak tahu bila suaminya memiliki istri lain?  Mungkinkah? Selama itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN