Chapter One

1901 Kata
Bisik-bisik dari beberapa orang di sekitarnya membuat seorang gadis dengan kacamata yang menutupi mata indahnya itu merasa sedikit tidak nyaman, ditambah lagi dengan tatapan yang mencemooh. Ia lantas menundukan kepala, menutupi wajahnya dengan helaian rambut dan segera mempercepat langkah. Sayangnya bisikan dari orang-orang itu semakin terdengar jelas ditelinganya, gadis itu pun mendekap erat buku tebal dipelukannya dan memilih berlari. Namun ternyata hal itu membuatnya berakhir menabrak seseorang dan buku yang berada dipelukannya terjatuh. Dengan cepat ia mencoba mengumpulkan kembali bukunya, sembari menulikan telinga dari tawa-tawa si*alan yang datang dari orang-orang tadi. "Apa yang sedang kalian tertawakan?!" Suara berat dan tegas itu membuat gadis itu tersentak kaget dan seketika tawa di sekitarnya menghilang. Ia lantas cepat-cepat merapikan bukunya dan berdiri, berniat untuk pergi secara diam-diam agar tidak menarik perhatian, tapi orang yang ia tabrak justru menahan pergelangan tangannya. "Tunggu dulu." "Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Lain kali aku akan memperhatikan langkahku." ucap gadis itu masih dengan kepala tertunduk. Ia pun menarik tangannya menjauh. "Oh bukan seperti itu. Aku yang salah karena terlalu serius bermain ponsel." ucap lelaki itu diiringi dengan tawa ringan. Perlahan gadis itu pun mengangkat pandangan, membuatnya langsung bertatapan dengan mata sebiru lautan yang indah. Juga senyum itu... "Kau tidak apa-apa 'kan?" Gadis itu tersadar, menggeleng pelan sambil merapikan kacamatanya. "Tidak apa-apa. Kalau begitu aku—" "Ini punyamu?" Lelaki itu mengembalikan bros berbentuk buah apel milik gadis tadi. "Iya. Terima kasih," "Sama-sama. Lain kali jangan jalan dengan kepala menunduk. Agar orang lain tidak berani menertawakanmu lagi," ucap lelaki itu sambil tersenyum tipis. "Namaku Dimitri, kau bisa memanggilku Dimi. Namamu siapa?" "Olin." "Baiklah, Olin. Sampai jumpa lagi," Dimitri menepuk bahu Olin sekali, lalu segera pergi dari sana. Sementara Olin hanya menatap punggung Dimitri yang perlahan menghilang. Dan otaknya mulai mencatat hari ini sebagai hari pertama ia bertemu dengan Dimitri. **** 5 Tahun kemudian.... "Mommy, wake up!” Pagi itu, di tengah tidur nyenyaknya Olin terbangun begitu mendapati tempat tidurnya berguncang disertai teriakan nyaring di sebelahnya. Wanita berusia 27 tahun itu pun membuka matanya, menemukan pangeran kecilnya yang duduk di tepi ranjang sudah memasang wajah cemberut dengan tangan terlipat di depan d**a. Melihat itu tentu saja memancing senyuman di bibir Olin saat melihat tampang menggemaskan pangeran kecilnya. "Kenapa sayang?" Olin bangun dari tidurnya, menarik pangeran kecilnya itu untuk duduk di pangkuannya. Awalnya anak itu menolak, tapi lama kelaman ia tak lagi menolak begitu Olin mencium pipinya. "Kenapa Mommy belum bersiap-siap? Mommy tidak lupa ‘kan jika hari ini adalah hari pertama Al sekolah?" Kedua mata Olin lantas membelalak. "Astaga! Maaf, sayang. Mommy tidak bermaksud melupakan hari pertama Al sekolah," Olin kemudian memindahkan putranya untuk duduk di atas kasur, sementara dirinya bergegas turun dari ranjang. Untuk sejenak ia meregangkan otot-otot tubuhnya sebelum menatap Al hangat. Al memperhatikan tiap gerak Olin dengan mata bulatnya. “Mommy pasti sedang lelah saat ini. Bagaimana jika Al berangkat sekolah bersama Niana saja, Mommy?" Olin langsung menggeleng tak setuju. "No! Karena hari ini adalah hari pertama Al sekolah, jadi harus Mommy yang mengantar." Al pun terkekeh kecil. "Really, Mommy? Apa Mommy tidak lelah?" "Tentu tidak. Bahkan saat ini Mommy sangat bersemangat untuk mengantar Al ke sekolah," "Yeay! Thank you, Mommy." Al mencium pipi Olin sebelum turun dari ranjang. "Kalau begitu, Al akan menunggu Mommy di bawah. Bye!" Olin hanya tertawa kecil saat melihat tingkah lucu anaknya itu sebelum bergegas masuk ke kamar mandi dan bersiap untuk mengantar Al ke sekolah. **** "Mommy sudah siap?" Al bertanya ketika melihat Olin muncul. Anak itu nampak bersemangat untuk segera berangkat sekolah. "Tentu saja Mommy sudah siap. Bagaimana denganmu, Kapten? Apa sudah siap?" "Yes, Mommy! Captain Woody ready for school!" ucap Al sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Niana yang melihatnya terkekeh dengan tingkah lucu Al itu. "Baiklah kalau begitu. Captain Woody harus sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah," Olin meletakkan piring berisi pancake di hadapan Al. "Otay, Mommy!" Dengan perasaan riang lalu perlahan mulai memakan pancake-nya. "Niana, tolong siapkan bekal dan juga minum untuk Al ya?" pinta Olin pada Niana. "Baik, Nyonya." Dan selagi menunggu Niana menyiapkan bekal untuk Al, Olin memilih untuk memakan pancake bagiannya. "Mommy, apa Niana ikut kita?" "Tidak, sayang. Mulai sekarang, Al harus terbiasa tanpa Niana. Karena Al 'kan sudah besar." "Tapi, Mommy. Bagaimana jika Al membutuhkan sesuatu?" Olin tersenyum. "Itu berarti, Al harus belajar melakukannya sendiri jika butuh sesuatu." ucapnya sembari mengusap rambut putranya itu. Saat Al akhirnya mengangguk, Olin lantas melebarkan senyumannya. “Nah! Itu baru jagoan, Mommy." Lalu beralih mencium puncak kepala Al. "Al sayang, Mommy." Anak itu berdiri menaiki kursi untuk balas mencium kening Olin. "Mommy juga menyayangimu, boy.” balas Olin sambil mengusap bekas pancake di sekitar bibir Al. “Sudah selesai sarapannya?" Al tidak langsung menjawab, melainkan menghabiskan s**u di gelasnya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Sudah, Mommy!" "Ready for school?" "Yes, Mommy!!" Al kemudian turun dari kursi makan lalu berpindah duduk di sofa. Anak itu kemudian mencoba untuk memasang tali sepatunya sendiri meski terlihat kesusahan. Dengan ekspresi wajah lucu, Al memegang ujung tali sepatu dengan kedua tangannya, masih berusaha untuk mengikatnya. Olin yang dari tadi memperhatikan tingkah Al tak sanggup untuk menahan senyumannya. Wanita itu pun mendekat, duduk berjongkok di depan Al, hendak membantu anak itu memasang tali sepatu, tapi Al malah segera menjauh. "No, Mommy! Biar Al saja." "Kita bisa terlambat jika Al memasang tali sepatunya lama." Olin lantas mengikat tali sepatu Al secara perlahan untuk memperlihatkan caranya kepada Al. "Nah selesai," Al mengangkat kedua kakinya, menatap puas saat tali sepatunya sudah tersimpul rapi. "Thank you, Mommy!" "Your welcome, sayang." Olin kemudian membalikkan tubuh, menatap Niana yang berdiri tak jauh darinya. "Niana, aku akan mengantar Al ke sekolah." Niana pun mengangguk sopan pada Olin. "Iya, Nyonya." Setelah itu, Olin pun segera menyusul Al yang sudah lebih dulu keluar rumah membawa ransel mininya. **** Sampai di depan sekolah Al, Olin segera turun dari mobil, membukakan pintu untuk Al dan tak lupa pula membantu anak itu melepaskan sabuk pengamannya. “Siap bertemu teman baru?” Sambil meremas tali tasnya, Al mengedarkan pandangannya, menatap beberapa anak-anak seusianya yang sudah datang lebih dulu. Hal itu tentu saja membuat Al gugup, ditambah lagi saat mengetahui jika ada beberapa anak yang menatap ke arahnya. "Kenapa sayang?" Olin sepertinya mengerti apa yang dirasakan oleh Al. Ia pun memilih untuk berjongkok di depan putranya sambil mengusap pelan pipi Al yang sedikit memerah. Mungkin karena gugup. "Um...Al gugup, Mommy." Olin tersenyum tipis sembari menggenggam tangan Al. "Mommy antar sampai dalam ya?" tanya Olin dan Al menyetujuinya. Sambil menggenggam tangan Al, Olin pun berjalan memasuki area sekolah, dan berhenti ketika sampai di depan pintu masuk. "Masih gugup?" "Sedikit, Mom." Rasanya Olin ingin tertawa melihat bagaimana lucunya wajah Al saat ini, tapi dia menahannya karena tidak ingin membuat Al menangis di hari pertama masuk sekolah. "Tidak usah gugup." "Tapi Al masih gugup, Mommy." keluh Al. Bahkan keringat mulai terlihat di pinggir wajah Al. Sambil tersenyum, Olin memajukan wajahnya untuk mencium kening Al, berharap cara ini akan berhasil membuat putranya merasa lebih baik. "Masih gugup juga? Al tersenyum lebar. "Um...sudah tidak gugup, Mommy." "Kalau begitu, Al siap masuk ke sekolah?" "Siap!" Al memberi hormat pada Olin. "Kalau begitu, Al masuk dulu. Bye, Mommy." Setelah mencium kedua pipi Olin, anak itu langsung berlari masuk ke dalam sekolah, tak lupa pula ia malambaikan tangannya pada Olin. Setelah memastikan Al benar-benar masuk ke sekolah, Olin lantas kembali masuk ke mobilnya dan menjalankannya menuju kantor. **** Waktu sepertinya berlalu sedikit cepat hari ini, karena ketika Andrea masuk ke dalam ruangannya untuk memberitahu jadwal meeting bersama salah satu perusahaan ternama, waktu ternyata sudah menunjukan pukul sebelas siang. Itu artinya sudah empat jam Olin berkutat dengan dokumen di atas meja. Untuk sejenak Olin menyenderkan punggungnya di kursi untuk mengistirahatkannya. Setelah merasa lebih baik, ia pun melepas kaca matanya sebelum keluar dari ruangannya dan menemui Andrea yang sudah menunggunya. Tanpa banyak bicara lagi, Olin dan Andrea pun langsung berjalan ke lobby kantor sebelum masuk ke mobil. Selama di perjalanan menuju tempat tujuan,Olin menyempatkan diri untuk membaca dokumen meeting hari ini. Sesekali ia akan menganggukan kepala, lalu menggigit bibir bawahnya. "Oh iya, aku lupa bertanya. Di mana kita akan merting hari ini?" "Di kafe Orlando." Andrea menoleh sekilas. "Bagaimana hari pertama Al sekolah?" tanya Andra dengan pandangan masih lurus ke depan. "Ya begitulah. Anak itu sempat gugup untuk masuk ke kelas. Wajahnya sangat lucu tadi." Olin menutup dokumen di tangannya dan memilih untuk membicarakan Al. "Ah! Aku bahkan bisa membayangkan wajah lucunya. Coba aku ada disana, aku pasti akan mengabadikan fotonya." jawab Andrea dengan senyuman gelinya. "Dia tidak akan memaafkanmu jika itu terjadi." "Tidak masalah. Dia akan langsung luluh jika aku membelikannya es krim." Olin menggeleng geli. "Kau ini senang sekali membuatnya menangis. Dan pada akhirnya aku juga yang harus menenangkannya." "Kau tidak tau rasanya saat melihat Al menangis, Lin. Bahkan melihat wajahnya yang merah karena menahan tangis saja aku tidak bisa menahan tawa." "Itu salahmu! Dia tidak terima karena kau mengejeknya saat mengompol." Andrea dan Olin tertawa ketika mengingat kejadian minggu kemarin, di mana Al sengaja mengompol dan harus menahan malu saat Andrea mengetahuinya. "Lin," panggil Andrea. "Hm?" "Aku dengar, direktur utama Dinel. Corp itu sangat tampan dan juga ramah." Olin mengernyitkan dahinya, mendadak bingung karena Andrea malah membahas hal ini. "Lalu apa hubungannya denganku jika dia tampan dan juga ramah?" Andrea berdecak. "Ayolah, Lin. Kau tahu apa maksudku. Apa kau tidak mau mendekatinya? Sudah banyak pria yang kau tolak, sudah saatnya kau membuka hatimu itu." "Dengar Andrea! Aku punya alasan kenapa aku menolak mereka semua," "Alasannya adalah karena kau masih belum melupakan Ayah kandung Al, dan juga masih mengharapkannya." ejek Andrea. Rasanya ia sudah lelah membujuk Olin yang masih saja memilih untuk sendiri sampai saat ini. Padahal menurut Andrea, pasti akan mudah bagi Olin untuk mendapatkan pasangan dengan wajah secantik itu. "Hey! Bukan seperti itu! Aku tidak pernah mengharapkannya. Aku hanya tidak percaya apa itu cinta. Cinta itu sesuatu yang egois. Dan aku tidak mau egois hanya karena cinta." Andrea menghela nafas panjang. "Ya ya ya terserah kau saja. Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya Ayah kandung Al? Kenapa kau selalu merahasiakannya dariku?" "Karena itu hal yang tidak penting. Jadi tidak perlu diberitahu." "Lin, aku serius. Aku ingin tahu siapa Ayah kandung Al." "Sudahlah! Aku tidak mau membahasnya lagi." jawab Olin lalu memilih kembali membaca dokumen meeting. "Oke, terserah kau saja, Olin. Dan jika aku tahu siapa pria itu, aku pasti akan menghajarnya karena telah meninggalkanmu dalam keadaan hamil." Olin memejamkan matanya lantaran rasa pusing yang melandanya. Andai saja Andrea tahu apa yang sebenarnya terjadi, perempuan itu pasti akan berbalik menghajarnya. Oh ya ampun! Ini benar-benar membuatnya pusing. **** "Terima kasih karena telah mempercayakan semuanya pada kami." ucap Olin setelah meeting berjalan lancar. Wanita itu menjabat tangan Martin, orang yang di katakan oleh Andrea adalah orang yang tampan. Namun tak lebih dari seorang kakek-kakek. Oh ya ampun! Dari tadi ia benar-benar ingin tertawa saat melihat wajah Andrea yang terus-terusan cemberut. "Tidak apa-apa senang bekerja dengan kalian. Kalau begitu saya permisi," Martin melepaskan jabatan tangannya dengan Olin, lalu mulai melangkah keluar bersama-sama menuju parkiran. Olin membungkukkan tubuhnya sopan saat mobil yang di tumpangi oleh Martin perlahan menjauh. Setelah itu ia langsung berbalik menghadap Andrea. "Tampan ya?" tanya Olin dengan nada sedikit mengejek. Andrea lantas memutar mata. "Sudahlah! Berhenti menggodaku! Lagi pula dia bukan direktur utama Dinel. Corp. Dia hanya menggantikan putranya yang tidak bisa hadir! "Oke aku tidak akan menggodamu lagi. Tapi...apa menurutmu Mr. Martin tampan?" tanya Olin dengan mata mengedip lucu. Yang tentu saja membuat Andrea semakin kesal. "Oliiiin!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN