75. Good Time

1849 Kata
"Melvin? Kamu beneran udah case closed ke Kahraman?" Lea hanya bisa menganga melihat bagaimana Melvin menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaannya. Dia kaget, sekaligus kesal. Namun, untuk marah pada Melvin juga tidak bisa, mengingat bagaimana selama dua bulan ini suaminya itu bisa dibilang berada dalam vulnerable state. Bahkan, baru akhir-akhir ini Melvin bisa mulai tersenyum lagi. Sebelumnya, ia begitu muram dan memilih untuk menyibukkan diri pada apapun yang mendistraksi pikirannya. Meski masih berusaha tersenyum pada Lea, namun Lea tahu jika semua senyuman itu terpaksa dan tidak pernah sampai ke mata. It really hit him hard, semua yang sudah terjadi. Dan saat ini, Melvin masih dalam proses menyembuhkan dirinya sendiri. Karena itu, Lea perlu berhati-hati, sehingga ia menahan semua kekesalan yang dia rasakan sekarang akibat Melvin yang lagi-lagi bertindak tanpa meminta persetujuannya. "Hey, jangan marah." Lea memijat kepala dan mengatur napasnya. "Enggak, aku nggak marah." Tepatnya, berusaha untuk tidak marah. Keduanya kini berada di dalam kamar Lea yang ada di rumah keluarga Sadajiwa. Begitu kembali dari markas Kahraman, Lea yang sadar kalau Melvin menghilang tanpa membawa ponselnya tentu saja langsung menanyakan keberadaannya. Melvin pun mengajak Lea ke sini dan membicarakan semuanya secara jujur. Mau bohong pun juga percuma, sebab Lea pasti akan tahu sendiri nantinya. Melvin menarik Lea yang semula berdiri di depannya untuk ikut duduk di tepi tempat tidur. "Maaf, bukannya aku nggak mau ngasih tau kamu. Tapi, kalau aku bilang dari awal, nanti kamu malah nggak kasih izin." Lea menghembuskan napas. "Itu kamu tau." "I'm so tired of this, Lea. Aku cuma mau ngelupain apa yang udah terjadi kemarin, dengan cara apapun, termasuk nutup kasus ini. Karena melihat para anggota Kahraman masih berkeliaran di sekitar aku, itu cuma membangkitkan memori buruk yang nggak mau aku ingat. That's why I wanna close this case. Aku mau membuka lembaran baru tanpa perlu teringat dengan hal-hal dulu lagi." Penjelasan Melvin itu akhirnya membuat Lea melunak. Dibanding siapa pun, Lea lah yang paling tahu sehancur apa Melvin usai kejadian Savero kemarin. Bagaimana Melvin tidak bisa tidur dengan baik karena terus terbayang-bayang jasad Savero, serta bagaimana Melvin selalu muram, sampai-sampai Lea perlu bekerja keras untuk membuatnya tersenyum. Lea paham jika setelah seseorang mengalami sebuah kejadian traumatis, akan ada banyak hal yang bisa menjadi trigger bagi orang itu untuk membawa kembali ingatan tentang kejadian traumatis tersebut. Bagi Melvin, salah satu trigger-nya adalah Kahraman. Bagaimana mungkin dia bisa marah lagi? "Kenapa kamu nggak bilang sama aku?" Tanya Lea lembut. Melvin menghela napas. "Aku cuma takut kamu ngerasa alasan aku konyol aja. Dan karena aku tau kamu maunya kita selalu was-was, aku juga mikir kalau kamu nggak akan setuju." "Nggak, Melvin. Itu nggak konyol sama sekali. Aku bisa ngerti kalau misalnya Kahraman jadi salah satu trigger yang membuat kamu nggak nyaman karena teringat kejadian kemarin." "Jadi, kamu nggak marah?" "How can I?" Lea meraih tangan Melvin dan menggenggamnya erat. "As long as you're happy." Melvin akhirnya tersenyum. "Thank you," gumamnya. "Dan kamu juga nggak perlu khawatir, karena aku juga masih memikirkan keamanan keluarga kita. Aku masih hire The K, dan aku juga membuat Selatan ngasih privilege ke aku." "Privilege apa?" "Andai sesuatu yang urgent terjadi, aku tinggal telepon dia, dan Kahraman back to work with me again." Ganti Lea yang tersenyum pada Melvin. Cukup lega karena ternyata, Melvin tidak benar-benar menyepelekan keamanan mereka dan menuruti Lea untuk tetap waspada. Dan selalu waspada. Karena mungkin saja, ada orang-orang jahat lain yang ingin membahayakan mereka lagi. We never know. "Thank you," gumam Lea. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Melvin dan bertahan dalam posisi itu selama beberapa saat. Melvin menggelengkan kepala. "No, Lea. Aku yang harusnya makasih sama kamu," balasnya. "Makasih karena sudah melindungi aku, makasih karena selalu ada, makasih karena sudah bertahan, dan makasih karena kamu mau menuruti permintaan Papi untuk menikah sama aku. Kalau bukan sama kamu, aku nggak tau gimana caranya melewati ini semua." And that's how life works. Perasaan seseorang itu sifatnya selalu dinamis alias berubah-ubah, tergantung interaksi dan apa yang terjadi. Sekian bulan lalu, Melvin tidak pernah menebak bahwa ia akan berujar begitu pada Lea karena saat itu yang dia rasakan hanya lah benci. Sekarang, Lea justru jadi salah satu orang paling penting yang ada di hidup Melvin. The one who keeps him sane, the one who helped him got through his darkest time. Melvin bersyukur karena semesta mempertemukan mereka, dan membuat mereka bersatu. *** Keluarga Sadajiwa kembali berkumpul saat makan malam. Kali ini, semuanya lengkap. Para putri keluarga Sadajiwa bersama dengan pasangan mereka masing-masing. Selatan tidak absen lagi dan duduk di sebelah Poppy. Lalu, setelah sekian lama, akhirnya Melvin melihat suaminya Letta lagi. Terakhir kali sepertinya ketika hari pernikahan Melvin dan Lea, yang mana itu sudah lama sekali. Tidak banyak yang Melvin tahu mengenai suami anak tertua keluarga Sadajiwa itu. Yang dia tahu, Letta dan suaminya menjalani long distance marriage. Raymond Soetanto, suami Letta, bekerja di Dubai karena ia memiliki bisnis kilang minyak di sana. Dan Letta tidak ingin ikut bersama sang suami tinggal di sana karena masih ingin mempertahankan pekerjaannya di Indonesia. Dugaan Melvin, hubungan mereka tidak harmonis. Raymond juga sepertinya tidak begitu akrab dengan anggota keluarga Sadajiwa dan lebih banyak diam di sepanjang acara makan malam mereka. Namun, hal itu bukan lah urusan Melvin. Setelah semuanya selesai makan, tidak ada yang beranjak dari meja makan karena Hermadi belum beranjak dari sana. Etikanya, mereka baru boleh meninggalkan meja makan itu setelah sang kepala keluarga beranjak terlebih dahulu. Usai memastikan para anak dan menantunya selesai dengan makanan mereka, Hermadi memukul pelan gelas dengan sendok hingga menimbulkan suara dentingan yang berhasil menarik perhatian semua yang ada di ruangan itu. "Apa nih yang mau diumumin Papa?" Gumam Lea tanpa sadar. Melvin yang ada di sampingnya pun bisa mendengar itu. "Memangnya mau ngumumin sesuatu?" Bisiknya pada Lea agar tidak didengar yang lain. Untuk melakukan itu, Melvin sampai harus sedikit menundukkan kepalanya agar bisa berbisik tepat di telinga sang istri. "Biasanya begitu kalau Papa udah mukul gelas pakai sendok habis makan. Apa lagi, sekarang semuanya lagi ngumpul lengkap." Melvin menganggukkan kepala paham. Lalu, ia menyadari ada noda saus di sudut bibir Lea, dan refleks menghapus noda itu dengan ibu jarinya. Lea tersenyum pada Melvin. "Thank you, Melvin baby," gumamnya. Hermadi berdeham, membuat pasangan suami istri itu kembali memusatkan perhatian padanya, dan bukannya menatap satu sama lain. "Bermesraannya nanti dulu ya, ada hal penting yang mau kusampaikan ke kalian semua." Yang dikatakan oleh Hermadi itu ditujukan untuk Melvin dan Lea. Lea meringis karena mendapat teguran, Melvin diam saja, namun ia mendengus begitu melihat Ella yang duduk di depannya memasang ekspresi pura-pura muntah. Hingga sekarang, dinamika hubungan Melvin dan Ella tidak jauh berbeda dengan dinamika hubungan Melvin dan Selatan. Melvin bukan lah ipar favorit Ella, begitupun sebaliknya. Setiap kali bertemu, mereka selalu saja menunjukkan rasa tidak suka. Terutama Ella. Rasanya Melvin ingin sekali mengejek Ella yang malam ini, jadi satu-satunya putri Sadajiwa tanpa pasangan. Namun, mereka semua harus pada Hermadi sekarang. "Papa mau ngumumin apaan?" Poppy yang berada di ujung meja bertanya pada sang ayah yang duduk di ujung satunya. Ia pun melirik jahil ke arah Ella. "Jangan-jangan mau ngumumin perjodohan Kak Ella ya? Udah dapat laki-laki yang mau sama si singa betina itu?" Ella spontan melotot pada sang adik. Melvin pun tidak ingin repot-repot menahan tawa tanpa suaranya. "Well, itu salah satunya," jawab Hermadi tenang. "What?!" Yang tidak tenang justru Ella yang kembali menoleh pada sang ayah. "Papa nggak serius, kan?" "Ngapain juga Papa bercanda. Ini jadi hal pertama yang mau Papa umumkan ke kalian, minggu depan kita berkumpul lagi di sini karena ada pertemuan keluarga. Antara keluarga kita dan keluarga laki-laki yang akan dijodohkan dengan Ella." Semuanya menganga terkejut, termasuk Lea. "Siapa orangnya, Pa?!" Ella kembali bertanya heboh. "Kenapa Papa nggak minta persetujuan aku dulu? Kalau nanti nggak cocok gimana?" Hermadi mengedipkan sebelah mata pada sang putri. "Rahasia, nanti kamu juga tau," ujarnya. "Dan masalah cocok atau tidak cocok itu tergantung kalian sendiri, mau mencocokkan diri atau tidak. Contoh saja Lea dan Melvin, awalnya mereka saling benci, tapi sekarang nempel terus," gurau Hermadi. Melvin dan Lea hanya tersenyum geli, sementara Ella menahan sebal, namun tidak bisa bicara apa-apa soal itu. "Yang kedua, Poppy dan Selatan belum boleh menikah sebelum Ella. Jadi, kalau kalian mau menikah cepat, pastikan Ella juga mau menikah lebih cepat lagi." Selatan terkekeh. Ia menepuk-nepuk bahu Ella yang kebetulan duduk di sebelahnya. "Gue sama Poppy sih santai aja ya, El, kalau lo duluan. Tapi jangan kelamaan juga jadi gadis lapuknya." Ella menunjukkan jari tengah pada Selatan. "f**k you." Poppy tertawa saja. Lalu, Hermadi beralih memandang sang putri tertua dan suaminya yang sedari tadi hanya menyimak dalam diam. Melvin pun menyadari jika mereka berdua terlihat cukup tegang. "Dan yang ketiga, kakak tertua kalian, Letta, sebentar lagi akan pindah ke Dubai untuk ikut suaminya." Kali ini semua orang di sana terkesiap. Jauh lebih terkejut dengan kabar itu daripada kabar Ella yang mau dijodohkan. "Kak, beneran?" Lea yang paling dekat dengan Ella pun langsung menanyakan itu. Letta tersenyum canggung. "Surprise," katanya pura-pura semangat. "Oh s**t, it's sad," gumam Poppy. Ella mengangguk setuju. Letta hanya tersenyum sedih. "It's time, guys. Memang sudah waktunya aku pindah." "Sedih-sedihannya nanti dulu ya, karena masih ada satu lagi yang perlu disampaikan." Hermadi kembali berujar. Dan kali ini, tatapannya tertuju pada Melvin dan Lea, karena memang tinggal mereka berdua yang belum dibahas. Hermadi tersenyum pada keduanya. "Untuk Melvin dan Lea, beberapa bulan belakangan ini jadi bulan-bulan terberat untuk kalian, terutama untuk Melvin. Sudah banyak kesedihan, kekecewaan, dan hal-hal buruk lainnya yang kalian rasakan. Untuk itu, kalian pantas untuk mendapatkan sesuatu yang bisa membuat kalian bersenang-senang. Dan sebagai hadiah untuk menghibur kalian berdua, I'll give you an exclusive honeymoon trip! Tiket pesawat first class, hotel bintang lima, dan kalian bebas pilih tempatnya mau kemana dan berapa lama perjalanannya." Erangan protes langsung keluar dari Poppy dan Ella. Tidak terima karena Melvin dan Lea justru dapat hadiah. Hermadi mengabaikannya saja. "Melvin mungkin lebih dari mampu untuk provide itu semua, tapi tolong terima ini sebagai hadiah. It's the least I can do to make both of you happy." Lea tersenyum, ia hendak berterima kasih, namun Melvin sudah mendahuluinya. "Terima kasih, Papa. It means a lot. Dan tentu saja, kami akan menerima hadiah itu," ujarnya. Dan yah, Melvin memang sudah memanggil Hermadi Sadajiwa dengan sebutan 'Papa' lagi. Di sisa makan malam itu, mereka mengisinya dengan obrolan-obrolan hangat. Walau agak sedih karena tahu Letta akan pergi ke tempat yang jauh sebentar lagi, juga ada rasa iri terhadap Melvin dan Lea yang dapat hadiah, tapi obrolan di antara mereka mengalir begitu saja selayaknya keluarga pada umumnya. Interaksi Melvin dengan keluarga Sadajiwa malam ini pun kembali menunjukkan bahwa perasaan seseorang itu selalu dinamis. Di saat dulu Melvin selalu merasa curiga dan tidak suka pada mereka, kini ia sudah menjadi salah satu bagian dari keluarga ini. He's having a good time with them. Hidup ini memang selalu adil, bukan? Di saat kita kehilangan sesuatu, selalu ada ganti untuk yang hilang itu. Melvin memang kehilangan Savero, dan sebagai gantinya, ia mendapat seorang istri seperti Lea, dan sebuah keluarga baru. Meski keluarga Sadajiwa tidak sama dengan keluarga pada umumnya, tapi kini Melvin tetap menganggap dirinya sebagai bagian dari keluarga itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN