14. For All Eternity

1548 Kata
"Kayaknya keluarga Darel nggak terlalu senang karena Savero jadi best man kamu." Melvin tidak terkejut mendengar penuturan dari Abby itu. Sejak dahulu sekali ia sudah tahu kalau Savero tidak pernah menjadi seseorang yang difavoritkan dalam keluarga besarnya. Terutama keluarga Darel yang sangat tidak suka dengan Savero dan silsilahnya. Jadi, itu bukan lah sesuatu yang perlu dikhawatirkan oleh Melvin. "Emangnya mau siapa lagi? I don't really have best friends, you know? Cuma Savero yang memenuhi kriteria. Dibanding sepupu-sepupu kita yang lain, aku lebih sering sama Savero karena dia kerja sama aku." "Harusnya pilih Pandu aja." "Bukan pilihan yang bagus juga. Kamu tau sendiri, walau dia juga my bestfriend, tapi keluarga kita bisa dibilang nggak terlalu akrab. We are competitors, after all." Abby menghela napas. "Aku malas aja kalau nanti Om Henry dan yang lain jadi drama karena Savero," jelasnya. Henry Wiratmaja sendiri merupakan adik bungsu Arthur sekaligus ayah dari Darel. "Aku rasa, bukan itu yang harus kamu khawatirin sekarang." "Right. Aku harusnya khawatir sama kamu yang sebentar lagi mau ngucapin janji pernikahan di altar." Melvin tersenyum pahit dan mengangguk. Memang benar, hari ini adalah hari pernikahannya bersama Lea. Dan pernikahan itu akan berlangsung sebentar lagi. Sekarang ia sudah siap, tinggal menunggu kurang dari setengah jam lagi hingga ia dan keluarganya berangkat ke katedral tempat janji pernikahannya akan dilakukan. Sehari sebelum hari pernikahan, Melvin dan Lea dipisahkan sehingga kini Melvin ada di rumah orangtuanya, sementara Lea dan keluarganya berada di rumah itu. Melvin mematut pantulan dirinya di cermin yang ada di kamarnya, memandangi dirinya sendiri yang kini sudah terbalut tuksedo berwarna putih. Rambut Melvin pun telah ditata rapi sehingga ia terlihat dua kali lipat lebih tampan daripada biasanya. He looks perfect. Itu yang dikatakan oleh ibunya dan Abby setelah melihat penampilan Melvin yang sudah rapi. Abby berdiri di sebelah Melvin, ikut memandangi penampilan Melvin di cermin. Sama seperti Melvin, ia juga sudah berpakaian rapi. Bedanya, Abby tidak memakai setelan pengantin, melainkan sebuah dress berwarna peach yang membalut sempurna tubuhnya. Abby juga terlihat cantik. Good genes run in their family. Abby memeluk Melvin dari samping. Ia sedikit hati-hati melakukan itu karena tidak mau pakaian mereka berdua jadi kusut jika berpelukan terlalu erat. Melvin pun melingkarkan lengannya di punggung Abby, balas memeluk sang adik dan mengecup sekilas puncak kepalanya. Mereka jadi sedikit mellow sekarang. Dari semua anggota keluarganya, Melvin memang paling dekat dengan Abby, bahkan jauh lebih dekat dibandingkan ia dengan ibunya sendiri. Berasal dari keluarga yang tidak biasa, kehidupan Melvin dan Abby selalu disetir oleh orangtua mereka. Tentu saja rasanya tidak mudah dan berat, terutama ketika mereka harus melakukan yang tidak mereka inginkan, atau dilarang melakukan sesuatu karena orangtua mereka setuju. Di saat-saat berat seperti itu, they always have each other's back. Selalu berbagi cerita untuk meringankan beban, walau mereka tidak selalu berada dalam jarak dekat. Ikatan itulah yang membuat keduanya jadi emosional di hari pernikahan Melvin. "Kamu gugup nggak?" Melvin mengangguk guna menjawab pertanyaan dari Lea itu. "Aku juga takut." "Masih mikir kalau keluarga Sadajiwa punya tujuan jahat lewat pernikahan kamu dan Lea ini?" "Well, itu juga iya. Tapi, aku lebih takut sama yang lain." "Apa?" "Kehidupanku setelah nikah. Aku takut nggak akan bisa bahagia sama sekali nantinya." "Oh...please don't say that." Melvin hanya menghembuskan napas. Mau bagaimana lagi, memang itu yang dipikirkannya. Di luar rasa marahnya terhadap perjodohan ini dan rasa curiganya terhadap Lea dan keluarga Sadajiwa, Melvin juga merasa takut akan kehidupannya setelah menikah. Membayangkan ia harus menikah dengan seseorang yang tidak dicintainya dan menghabiskan sisa hidupnya dengan orang itu sudah membuat perasaan Melvin tidak nyaman. Memang ada opsi perceraian, tapi Melvin yakin jika keluarganya tidak akan terima jika suatu hari ia bercerai dengan Lea. Perceraian tersebut akan mempengaruhi semuanya dan membuat situasi jadi buruk. Selain itu, jika nanti mereka punya anak, Melvin tidak mau anak-anaknya mengalami broken home karena orangtuanya bercerai. Meski ia sendiri ragua apakah bia menyayangi anak dari perempuan yang tidak dicintainya, tapi Melvin berjanji akan selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya kelak. Untuk melakukan itu semua, Melvin harus mengorbankan dirinya sendiri. Kebahagiaannya. Dan itu menakutkan. "Kamu pasti bakal bahagia," ujar Abby dengan begitu yakin. "Percaya sama aku, pernikahan ini nggak akan bikin kamu kehilangan kebahagiaan. Walau sekarang rasanya berat dan kamu nggak suka, tapi mungkin aja suatu hari nanti kamu bakal mensyukuri ini." Melvin menggelengkan kepala. "Aku nggak yakin bisa begitu." "Pasti bisa. Yang kamu sama Lea butuh cuma cinta di pernikahan kalian. Kalau cinta itu udah ada, segalanya pasti jadi lebih mudah, kan?" Lagi-lagi, Melvin menggelengkan kepala. Tidak bisa menerima saran dari Abby. "Masalahnya, Abby, aku rasa aku nggak akan pernah bisa cinta sama Lea." *** It's happening... Rasanya Melvin masih menolak percaya jika hari ini, tepatnya saat ini, pernikahannya berlangsung. Padahal, beberapa bulan yang lalu ia masih berada di Melbourne, masih bisa menikmati hidupnya walau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Tapi sekarang, ia justru melihat seorang Azalea Sadajiwa yang berjalan ke arahnya di altar. Suasana di katedral itu begitu khidmat melihat bagaimana Lea berjalan perlahan menuju Melvin bersama ayahnya. Tidak ada satu pun tamu yang bicara dan yang terdengar hanya suara musik klasik yang mengiringi langkah Lea. Dalam balutan gaun pernikahannya yang serupa gaun pernikahan putri kerajaan, Lea tampak begitu cantik. Melvin pun tidak bisa memungkiri itu. She really steals the show right now. Begitu Lea sampai di hadapannya, Melvin sempat tertegun sebentar. Dari jarak dekat, Lea semakin terlihat cantik. Berbeda dengan kebanyakan pengantin yang menggelung rambutnya di hari pernikahan, rambut Lea justru setengah terurai dan ada sebuah tiara yang menghiasi rambutnya. Penampilan Lea yang seperti ini jadi mengingatkan Melvin pada Kate Middleton di hari pernikahannya. Ketika Hermadi menyerahkan tangan Lea yang semula digenggamnya pada Melvin, netra Melvin menatap lurus pada netra Lea yang berwarna cokelat gelap. Rasanya ia takjub sekali dengan kemampuan akting Lea. She looks okay and she looks happy. Padahal, dua hari lalu Melvin diam-diam memergoki Lea menangis di rumah mereka. Mudah saja bagi Melvin untuk menebak jika alasan Lea menangis adalah pernikahan ini. Melvin jadi tahu kalau Lea sama sekali tidak baik-baik saja ketika ia menggenggam tangan Lea yang diberikan oleh Hermadi. Tangan Lea dingin, mungkin karena gugup, atau mungkin juga karena ia takut, sama seperti Melvin. Genggaman tangan mereka berdua sebagai mempelai pria dan wanita menandakan bahwa prosesi pernikahan sudah dimulai, dan itu membuat jantung Melvin berdetak tidak karuan. Kegugupannya membuat Melvin memikirkan masa depan, tentang segala ketakutan yang tadi ia sampaikan kepada Abby. Melvin pikir, ia nyaris terkena serangan panik karena memikirkan itu. Jika ia sampai mengalami serangan panik, Melvin pasti akan jadi orang pertama yang seperti itu di hari pernikahannya sendiri. Untungnya, ia masih bisa mengendalikan diri. Ketika tiba saatnya bagi Melvin untuk mengucapkan janji pernikahannya, ia terlebih dahulu menarik dan menghembuskan napas begitu dalam. Ia dan Lea saling menatap, disaksikan oleh banyak orang di katedral ini, termasuk keluarga mereka. "I, Melvin, take you, Lea to be my friend, my lover, the mother of my children, and my wife. I will be yours in times of plenty and in times of want, in times of sickness and in times of health, in times of joy and in times of sorrow, in times of failure and in times of triumph. I promise to cherish and respect you, to care and protect you, to comfort and encourage you, and stay with you for all eternity." Tidak lama kemudian, Lea juga balas mengucapkan janjo pernikahannya. "I, Lea, take you, Melvin to be my husband, my partner in life, and my lover. I will cherish our union and love you more each day than I did the day before. I will trust you and respect you, laugh with you and cry with you, love you faithfully through good and bad times, regardless of obstacles we may face together. I give you my hand, my heart, and my love, from this day forward as we both shall live." Dengan janji pernikahan yang sudah diucapkan, maka Melvin dan Lea tahu jika mereka telah terikat dalam sebuah pernikahan. Tidak tahu bagaimana dengan Lea, tapi Melvin merasa berdosa setelah mengucapkan janji pernikahan itu. Seharusnya, mereka membuat sendiri janji pernikahan mereka. Namun, Melvin dan Lea justru menggunakan janji pernikahan yang mereka cari di internet beberapa hari lalu. Mereka tidak bisa mengarang sendiri di saat pernikahan ini saja tidak mereka inginkan. Karena itu, Melvin merasa berdosa karena telah mengucapkan janji pernikahan yang sama sekali tidak ikhlas ia katakan, tidak hanya di depan semua orang yang menyaksikan di katedral ini, tapi juga di hadapan Tuhan. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi. Melvin dan Lea sudah resmi menikah. "And now, the groom and the bride shall kiss, to seal the vow they just said." Ketika Melvin mendekat pada Lea untuk menciumnya, ia jadi teringat dengan kejadian beberapa malam yang lalu ketika mereka mabuk karena berbagi wine. They kissed that night. It tasted like wine, sweet and bitter at the same time. Lalu, mereka bangun keesokan paginya di sofa dengan kepala berdenyut nyeri dan posisi berpelukan yang membuat keduanya jadi begitu canggung selama dua hari. Karena ini bukan ciuman pertama mereka, jadi Melvin tidak merasa canggung lagi untuk melakukannya. Dan kali ini, rasanya tidak lagi manis bercampur pahit seperti wine. Sekarang, hanya manis yang dirasa oleh Melvin. Her lips tastes like strawberry. Sebelum menarik diri, Melvin sempat menggumamkan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh Lea. "Congratulations, now we stuck with each other for all eternity."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN