DTN - 02. Rencana Dinner

1988 Kata
Aku memandang puas gaun yang terpasang pada menekin di salah satu ruang butik milikku. Elegan dengan kesan soft yang sangat kuat. Gaun ini adalah pesanan salah satu pelanggan butik Marisaranghae. Aku tahu nama butikku memang terkesan aneh, entah mengapa nama itulah yang hadir di otakku saat awal mula berdirinya bangunan ini. Aku menggeluti dunia fashion dari lulus kuliah hingga sekarang. Dari kecil, aku memang sudah menyukai desain busana, sering iseng menggambar desainnya sendiri. Hal itu terbawa sampai dewasa hingga jadilah aku yang hobi menggambar desain busana. Kadang saat SMA, aku pernah beli kain untuk membuat satu gaun cantik yang sudah kubuat desainnya. Sehabis itu, aku akan sedih sendiri karena hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Membuat baju ternyata tidak semudah yang kupikirkan. Mamaku saja sampai tertawa melihat hasil busanaku yang lengannya kebesaran sebelah, belum lagi potongan bawahnya yang miring. Pokoknya, bentuknya tidak bagus sama sekali, aku yang membuatnya saja malas memakai baju tersebut. Sakit hati juga rasanya saat tahu aku gagal hingga menjadikanku sempat jera. Namun, tidak kusangka Mama yang sudah puas menertawaiku sehabis itu malah memberiku semangat. Kata Mama, tidak apa gagal daripada tidak mencoba sama sekali. Setidaknya aku sudah berusaha melakukan yang terbaik. Sampai aku terharu sekali ketika Mama menawariku untuk kuliah di jurusan fashion. Kata Mama, biar aku belajar tentang fashion dan seluk beluknya, biar aku bisa membuat baju-baju yang cantik. Dan jadilah aku sekarang yang menggeluti pekerjaan sesuai dengan hobi dan kesenanganku. Aku sangat bersyukur. "Jadi, Annisa, kamu tinggal tambahin payet mutiara di bagian leher ini biar semuanya rampung, oke?" "Siap, Mar. Sore ini mungkin udah selesai. Tinggal calling yang pesen buat ambil gaunnya." Aku mengangguk lantas pamit keluar. Pekerjaanku di butik ini sudah pasti bisa ditebak, apalagi kalau bukan pemilik sekaligus fashion designer alias perancang busana. Kadang, sesekali aku mengecek progres pekerjaan karyawanku di butik. Setelah hampir lima tahun mengembangkan butik ini, akhirnya aku yang awalnya hanya sendiri bekerja kini telah dibantu oleh 15 karyawan. Seperti halnya sekarang, aku mengecek gaun-gaun yang terpajang di etalase butik. Sudah tiga hari gaun-gaun itu tidak diganti, seharusnya sudah diperbaharui. "Win, kamu tolong gantikan gaun ini dengan model terbaru dari butik kita, jangan dibiarkan terpajang lama begini lain kali," titahku. "Iya, Kak. Aku sampai kelupaan, banyak banget permintaan dari pelanggan sampai nggak sempat ganti yang di etalase." Winda menampilkan raut bersalah, lalu meminta maaf yang kubalas dengan kekehan pelan. Winda itu anak baru yang sudah satu bulan bekerja di butikku. Dia masih merasa canggung, apalagi 'kan aku orangnya memang terlihat dingin membuat dirinya sedikit segan. "Santai aja kali, Win. Aku bukan bos galak yang langsung marah kalo kamu ngelakuin kesalahan. Anggap kita berteman saja ya?" Winda seketika salah tingkah, dia menggaruk tengkuknya sebelum pamit untuk melanjutkan pekerjaan. Setelah selesai mengecek semua pekerjaan karyawanku, aku pun kembali ke ruang kerja pribadi. Duduk di sofa yang depannya terdapat meja penuh dengan kertas-kertas coretan hasil karyaku. Aku diam seraya berpikir sejenak. Benar kata Winda, permintaan para pelanggan semakin melonjak naik, karyawanku pun sudah mulai kewalahan semua. Apa aku perlu mencari pekerja baru lagi? Nafasku berembus lelah. Mencari pekerja yang sesuai dengan kriteriaku itu agak sulit, makanya aku paling malas kalau harus merekrut karyawan lagi. Mendesah pelan, aku pun mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Nanti saja aku pikirkan soal karyawan, aku tidak ingin pusing sekarang. Terdapat lima panggilan tak terjawab di ponsel membuat dahiku mengernyit kala tahu Mama lah yang menelepon beberapa menit lalu. Tidak menunggu lama, aku pun menelepon balik dan langsung diangkat pada dering pertama. "Mam—" "Kamu punya ponsel gunanya apa sih? Daritadi nggak diangkat." Kebiasaan Mama, selalu mengomeliku jika lama mengangkat telepon. "Iya maaf, Ma. Ada apa sih? Ada hal penting?" "Ck, kamu di butik, 'kan?" "Iya, lagi sibuk banget. Emang kenapa?" "Mama mau ke sana, tungguin." Tut tut tut Wajahku cengo, apa-apaan si Mama? Aku kira ada hal penting atau mendesak sampai sempat marah, tapi ternyata hanya bilang begitu saja. Lagipula, untuk apa juga Mama ke sini? Tidak biasanya beliau datang berkunjung. Atau jangan-jangan minta dibuatkan busana baru? Kan sebentar lagi pernikahan si Gina, anak teman arisan mamaku. Tidak mau memikirkan niat Mama ke butik, aku memilih melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Aku sibuk mendesain busana, tiga bulan lagi aku mau mengeluarkan gaun busana dengan memadukan batik khas Indonesia di dalamnya. Terlalu fokus dengan desain, aku sampai berjengit kaget saat tiba-tiba pintu ruanganku dibuka dengan keras. "Marisa! Liat siapa yang dateng!" Mama masuk ruangan dengan tidak sabaran sambil berteriak antusias membuatku mengelus d**a pelan. Mama selalu saja heboh. Aku pun memutar kepala hingga melihat sosok yang baru-baru ini bertemu denganku, rupanya Tante Cantik yang kutemui di kondangan sekitar lima hari yang lalu. "Tante Malinda?" Wanita paruh baya itu melambai. "Hai, Marisa Sayang. Ketemu lagi sama Tante," sapanya manis. "Wah, Tante kemari? Marisa senang lihat Tante di sini," balasku kemudian bangkit berdiri menghampiri kedua wanita paruh baya itu. "Heh kamu ini! Sama Tante Malinda kok manis banget, sama mamanya sendiri malah cuek," kata Mama sebal. "Ya ampun, Ma. Gitu aja dibahas, emang kurang manis apa lagi aku sama Mama?" Aku pun memeluk mamaku dan mengecup pipinya sayang, lalu beralih memeluk Tante Malinda. "Aduh maaf, Ma, Tan. Ruanganku berantakan banget, tapi duduk dulu aja di sofa biar aku beresin sebentar." Secepat kilat aku rapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Kugabungkan jadi satu semuanya lalu kusimpan di laci meja. Buru-buru aku buatkan teh hangat untuk Mama dan Tante Malinda sebelum menyuguhkan di hadapan keduanya. "By the way, kenapa nih Mama bareng Tante dateng ke sini? Mau dibikinkan busana ya?" tanyaku sesudah duduk di seberang mereka. "Bisa dibilang gitu sih, Mar. Waktu mamamu cerita kamu punya butik, Tante jadi ingin mampir. Buat satu baju di sini sepertinya ide bagus, Tante lihat baju-baju kamu cantik semua." "Terimakasih, Tan. Butik aku sebenarnya nggak seterkenal itu dibandingkan yang lain, tapi aku yakin, Tante nggak bakal kecewa desain di sini," balasku sedikit tersipu. Tante Malinda tersenyum manis. "Kamu ini gimana sih, Mar. Butik kamu sudah termasuk besar loh menurut Tante." "Dia emang gitu, Lin. Sok ngerendah biar dipandang tinggi." Mama nimbrung dengan nada menyebalkan. Aku cemberut, lagi-lagi Mama bertingkah. "Apaan sih, Ma. Aku nggak ada maksud begitu ya." Tante Malinda tertawa renyah diikuti Mama. Mama kadang suka sengaja membuatku kesal. Katanya, mukaku jadi lucu kalau diisengin Setelah itu, aku dan Mama juga Tante Malinda terlibat obrolan yang sangat seru. Tak jarang, aku dan Mama saling lempar kejahilan agar satu sama lain merasa kesal yang selalu berakhir dengan tawaan. "Haha, kalian memang lucu sekali ya? Sifat kalian ternyata memiliki banyak kesamaan," ucap Tante Malinda disela tawanya. "Nggak juga, Lin. Aku saat masih muda dulu adalah orang yang supel, jadi banyak yang menyukaiku walau baru pertama kali ketemu. Sedangkan Marisa itu cuek, perlu akrab dulu dengannya agar kita bisa menyukainya," terang Mama. "Iya, kamu orang yang supel, Sar. Sampai-sampai terkenal di kalangan banyak pria." Aku berdehem, percakapan ini rupanya mulai menjurus ke suatu hal yang tidak kusukai. Mama melirikku sebentar seraya berkata, "Sayangnya, Marisa nggak begitu, sikap cueknya itu sangat sama dengan Mas Gunawan." "Padahal menurutku, Marisa anak yang asik loh, nggak kelihatan tuh cuek denganku," jawab Tante Malinda bernada heran. "Nggak tahu juga nih si Marisa, jarang banget dia langsung rileks begini ketemu sama orang baru." Aku nyengir, bingung juga mau menjawab apa. Tante Malinda adalah orang yang berhasil membuatku nyaman seketika, just it. "Iya 'kan? Marisa itu asik. Kalau saja dia nggak cuek pasti udah dari lama punya suami," lanjut Mama. Aku menghindari tatapan lamat keduanya padaku. Menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali, aku pun mengambil apa saja yang ada di meja. Ternyata buku sampel kain lah yang ada di tanganku sekarang. Aku harus segera lari dari situasi ini. Aku berdehem. "Kayaknya aku mau ke ruang sebelah dulu deh. Ada kerjaan penting yang mau kusampaikan ke karyawan." Mama terlihat membuang nafas keras, tampaknya tahu kalau aku sedang mencari cara agar kabur dari pembahasan menyebalkan ini. "Kamu ada waktu weekend ini, Mar?" tanya Mama padaku diikuti dengan perasaan lega yang menjalar di benakku. Akhirnya Mama mau mengerti kalau aku sedang tidak ingin mendengar topik tentang pernikahan. Aku pun urung untuk bangkit dari sofa. Kembali meletakkan buku sampel kain ke meja, aku mulai fokus lagi menatap Mama. "Nggak ada lah. Aku sibuk, Ma." "Sibuk apa kamu? Masa weekend masih kerja?" tanya Mama mulai ngomel. "Sibuk rebahan, hehe." Mama melotot mendengarnya, sementara Tante Malinda terkekeh geli. "Weekend ini aku mau istirahat, Ma. Mau rebahan lah seharian, masa Mama tega mau nyuruh aku nemenin Mama jalan lagi. Memangnya Mama mau kemana sih?" Wajahku melas berharap Mama tidak jalan-jalan akhir pekan ini. Aku malas sekali kalau harus menemani lagi. Andai pekerjaanku selama seminggu ini tidak banyak, aku pasti langsung gaspol saja. Tapi mengingat begitu menumpuknya permintaan pelanggan minggu ini, aku jadi urung bila harus jalan-jalan. Rasanya aku wajib mengumpulkan energiku di akhir pekan ini untuk menghadapi minggu selanjutnya yang lebih melelahkan di butik. "Mama mau kamu ikut makan malam bareng. Nggak mungkin bikin capek 'kan, Mar? Just dinner, nggak begitu menyita waktu istirahatmu." Kutatap wajah Mama yang penuh harap menjadikanku tidak enak untuk menolaknya. Padahal hanya makan malam, tapi Mama seperti ingin sekali aku penuhi. "Kenapa nggak di rumah saja? Toh sama saja 'kan, Ma. Kita cuman berdua." Mama berpikir sejenak, mungkin tidak tega juga denganku mengingat minggu kemarin Mama sudah mengajakku keluar seharian. "Bisa saja sih, tapi kamu harus bantu Mama masak hidangan enak. Karena kita dinner dengan teman Mama." Mulutku membentuk huruf O. "Kalau itu sih gampang, Ma. Asal aku di rumah aja, males keluar soalnya. Memang teman Mama yang mana sih yang dateng?" Mama berdehem sedikit salah tingkah sambil melirik pada Tante Malinda. "Entar lah, nanti juga kamu tahu sendiri," jawab Mama misterius. "Idih, Mama sok rahasiaan," cibirku pelan. Namun, sedetik kemudian mataku menyipit curiga. "Atau jangan-jangan temen Mama banyak ya?! Ih kalo gitu mending di luar lah, Ma. Sama aja 'kan capek kalo masakin orang banyak," keluhku, padahal belum tahu apapun. "Nggak, Sayang. Mama cuman undang satu temen kok." Spontan aku mengembuskan nafas lega. Bisa repot kalau banyak yang datang, akan lelah sekali menyiapkannya. Belum lagi cucian piring yang menggunung di wastafel. "Kalau gitu, Mama sama Tante Malinda mau pergi sekarang deh, Mar. Kamu pasti masih banyak kerjaan, 'kan?" kata Mama. "Iya, Tante bakal dateng lagi ya buat ngukur badan nanti. Nunggu seseorang nge-acc atau enggaknya dulu jadi mantu Tante," sambung Tante Malinda tersenyum aneh. "Hah?" Aku gagal paham lantas tak menggubris. Mungkin Tante Malinda mau mengajak menantunya mendesain baju di butikku. Akhirnya, aku memilih mengiyakan saja keduanya juga mengantar mereka sampai depan butik hingga mobil mereka melaju hilang di antara kendaraan lain di jalan raya. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil yang baru memasuki parkiran butik. Aku mengamati sosok yang keluar dari sana. Aku seketika terpana saat sosok itu dengan elegan keluar dari kursi kemudi. Apakah aku baru saja melihat bidadari yang selendangnya dicuri? Dia sangat cantik dengan tubuh semampai dan rambut panjang yang melambai indah dibalik punggungnya. Rambut berwarna keemasan, sangat berkilau di bawah siraman terik matahari. Seketika perasaan insecure menyerangku. Padahal aku bukanlah orang yang gampang rendah diri. Tanpa sadar, aku memindai tubuhku sendiri dan menyurai rambut hitam tebalku. Wanita itu berjalan menuju butik sambil menebar senyum manis, meskipun masih berjarak beberapa meter dariku. "Selamat siang, silahkan masuk," sapaku ramah ikut tersenyum. Kuikuti langkah wanita tersebut ke dalam, matanya mengedar meneliti tiap sudut butik. Sesekali terdengar decak kagum dari bibirnya yang berpoles lipstik warna nude. "Wow, nggak kusangka gaun di sini sangat menarik. Desainnya unik, namun elegan," pujinya lalu menatapku senang. "Siapa fashion designernya? Aku ingin bertemu dia." "Aku sendiri, Mbak. Terimakasih, aku sangat tersanjung jika Mbak menyukai desainku." Mbak Cantik itu mengernyit tidak suka seraya menggelengkan kepala. "No, aku nggak suka dipanggil 'Mbak', sepertinya kita seumuran saja. Jadi kenalin, namaku Celia, calon pelanggan di butik punyamu." Aku pun membalas uluran tangan tersebut. "Aku Marisa. Aku akan sangat senang kalo memang seperti itu." "Okay, Marisa. Bisa tunjukin desain paling bagus yang kamu buat?" Senyumku mengembang lebar, aku pun membimbing Celia memutari butikku menunjukkan berbagai macam koleksi terbaik yang kupunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN