From Oji

1581 Kata
Aku membuka jaket untuk menaungi kepala Putri, lalu kami ke luar dari kafe dan segera masuk ke dalam mobil. “Cuma gerimis, Ji, harusnya kamu nggak usah berlebihan,” ucap Putri yang tampak sibuk memasang sabuk pengaman. Sebenarnya ini tidak berlebihan, memang momennya saja yang pas.  Aku memutar kemudi dan melesat pergi menuju rumah Putri. Sesekali aku menoleh pada wanita yang sudah hampir setahun ini memenuhi rongga dad*ku. “Kapanpun aku siap selama kamu siap,” kataku sembari menoleh sekilas dan kembali fokus pada jalan gelap di depanku.  “Kamu tahu, ‘kan, aku juga siap kapanpun kamu siap, tapi--” Aku tahu kalau cintaku dan Putri terhalang restu, orang tua Putri tidak setuju aku meminang anaknya. Bukan tanpa alasan ketidakmapanan menjadi alasan utama bagi mereka untuk mencari celah hubunganku dengan Putri. Intinya aku tidak kaya, bukan pemilik perusahaan, aku hanya karyawan biasa si pemburu berita. Aku mengerti kalau orang tua Putri takut aku tidak bisa menjamin anaknya. Selama hampir sepuluh bulan aku meyakinkan keluarga Putri, terutama kedua orang tuanya, tapi memang bukan pria seperti aku yang mereka inginkan.  “Ji, bukan cuma kamu, aku juga berusaha meyakinkan kedua orang tuaku,” tutur Putri sembari meletakkan tangan di bahuku. “Kalau kamu lelah, kamu bosan, kamu cerita,” pintaku.  “Iya,” sahutnya. Aku berhenti di depan pagar rumah Putri. Wanita itu segera membuka sabuk pengaman, aku menoleh dan kami bersitatap cukup lama. Aku merasakan dinginnya hubungan kami akhir-akhir ini. Putri seperti menyembunyikan sesuatu dariku.  “Beberapa minggu kedepan, aku akan disibukkan sama pekerjaan baruku,” katanya.  Aku mengangguk. Putri memang cerita kalau dia baru saja naik jabatan, aku ikut bahagia. Kerja keras Putri memang pantas dibayar mahal, namun, aku malah semakin minder bertemu dengan kedua orang tuanya, bagaimana tidak, pekerjaan Putri dan aku jelas berbeda, apalagi soal kedudukannya, jabatan Putri perlahan merangkak naik, yang dulunya karyawan biasa naik menjadi manager.  “Ucapan selamat saja mungkin tidak cukup, aku punya sesuatu buat kamu,” ucapku sembari mencari-cari kotak jam tangan di dalam laci dashboard. Aku malu saat aku gagal menemukannya. “Kayaknya ketinggalan deh, Put.” “Nggak apa-apa, lain kali bisa,” ucap Putri seraya mengecup pipi kiriku. “Aku pulang, kamu hati-hati,” tambahnya yang langsung kubalas dengan anggukan, lalu aku mendaratkan bibirku di kening Putri.  “Mimpi indah,” kataku.  Putri mengangguk, dia kemudian turun, lalu melambaikan tangan dan menutup pintu mobil. Aku mengusap kasar wajahku, masih kesal rasanya kenapa hadiah untuk Putri bisa tertinggal.  Aku sudah katakan kalau aku merasa hubungan kami menjadi dingin dan agak renggang, aku tidak tahu kenapa, tapi Putri seperti sedikit menghindariku, atau aku yang hanya merasa lelah lantaran orang tua Putri yang lagi-lagi merendahkan statusku, padahal aku sangat mencintai profesiku ini, orang-orang akan kehilangan berita jika tak ada si pemburu berita. Namun, orang tua Putri terlalu memandang rendah profesiku ini. “Mau sampai kapan, sudah saatnya kamu mempunyai aset untuk anak istrimu nanti”. Aku masih ingat dengan kalimat itu. Harusnya aku katakan dengan lantang kalau kedua orang tuaku pun tak pernah mempertanyakan mau sampai kapan aku menjadi reporter? Tidak, tidak seperti itu karena mereka tahu aku mencintai pekerjaanku dan aku tahu kalau mereka menghargai profesiku ini.  Tiba-tiba ponsel berdering. Namun, bukan nada dering yang biasa aku pakai. Ku tengok ke samping kiri, ternyata ponsel Putri ada di atas bekas tempat duduknya. Panggilan datang dari Pak Sam, seketika keningku mengernyit, siapa dia? Meski mungkin aku  lancang, tapi aku merasa kalau aku punya hak untuk menjawab panggilan itu. Tiba-tiba kudengar suara lembut sehalus beledu, sungguh telingaku geli dibuatnya.  [Kamu sudah sampai rumah belum, Put?]  Aku terdiam mendengarkan. [Put?] Suara itu kembali menggema. [Aku mau bicara serius, tapi nggak bisa lewat telepon, kalau besok sore aku main lagi ke rumah kamu boleh, kan? Ada hal penting yang mau aku bicarakan.]  Telingaku tiba-tiba terasa berdengung dan jantung terasa seperti berhenti beberapa detik. Aku memutus sambungan telepon dan memutar arah, lalu kembali ke rumah Putri untuk memberikan ponselnya. Jika semua belum jelas, aku akan bersikap seolah aku tak tahu apa-apa.  Karena memang belum jauh dari kediaman Putri, tak berapa lama aku sampai di depan rumahnya. Aku turun dari mobil dan berlari menuju pintu depan rumahnya. Namun, tak ada yang menyahut sama sekali. Sekali lagi aku coba, tetapi sama saja, sepertinya Putri juga belum menyadari kalau ponselnya ketinggalan di mobilku.  Kulihat sopir ayahnya ke luar, mungkin dia hendak mengunci pagar, aku berlari ke arahnya dan memberikan ponsel Putri. “Ketinggalan di mobil. Bilang sama Putri tadi ada telepon masuk, takutnya penting,” kataku.   Pak Rudi mengangguk. “Terima kasih, Mas Oji, nanti saya sampaikan.” “Saya permisi, Pak.” “Iya, hati-hati, Mas.” Aku masuk ke dalam mobil, lalu melesat pergi. Pikiranku tiba-tiba teringat akan sosok yang diberi nama Pak Sam dalam kontak telepon Putri. Kalaupun itu adalah bos Putri di kantor, harusnya tidak ada kata aku, mungkin selayaknya yang lebih normal dari atasan ke bawahan, saya dan kamu.  Putri bisa sebebasnya cemburu padaku, sedangkan aku, sedetikpun aku dilarang cemburu padanya, itulah perjanjian di awal hubungan kami. Tiba-tiba ponsel berdering panggilan masuk dari Aksa.  [Ji, di mana?] “Di jalan,” jawabku singkat.  [Ada kecelakaan, Ji. Lu sama Arka ke sana buat ngeliput, Brigitta dari studio menayangkan langsung liputan kalian.] “Otewe.” Aku lekas memutuskan sambungan, lalu melesat pergi menuju kantor, di depan lobi  Arka sudah menunggu. “Langsung aja?” tanyaku cepat. Dari lantai atas Aksa mengacungkan ibu jari, pertanda kalau semua sudah siap. Aku mengangguk, lalu mengacungkan ibu jari dan melesat pergi dengan Arka.  “Lu bawa mobil,” kataku sembari melempar kunci pada Arka, dengan sigap kameramen itu menangkap kunci mobil yang kulempar. Aku masuk ke dalam mobil dan Arka sudah siap dengan kemudinya.  “Putri ada cerita apa gitu sama lu?” tanyaku, Arka ini memang sahabat Putri dari SMA, dia juga yang mengenalkan Putri padaku.  “Nggak ada, Putri akhir-akhir ini tertutup.” Aku mengangguk menerima, mungkin memang tak selamanya Arka bisa dijadikan teman curhat, apalagi curhat tentang aku yang kebetulan ke mana-mana kerja bareng Arka.  Mobil berhenti di tepi jalan, garis polisi terbentang menghalangi badan jalan. Kulihat ada satu mobil polisi dan satu mobil ambulan dan satu mobil pemadam kebakaran, sirine saling bersahutan. Aku berlari pada sopir ambulan yang berjaga di atas, sementara yang lain turun untuk membawa korban yang jatuh ke jurang.   “Ini kejadiannya kapan, Pak?” tanyaku pada sopir ambulan itu. “Jam sepuluhan kurang, Mas, kebetulan sekitar jam 10 lebih lima belas menit ada telepon dan saya diminta untuk ke sini.” “Kejadiannya gimana, Pak?”  “Saya kurang tahu, Mas.” Aku mengedarkan pandangan mencari saksi mata atas kecelakaan tersebut. Seorang warga berdiri tak jauh dari mobil ambulan berada, kami segera menghampirinya, ternyata itu adalah saksi mata sekaligus orang yang menelpon ambulan.  “Kamera on?” tanyaku pada Arka. Arka mengacungkan ibu jari.  “Bagaimana kejadiannya, Pak?” Pria bertopi hitam itu siap memberikan laporan. “Kebetulan saya arah pulang, dari arah yang berlawanan ada mobil oleng, saya tidak tahu pasti kejadiannya seperti apa karena saya lihat lewat spion, mobil itu tiba-tiba terjatuh ke jurang, lalu beberapa detik kemudian saya mendengar suara ledakan. Saya berhenti dan langsung menelpon polisi dan ambulan.” “Baik, Pak, terima kasih untuk keterangannya,” ucapku. Arka kemudian mengarahkan kamera padaku dan mengacungkan ibu jari.  “Sebuah ledakan terjadi di bawah jurang sedalam tiga puluh lima meter dan kini polisi bersama team sedang melakukan evakuasi, diduga ledakan tersebut berasal dari sebuah mobil yang menabrak pembatas jalan. Alfian Fauzi melaporkan dari tempat kejadian.”  “Baik, Alfian, kami tunggu laporan selanjutnya,” ucap Brigitta sebagai engker dalam berita malam ini yang ditayangkan secara langsung di sebuah televisi nasional.  Arka kemudian mengarahkan kameranya ke bawah jurang, sementara aku mencari keterangan-keterangan lain dari polisi, sesuatu yang dapat mengidentifikasi korban, sayangnya setelah pemadam kebakaran berhasil memadamkan api, polisi tak dapat menemukan identitas korban yang diduga hangus terbakar. Seketika jantungku mencelus, saat sekilas kulihat jenazah korban ledakan tersebut dimasukkan ke kantong kuning oleh petugas Polisi dan siap diangkat ke atas menuju mobil ambulan. Arka terus mengarahkan kameranya, dia kemudian mengacungkan ibu jari padaku.  “Seorang pria tanpa identitas menjadi satu-satunya korban dalam ledakan tersebut. Dia mengalami luka bakar yang cukup parah dan nyawanya tidak terselamatkan, korban kini dilarikan ke rumah sakit Ganda Kusuma. Alfian Fauzi melaporkan dari tempat kejadian.”  Kamera kemudian mengarah pada ambulan yang membawa jasad dalam kantong berwarna orange tersebut. Setelah liputan itu selesai, Arka mematikan kameranya.  Aku masih tercenung menatap sisa-sisa api di dalam jurang. Aku kemudian menoleh menatap Arka sesaat setelah pria itu menepuk bahuku. Dia tampak memasukkan kamera ke dalam tas kecilnya, lalu menyampirkan di bahu. Dia kemudian mengangkat wajah dan menatapku. Aku tahu sedari tadi Arka berusaha berbicara denganku, tapi aku tidak dapat mendengar suaranya, selain kudengar suara sirine yang terus memekik, padahal kulihat mobil ambulan sudah berlalu sejak tadi, lalu kulihat mobil pemadam kebakaran juga perlahan pergi, hanya menyisakan mobilku dan mobil polisi.  Arka menarikku masuk ke dalam mobil. Aku benar-benar merasakan sunyi, kosong, entah apa yang terjadi padaku, korban kecelakaan itu terus saja membayangiku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, aku mengerjap dan segera menegakkan tubuhku.  “Udah bangun?” tanya Arka sembari menoleh sekilas padaku. Aku justru tercenung menatapnya terus. “Sedari tadi melamun, pas masuk mobil lu tidur,” imbuhnya.  Kali ini aku dapat mendengar suara Arka dengan jelas. Arka bilang kalau aku tertidur, padahal sedari tadi aku merasa kalau aku tidak tidur dan justru aku merasa tengah sibuk mengobrol, tapi bukan dengan Arka, mungkin aku sibuk mengobrol dengan diriku yang lain.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN