PROLOG

1307 Kata
“Mayaaaaa! Cepat turun! Kamu jangan bikin Mamah naik ke sana yaa! Turun gak!” “Gak usah teriak teriak gitu, Mah. Nanti juga turun,” ucap sang anak pertama; Mia. “Biar Mia yang bangunin Maya.” “Gak usah,” cegah sang Papah yang kini sedang membaca koran. “Biarin aja dia terlambat, biar dia tau gimana rasanya jadi orang gak guna.” Dan tidak lama kemudian, sosok yang lebih muda akhirnya turun ke lantai bawah. Dengan kacamata dan juga rambut yang terurai. “Ma, bisa bikinin Maya makan siang gak? Hari ini ada praktek lama, jadi gak ada jam istirahat.” “Beli roti aja nanti di jalan.” “Tapi Maya maunya buatan Mamah.” “Mamah harus pergi arisan. Makannya kalau ada apa apa, bilang sebelumnya. Atau bangun lebih awal, siapin sendiri, kan kamu udah gede.” “Itu Kak Mia disiapin sama mamah.” “Kakak kamu bangun lebih awal, terus bilang sama Mamah. Males ya Mamah kalau harus bikin sekarang.” Ketika Maya hendak menyahut, Mia langsung menggenggam tangan adiknya dan memberikannya isyarat agar tidak melawan lagi. Maya hanya menghela napasnya dalam, kemudian menundukan kepala dan focus pada sarapannya. Kedua orangtuanya memang tidak pernah memberikannya perhatian lebih seperti pada kakaknya yang cantik, pintar, dan juga memiliki kepribadian yang begitu sempurna di mata kedua orangtuanya. “Maya tunggu,” teriak Mia saat keduanya keluar dari rumah. “Nih, bawa bekal kakak.” “Terus kakak?” “Gak papa, buat kamu aja. Tapi sembunyiin dari Mamah ya, nanti dia marah kalau tau. Bye!” kakaknya melangkah menjauh dan masuk pada Porsche miliknya. Sementara Maya belum mendapatkan izin mengemudi sendirian, dia masih harus diantar jemput oleh supir. Perkenalkan, Maya Marcella Zhong. Seorang gadis berusia 22 tahun campuran Indonesia-Tionghoa yang kini masih berkuliah di semester enam fakultas sastra Indonesia. Dalam perjalanan ke kampus, Maya membuka isi dari makan siang kakaknya. Dan isinya jauh lebih baik dari apa yang selalu mamahnya buat untuknya. Kakaknya adalah anak kesayangan mereka. Berusia 25 tahun; dengan catatan sudah lulus S2, bekerja di perusahaan Papah mereka sebagai general manager. Yang paling penting, seorang Mia Marcellia Zhong berpengaruh besar dalam naiknya saham perusahaan sang Papah. ***** “May, lu kenapa sih murung mulu? dari tadi diem mulu?” tanya salah satu teman sekelas Maya. “Gak ke perpusatakaan? Lu kan habitatnya di sana, tumben masih di kelas.” Maya bukanlah sosok mahasiswa populer seperti kakaknya, dia anak yang pendiam dan juga tidak terlihat. Hanya segelintir orang yang mau berteman dengannya, bahkan beberapa teman sekelasnya tidak pernah menganggapnya ada; sampai tidak mengenali keberadaanya. Maya juga bukan sosok mahasiswa yang pintar, kepintarannya masih bisa tersaingi oleh siswa yang lain. “May, gue tau kalau lu sering melamun, tapi kalau keterlaluan kayak gini, gue takut juga. Lu kenapa sih?” “Gak papa, gue Cuma gak enak badan.” “Datang bulaan?” “Kayaknya, gue pulang dulu ya.” “Lah, masih ada satu jam pelajaran lagi loh.” Maya menggelengkan kepala. “Gak ikut dulu deh, nanti kalau ada tugas kirim W.A aja ya sama gue,” ucapnya sambil keluar dari kelas itu. Nah, meskipun Maya adalah anak yang rajin mengerjakan tugas dan dinilai baik oleh dosen, dia juga beberapa kali bolos dengan alasan sakit. Padahal, kini Maya hanya butuh ketenangan. Ketika melangkah melewati lapangan olahraga, dia melihat beberapa anak perempuan populer di sana. Iri pada mereka yang begitu mudah bergaul, tertawa dengan lebar dan juga memiliki kemampuan bersosialisasi yang memukau. TIIIINNNN! BRUK! Maya jatuh sambil memejamkan mata ketakutan. “Apa anda baik baik saja, Nona?” sopir tersebut keluar dari dalam mobil. Saat Maya membuka mata, dia melihat bagaimana kepala mobil itu hanya berjarak satu jengkal untuk menabraknya. “Tolong perhatikan Langkah anda saat berjalan,” ucap sopir tersebut membantu Maya berdiri. “Terima kasih, dan maaf atas kesalahan saya.” “Apa ada yang lecet?” Maya menggeleng. “Maaf,” ucapnya lagi dengan gugup, dia membenarkan letak kacamatanya dan segera menepi. Melihat bagaimana mobil tersebut kembali melaju menuju kampus, dan Maya melihat sosok pria yang duduk di belakang. Pria yang tampan, berwibawa dan mengeluarkan banyak aura positive. Jantung Maya berdetak kencang, dia menyukai pria itu pada pandangan pertama. Tapi, siapa dirinya bisa mendapatkan perhatian sosok pria yang bahkan tidak dia kenal sama sekali? ***** “Kenapa kamu udah pulang? Belum juga jam pelajaran kamu beres?” tanya sang Mamah geram melihat putri bungsunya sudah pulang sebelum jam pelajaran selesai. “Kamu bolos ya?!” “Maya sakit perut, Mah. Kayaknya datang bulan, tolong buatin teh jahe ya, Mah.” “Gak ada the jahe. Kamu itu nilainya selalu jelek di mata kuliah Pak Hendi, harusnya kamu gak bolos hari ini, Maya!” “Tapikan nilai yang lainnya bagus, Cuma Pak Hendi doang.” “Itu sebabnya harusnya aku bisa cari cara supaya nilai kamu bagus. Heran, beda banget sama kakaknya.” “Kalau gak mau bikinin gak papa, Maya mau istirahat.” Tidak ingin mendengar ocehan Mamahnya lagi, Maya memilih naik ke kamarnya dan berbaring di atas ranjang. Dia tidak berbohong tentang sakitnya, tapi memang tidak sesakit itu; bisa ditahan jika dipaksakan. Memang Mamahnya sampai mengawasi jadwal kuliah Maya, menekan anak bungsunya agar bisa mengimbangi kakaknya yang lulus S2 di usia 24 tahun. Tentu saja mereka berdua berbeda, dan Maya hanya bisa meneteskan air mata sampai akhirnya terlelap. . . . “Sebelumnya Papah udah bicara sama Mia, dia bilang mau ikut gimana Papah aja. Lagian juga belum kenal, jadi Mia belum bisa pastiin dia nolak atau enggaknya.” “Emang siapa calonnya?” “Pemilik Bratadikara Group.” “Tunggu, perusahaan terbesar di Asia itu?” tanya Sang Mamah. Maya yang terlelap itu harus terbangun mendengar pembicaraan kedua orangtuanya, dia mengerutkan kening dan membuka jendela kamar. Ternyata orangtuanya sedang bicara di balkon lantai dua, hingga mudah untuk Maya mendengarkan. “Iya, Namanya Allen, dia ganteng kok, usianya baru 26 tahun, udah megang posisi sebagai CEO.” “Pasti Mia mau lah, dia punya segalanya. Sebanding, orang itu juga bisa dapet Mia.” Mamahnya terdengar exited. “Mia belum tau siapa orangnya, dia pasti kaget kalau nanti ketemu., gak akan nolak dia. Papah jamin.” Ternyata kakaknya akan dijodohkan dengan seseorang yang kaya. Maya sudah menduga ini, kakaknya adalah asset berharga keluarga Zhong sehingga masa depannya pasti dipersiapkan dengan sempurna oleh kedua orangtuanya. Dan benar saja, saat malam tiba suasana berubah menjadi berisik. Mamahnya memanggil koki ternama untuk menyiapkan makan malam, seorang perancang busana untuk membuatkan Mia gaun yang indah. Sementara Maya hanya melihat saja sambil duduk di atas Kasur, dirinya hanya memakai gaun sewaan dari sang perancang. “Kakak beneran mau dijodohin sama orang itu?” tanya Maya. “Belum tentu, May. Kakak kan belum liat orangnya, ini buat formalitas doang. Tapi kalau kita cocok, pasti dilanjut. Toh ini buat kelangsungan perusahaan juga.” “Kakak tau siapa orangnya?” “Papah gak kasih tau, kita liat malam ini sama sama oke?” Sang Mamah bahkan menjemput Mia sendiri dengan wajahnya yang ceria, menggenggam tangan anak pertamanya dan melangkah bersama dengannya. Melupakan Maya di belakang sana yang merengut kesal. Kening Maya berkerut saat melihat sosok yang sedang bicara dengan sang Papah di bawah sana, kenapa dia merasa tidak asing? “Nah, ini dia anak pertama saya yang saya bicarakan, Namanya Mia. Sudah lulus S2 di usianya yang masih muda. Saham perusahaan Zhong juga naik berkatnya.” “Hallo, Mia.” Sosok itu membalas jabatan tangan Mia. “Allen.” “Dan Mia, ini Nak Allen Bratadikara.” “Bratadikara Group?” tanya Mia kaget. “Iya..” sang Papah exited. “Dia CEO nya.” “Oh astaga, sebuah kehormatan bertemu dengan anda.” Mia terlihat kaget dan juga Bahagia. Sementara Maya, dia kaget karena sosok itulah yang tadi siang berada di dalam mobil yang hampir menabraknya. Sosok yang membuat jantungnya berdetak dengan kencang. Dia di sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN