36. Tidak Sekarang

1246 Kata
Rasanya Melvin lega bukan main begitu ia melihat sepasang mata Lea yang terbuka perlahan. Meski dokter bilang kondisi Lea sudah tabil dan hanya butuh waktu hingga perempuan itu sadar dari pengaruh obat biusnya, tetap saja Melvin tidak bisa merasa lega sampai memastikan perempuan itu benar-benar bangun. Ada kerutan di dahi Lea begitu mendapati Melvin lah yang jadi pertama kali dia lihat. Lalu, pertanyaan terbata itu dilontarkan oleh Lea. "Are...you...okay?" Begitu tanyanya. Di saat yang seharusnya mengajukan pertanyaan itu padanya adalah Melvin, entah kenapa Lea justru jadi yang menanyakan itu. Seolah hendak memastikan bahwa Melvin baik-baik saja. Entah apa yang dipikirkan oleh perempuan itu di alam bawah sadarnya. Dan yang terlontar dari bibir Melvin sebagai balasan kemudian adalah kata maaf. Jujur saja, Melvin tidak menyangka sama sekali bahwa ia akan berakhir merasa bersalah seperti ini pada Lea. Padahal, tadi siang melihat wajah perempuan itu saja ia sudah muak. Sekarang, Melvin justru hendak terus memandanginya lekat-lekat agar pasti bahwa Lea baik-baik saja. Dengan begitu, mungkin Melvin bisa tidur dengan tenang nantinya. Selama beberapa saat, Lea tidak mengatakan apa-apa dan hanya memandangi Melvin dengan kedua matanya yang masih sayu dan kening yang berkerut. "Kenapa? Ada yang sakit?" Tanya Melvin pada Lea. Ia sudah siap untuk keluar memanggil perawat dan memberitahu mereka bahwa Lea sudah sadar, namun sebelum Melvin sempat melakukan itu, Lea terlebih dahulu menunjuk tepat ke wajah Melvin. "Kamu...nggak...apa-apa?" Tanya perempuan itu lagi. "Lea, aku nggak apa-apa," jawab Melvin. "Kamu yang justru kenapa-napa. Makanya aku tanya, ada yang sakit nggak? Nanti aku panggilin dokter." Kepala Lea menggeleng pelan. "Kamu...kenapa-napa..." "No, I'm not. But you are." "No." Lea menggelengkan kepala lagi dan kembali menunjuk wajah Melvin. "Muka...kamu...ada...satu...dua...tiga...empat...lima...enam...tujuh...delapan...sembilan." Oh. Saat itu pun Melvin tersadar bahwa Lea masih terpengaruh obat bius, karena itu bicaranya melantur. She's not really worried about him. Dan itu bagus, agar Melvin tidak perlu merasa aneh maupun bersalah. Sebab jika Lea masih memikirkannya di saat kondisinya seperti ini, Melvin jadi merasa jahat. Melvin diam saja usai Lea mengatakan itu, membiarkan si perempuan hanya memandanginya hingga sepasang mata sayu itu perlahan kembali menutup terlelap. Napas Melvin pun terhela lega setelah dilihatnya Lea kembali tertidur dengan napas yang teratur. Setidaknya, perempuan itu baik-baik saja sekarang. Melvin tidak membuatnya kehilangan nyawa. Dan dengan pikiran itu, akhirnya Melvin bisa mengistirahatkan tubuhnya yang lelah bukan main. *** Keesokan harinya, ganti Melvin yang masih tidur ketika Lea sudah terlelap. Matahari sama sekali belum muncul ketika akhirnya Lea benar-benar sadar dari pengaruh obat biusnya. Ia pun dapat merasakan kepalanya yang pening bukan main dan tubuhnya yang lemas. Sejenak Lea hanya diam memandangi langit-langit kamar rawatnya di rumah sakit ini, mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin. Tidak butuh berpikir terlalu lama, Lea pun bisa mengingatnya. Wajar saja jika ia dapat merasakan ada sakit yang menggigit di bahu bagian belakangnya. Mungkin karena biusnya perlahan mulai hilang, sehingga rasa sakit itu pun akhirnya muncul. Menoleh ke samping, Lea cukup kaget melihat Melvin yang tertidur di sebuah kursi dengan posisinya yang begitu terlihat tidak nyaman. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, sementara kepalanya tertunduk. Lea yakin, ketika bangun nanti Melvin akan merasakan pegal-pegal di sekujur tubuhnya. Cukup lama Lea hanya berdiam diri setelah ia terbangun. Bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Ia jelas tidak mau membangunkan Melvin karena mungkin saja hal itu akan mengganggunya. Lalu, selain Melvin tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan ini, sehingga Lea pun hanya bisa diam. Melamun memikirkan kejadian kemarin. Ketika jarum pendek jam dinding di ruangan ini bergerak menuju ke angka enam, barulah Lea bisa merasakan pergerakan dari Melvin. Ia menoleh pada laki-laki itu, dan menunggu hingga kedua mata Melvin sepenuhnya terbuka, lalu ia mendapati Lea yang sudah bangun. Melvin agak terkejut begitu melihat Lea dan sepasang mata perempuan itu yang kini telah membulat sempurna memandangnya. Tidak lagi seperti kemarin. Melvin mengusap wajahnya guna menghilangkan kantuk, sementara Lea menyunggingkan senyum untuknya. "Udah lama bangun?" Tanya Melvin. Lea menganggukkan kepala. "Mungkin udah dua jam yang lalu." Kini, Lea sudah mendqpat kesadaran penuhnya kembali. Dan entah kenapa, keduanya sama-sama bisa merasakan canggung sekarang. Jelas sulit untuk bersikap biasa saja setelah apa yang terjadi. Selama beberapa waktu usai saling menegur, keduanya bahkan tidak mengatakan apa-apa lagi. Melihat antara satu sama lain pun tidak sampai hati. Dari sekian banyak momen yang pernah dilalui oleh Melvin dan Lea sejak mereka saling mengenal, ini adalah momen pertama mereka bisa berada di ruangan yang sama, tanpa melontarkan kata-kata sinis yang menyindir. Melvin pun berdeham canggung, lantas bertanya pada Lea, "Butuh sesuatu nggak?" "Minum." "Oke." Melvin pun bergerak mengambilkan segelas air untuk Lea, lalu membantu perempuan itu minum secara perlahan. Setelahnya, Lea kembali berbaring, sementara Melvin duduk lagi di tempatnya tadi. "Ada lagi?" Lea hanya menggelengkan kepala. Dan ruangan pun kembali menjadi hening, karena tidak ada yang tahu harus bicara apa di antara mereka berdua. Hingga tiba-tiba lagi, Melvin jadi yang kembali bersuara. "Aku mau bilang makasih dan maaf ke kamu. Thank you for saving my life and I'm sorry for putting your life in risk." Lea tidak menjawab dan hanya memberi Melvin tatapan yang terbaca. "I really mean it, Lea. I'm sorry and thank you." Napas Lea pun terhela. "Bukan salah kamu kok, kan aku yang milih untuk ngelakuin itu." "Dan kenapa kamu ngelakuin itu?" Lea mengedikkan bahu. "Karena kalau nggak begitu, kamu bisa aja udah nggak bernyawa sekarang." "Tapi, kamu sendiri juga bisa kehilangan nyawa." "It's okay," ujar Lea. "Aku nggak takut mati kok. Dan juga...udah seharusnya aku ngelindungin kamu." "What? Why?" Bukannya menjawab pertanyaan Melvin itu, Lea justru mengalihkan pembicaraan. "Anyway, keluargaku mana? Jujur aja, aku agak kaget karena ternyata kamu yang nungguin aku." Melvin masih ingin mendengar penjelasan Lea mengenai apa yang diucapkan perempuan itu tadi, namun berhubung Lea mengalihkan pembicaraan, Melvin pun memilih tidak membahasnya lagi. Jika memaksa, yang ada mereka hanya akan ribut. Dan Melvin tidak sejahat itu untuk membiarkan Lea ribut dengannya di saat perempuan itu baru bangun setelah operasi. "Cuma boleh satu orang yang nungguin kamu di sini." Lea terkekeh. "Terus? Kenapa malah kamu di sini? Dipaksa Papa?" "Mereka bilang karena aku suami kamu, makanya aku yang seharusnya emang ada di sini," ujar Melvin. "Dan juga, aku mau mastiin sendiri kalau kamu baik-baik aja." "Untuk ukuran calon mantan suami, kamu ternyata bisa perhatian juga," gurau Lea. "Tapi kalau sekarang kamu mau pergi juga nggak apa-apa kok. Just call one of my sisters." Melvin tidak tahu harus bilang apa pada Lea. Sejujurnya, ia sama sekali tidak ingat lagi dengan rencana perceraian mereka, setelah apa yang terjadi kemarin. Rencana itu terlupakan begitu saja karena Melvin berujung sibuk memikirkan yang lain. Namun, bisa-bisanya yang terpikirkan oleh Lea saat ini adalah hal itu. Karena Melvin tidak bicara lagi, Lea pun melanjutkan, "Kamu bakal sibuk hari ini, kan? Soalnya, ini hari dimana seharusnya kamu daftarin gugatan cerai kita." Lea menunggu Melvin mengatakan sesuatu, namun laki-laki itu hanya diam memandanginya. "Melvin?" Akhirnya, Melvin pun menggelengkan kepala dan menghembuskan napas dalam. "Aku mana bisa gugat cerai kamu di saat kondisi kamu masih begini," ujarnya. "Tapi aku nggak apa-apa kok. It's not a big deal for me." "Yeah, but a big deal for me." Sebelah alis Lea terangkat, ia memandang Melvin penuh tanya. "Nggak sekarang, Lea," ujar Melvin lagi. "Seenggaknya, biarin aku liat dan memastikan kamu sembuh dulu." Lea mendengus. "Nggak perlu kasihan sama aku," sungutnya." "Aku nggak kasihan," balas Melvin dengan nada tegas. "Aku cuma nebus rasa bersalahku dulu. Bisa, kan?" Lea hanya melengos dan memilih tidak mengatakan apa-apa lagi pada Melvin. Sebab ia pun tahu, jika Melvin sudah berkata begitu, maka seperti itu lah yang akan terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN