Jevan Kabur?

965 Kata
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan mereda. Janisa yang sudah selesai membersihkan dirinya keluar dengan rambut basah yang digulung handuk dan kaos oversized berwarna pastel. Ia tampak segar, pipinya memerah karena air hangat yang menyentuh kulitnya. Namun begitu membuka pintu kamar, langkahnya terhenti. Mata menelusuri setiap sudut ruangan. Kosong. "Mas Jevan?" panggilnya pelan, tapi tak ada sahutan. Alisnya bertaut. Ia melangkah keluar kamar, menjelajahi lorong lantai atas dan menuruni tangga menuju ruang tengah. Tetap sepi. Ia menusuk ke dapur, lalu ke garasi. Tidak ada siapa pun. “Dia ke mana, sih?” gumam Janisa bingung. “Masa ditinggal gitu aja? Hidup gue ditinggal melulu perasaan. Tadi pagi ditinggal kabur calon suami, masa malam ini ditinggal kabur suami. Kurang amal apa gue?” Tangannya refleks menyentuh meja TV, mencari-cari ponselnya. Begitu benda itu ia temukan, Janisa baru sadar—ia tidak punya nomor Jevan. “Oke, hebat. Nikah, tapi nggak punya nomor suami sendiri,” keluhnya setengah dari diri sendiri. Sempat terpikir untuk menelepon mamanya, tapi rasanya terlalu kekanak-kanakan hanya untuk menanyakan keberadaan Jevan. Dan juga, Janisa malas untuk membuat drama, karena mamanya pasti akan panik saat mengetahui anak semata wayangnya kini ditinggal sendirian di malam pertamanya. Suaminya pergi entah kemana. Karena Janisa terlalu lelah untuk melakukan semua itu, akhirnya ia memilih kembali ke kamar. Langkahnya melambat saat matanya melihat ke kasur besar berseprai putih bersih itu. Ranjang itu mulai malam ini adalah tempatnya juga. Memang agak canggung, tapi juga menarik. Ia mendekat, lalu duduk di ujung kasur sebelum akhirnya memantapkan diri untuk berbaring. Begitu punggungnya menyentuh kasur, tubuhnya langsung tenggelam dalam empuknya busa dan aroma lembut dari sprei mahal. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil. Ia menyentuh kerah bajunya, berpikir apakah sebaiknya dia mengganti pakaian dengan baju dinas yang sudah disiapkan oleh mamanya? Tapi... Janisa terlalu malu untuk melakukan itu. Janisa menggulung selimut ke tubuhnya dan menatap langit-langit kamar. Bayangan tentang apa yang akan terjadi mulai malam ini berputar-putar di pikiran. Bayangan hidup sebagai seorang istri. Sebagai nyonya dari Jevan Balendra. “Aku… istri Jevan,” bisiknya sendiri sambil tersenyum-senyum malu. Tadinya dia cemas, takut, bahkan marah karena harus menikah dengan pria asing dalam flash mata. Tapi sekarang? Entah kenapa hatinya terasa hangat. Jevan memang tak banyak bicara, tapi sikapnya sopan dan penuh perhatian. Bukankah itu sudah cukup? “Siapa tahu gue benar bisa bahagia sama dia,” gumam Janisa pelan, matanya berbinar. Ia membayangkan dirinya bangun pagi, membuat sarapan untuk Jevan, lalu duduk berdua di ruang makan sambil saling melempar senyum manis. Setelah lulus kuliah, dia bisa jadi ibu rumah tangga. Tidak perlu repot-repot mencari kerja atau bersaing di dunia kantor. Cukup mendampingi suami yang sibuk sebagai manajer umum, menyiapkan makan malam, dan menunggu Jevan pulang sambil bermain dengan anak kecil yang lucu. “Aku bakal punya anak,” ucapnya, pipinya memerah sendiri. Bayangan dirinya menggendong bayi dengan wajah perpaduan antara dirinya dan Jevan membuat hatinya berbunga-bunga. Bahkan nama Arsya—pria yang dulu ia pikir akan menjadi suami—sama sekali tidak lagi terlintas dalam pikiran. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, membuatnya terlonjak kecil. Panggilan Masuk: Dara Janisa mendesah, agak enggan mengangkatnya. Tapi rasa penasaran lebih besar daripada rasa malas, jadi ia akhirnya menyentuh layar. "Halo?" "JAN!" teriak suara Dara dari seberang, terlalu bersemangat. Janisa menjauhkan ponsel dari telinga sejenak, lalu tertawa kecil. “Astaga, Dara, kuping gue mau copot tahu!” "Maaf maaf. Tapi ayo cepet bilang, gimanaaa?!" "Gimana apa?" Janisa mengerutkan kening. "Duh, jangan sok polos! Malam pertama, dong! Udah, belum? Jangan bilang lo tidur doang ya, sumpah gue lempar bantal dari sini!" Janisa tergagap. Matanya melirik ke kanan kiri seolah-olah tidak ada yang mendengarnya. Ia hampir saja mengatakan kalau Jevan menghilang entah ke mana, tapi buru-buru mengurungkan niat itu. Ayolah, Janisa tidak boleh terlalu jujur walaupun Dara itu sahabat sejatinya sejak SMP hingga mereka masuk ke satu kampus yang sama. Tapi untuk yang satu ini, tentang harga diri. Mau ditaruh dimana muka Janisa kalau Dara tahu suaminya kabur entah kemana. Setelah Arsya kabur begitu saja, kini Jevan pun pergi? “Gila, lo... Gue sama mas Jevan aja baru kenal. Masa langsung nyosor aja.” Bohongnya sambil mencubit lengan sendiri karena gugup. "APAAA? Gila ya lo! Dapet cowok ganteng, tinggi, berotot, masa bodoh lah sama perasaan, yang penting gas dulu. Pasti mantap banget tuh suami lo!” Janisa mendengus. "Pikiran lo ngeres mulu, Dar! Lagian massih ada besok, gue capek mau tidur." "Besok-besok lo bilang, nanti keburu Jevan males duluan, terus malah beneran nggak nyentuh lo sama sekali! Keburu jadi roommate doang!" Dara berkomentar secara dramatis. "Yaa ampun, Dara!" Janisa makin salah tingkah. "Udah ya. Gue mau tidur, beneran capek berdiri terus seharian." "Sumpah, ya, Jan! Gue kalau jadi lo nyesel enggak nyicipin Mas Jevan. Apa lo enggak celamitan liat dadanya yang bidang itu, Jan? Kan kedoyanan lo tuh cowok berotot kayak Mas Jevan. Gue aja heran pas lo mau sama Arsya, ya, memang sih Arsya ganteng--" "Dar, stop." potong Janisa dingin. Mendengar nama pria itu, mendadak d**a Janisa memanas. "Sorry." ucap Dara rendah, sepertinya dia menyesal sudah menyebutkan nama Arsya. "Oh, iya, omong-omong soal Arsya. Dia masih megang ATM lo, Jan?" Janisa menghembuskan napas panjang. "Gue capek banget, Dar. Sumpah. Nanti aja gue ceritain langsung." "Anjir! Jangan bilang---" Tut. Sebelum Dara menyelesaikan ucapannya, Janisa segera memutuskan sambungan secara sepihak. Kepalanya masih terasa pening karena seharian ini tenaganya terukas habis-habisan menerima para tamu undangan yang datang, dia sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menanggapi perkataan Dara. Janisa meletakannya ponselnya ke atas nakas, gadis itu menatap ke langit-langitnya kamarnya, awalnya melamun, namun perlahan matanya tertutup. Kemudian gadis itu tertidur pulas di ranjang besarnya sendirian. Dan tanpa ia sadari, dari balik jendela, lampu garasi rumah menyala kembali. Suara pintu depan perlahan berderit. Seseorang akhirnya pulang. Tapi Janisa sudah mulai tertidur dengan senyuman mengembang, masih terbuai mimpi tentang rumah tangga bahagia yang ia harapkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN