Three

1248 Kata
"Papa kenal wanita tadi?" "Enggak," jawab Pradipta. "Tapi, wanita itu kenal Papa," balas Cia masih tak percaya. "Apa itu artinya Papa kenal dia?" tanya Pradipta membuat Cia terdiam. Gadis itu mengalihkan tatapannya dari Pradipta ketika mati langkah, tak tahu menjawab apa. Benar juga, banyak wanita di luar sana yang berpura-pura kenal dengan papanya. Padahal tidak. Memalukan. Gadis itu kembali mengalihkan tatapannya ke arah sang ayah yang berjalan lebih dulu menuju parkiran. Sedikit terkejut sebenarnya karena Pradipta menjemput ke kelas seperti anak berumur lima tahun. Untung saja semua teman-teman kelasnya sudah pulang lebih dulu dan keadaan sekolah juga hampir sepi. Jadi mereka tidak akan tahu kalo Pricilia memiliki Papa yang sangat menggoda dan terkenal. Dengusan kecil terdengar bibir Pricilia ketika melihat seorang wanita dari kejauhan tengah berdiri di dekat parkiran. Kepala wanita itu begerak ke kiri dan ke kanan seperti menunggu sesuatu. Ia sudah menebak apa yang akan terjadi dalam lima menit ke depan. "Jemput Pricilia ya, Pak Dipta?" tanya seorang wanita yang memakai seragam dinas. Wanita itu Amalia, Guru BK di sekolah Pricilia. "Jemput Ibu Amalia," jawab Pricilia terdengar ketus. "Ya iyalah jemput saya, masa jemput ibu," lanjutnya sambil memutarkan bola mata. "Cia, masuk ke mobil." Gadis itu menghendikan bahunya dengan wajah tak peduli, menuruti perintah sang ayah, berjalan menuju sedan hitam yang terpakir rapi. Saat hendak membuka pintu mobil, Pricilia menyempatkan dirinya untuk menatap tajam ke arah sang guru yang sialnya menatap ke arah sang ayah dengan pandangan berbinar. "Maafkan Pricilia ya, Bu," ujar Pradipta tak enakan. Bagaimana pun juga wanita ini adalah guru di sekolah putrinya. "Iya, Pak. Saya tahu kok, usia-usia kayak Pricilia itu lagi proses untuk mencari jati diri. Nakal dikit-dikit enggak apa-apalah. Tapi, perlu di awasi sekali Pak Dipta takutnya malah keblabasan. Bapak enggak ada kepikiran untuk mencari ibu untuk Pricilia, Pak?" Amalia tersenyum malu-malu sambil menatap ke arah pria yang membuatnya jatuh cinta saat pertama kali melihatnya.  "Tidak, Bu. Kalo begitu saya pamit," ujar Pradipta singkat membuat Amalia tercekat. Apa baru saja ia ditolak? Pradipta mengangguk lalu meninggalkan Amalia yang masih terdiam, barulah wanita itu tersedar dan mengangguk menatap punggung kokoh yang perlahan menjauhinya. "Gimana? Masa Ibu tiri aku guru BK sendiri?" tanya Pricilia ketika Pradipta masuk ke dalam mobil. Pria itu sedikit menghela nafasnya ketika mendengar pertanyaan anaknya. "Enggak gimana-gimana." Cia mengangguk-angguk. "Baguslah. Soalnya Ibu Amilia itu disiplin parah, masa anak laki-laki yang panjang rambutnya lebih 5 cm, udah dicukak!" ceritanya. Tak mendapat balasan. Ia kemudian berdecih ketika melihat ayahnya fokus pada ponsel, lebih baik ia naik ojek online jika seperti ini.  Setidaknya jika ia bercerita, driver ojek online itu akan mendengarkan dan membalasnya. Walau ketika ia bertanya berapa umur driver itu malah dijawab "rumah saya di arah sini, Mbak." "Mau makan siang dimana?" tanya Pradipta meletakan ponselnya di atas dashboard. Ia baru saja memberikan pesan pada sekretarisnya bahwa ia tak akan kembali ke kantor setelah makan siang. "Di rumah aja." Pradipta mengangguk. Pricilia mendengus. Ayahnya benar-benar tak peka. Apa pria itu tidak menyadari bahwa ia masih dalam mode ngambek karena masalah sepatu pagi tadi? Dan, sekarang bukannya membujuk anaknya dengan makan di tempat lain, ayahnya malah nampak tak peduli. Padahal ia sangat ingin makan olahan daging panggang. Apa mungkin pria itu tak akan peduli bahwa ia tak makan? Patut dicoba. "Gimana—-" Ckittt! "s**t," umpat Pricilia ketika kepalanya hampir saja menabrak dashboard. "Gila ya wanita itu mau mati jangan bawa-bawa orang dong," serunya ke arah wanita yang tiba-tiba muncul di depan mobil ayahnya ketika hendak meninggalkan parkiran. Keningnya berkerut saat melihat dengan jelas siapa wanita itu?  Lagi?! "Kamu enggak papa?" tanya Pradipta kepada anak gadisnya. Akibat menekan rem terlalu kuat dan spontan, Pricilla yang tak mengenakan sabuk pengaman hampir saja kepalanya bersentuhan dengan dashboard mobilnya. "Papa jangan halangin aku lagi. Ini harus di selesaikan hari ini juga." Setelah mengatakan itu, Cia keluar dari mobil membuat Dipta melihat ke arah depan. Dimana ada seorang wanita yang membuatnya mengerem mendadak karena kemunculannya yang tiba-tiba. Takut terjadi yang tidak-tidak karena mendengar perkataan terakhir anaknya, Dipta memutuskan untuk menyusul. "Lo cari mati?!" sembur Cia ke arah seorang wanita yang sedari tadi mencari masalah dengannya. Di tangan wanita itu ada sebuah paperbag. "Cari pahala dong!" jawabnya tak mau kalah. Prily mengabaikan Cia yang sudah siap ingin menyeruduknya. Di kepala gadis itu telihat dua tanduk kerlap-kerlip yang siap beraksi. Ia memilih memfokuskan pandangannya ke arah seorang pria yang berjalan mendekat ke arah mereka dengan gagahnya. Prily memberikan senyuman terbaiknya ketika Dipta sudah berada di antara mereka. "Saya mau balikin ini, Pak." Prily mengangkat paperbag yang ia bawa. "Saya kira bapak kurir yang nganterin paket dari teman saya," ujarnya menyerahkan bungkusan itu pada Dipta.  Saat Pradipta menerima paperbag itu dari Prily, gadis iru menyempatkan tangannya  untuk merasakan genggaman tangan besar pria di depannya membuat Cia menjelit dan menepis tangan Prily. "Saya enggak enakan, kita baru kenal tapi bapak udah ngasih saya hadiah. Dari yang kecil-kecil aja dulu, pak. Nomor telepon?" tanya Prily sambil tersenyum manis. Gadis itu sedikit menyampirkan rambutnya ke bekalang telinganya. "Oh, ini untuk anak saya."  "Hah?!" Wajah Prily perlahan berubah tak enakan. "Tadi karena buru-buru, saya ingin menitipkannya pada kamu. Tapi, nampaknya kamu tidak mendengarnya," jelas Pradipta. Prily meneguk ludahnya susah payah ketika mendengar penjelasan pria di depannya yang membuat pipinya terasa memerah. Oh, tidak ia butuh pintu ajaib sekarang. Ia ingin menghilang sekarang juga! "Pede banget, sih, Mbak," ujar Pricilia sudah terbahak keras. Untung saja gadis itu tidak bertipe wanita yang jika tertawa,  tangannya ikut memukul-mukul. "Cia sudah," kata Pradipta membuat tawa anak gadisnya terhenti dan kembali memandang wanita itu kasihan. "Terima kasih sudah mau membalikan," ucap Dipta membuat Prily kembali mendongakan kepalanya yang sempat tertunduk. "Sama-sama, Pak," ujar Prily dengan suara mengecil, wajahnya yang nampak lesu membuat Pradipta tiba-tiba direndung rasa bersalah. "Kalo begitu saya permisi, Pak."  "Hati-hati." Prily spontan membalikan kepalanya cepat kerika mendengar sesuatu. "Apa, Pak?" tanyanya dengan kelopak mata mengerjapkan. Angin kencang tiba-tiba berhembus dan menerbangkan rambut Prily yang hanya sebahu. "Hati-hati," ulang Pradipta membuat Pricilia yang mendengarnya menganga. Apa tadi Papanya bilang? Hati-hati? "Iya, Pak," ujar Prily dengan wajah yang tiba-tiba cerah luar biasa. Ia tersenyum kecil juga manis. "Bapak juga hati-hati." Lalu pergi dengan riang. Namun, tak lama ketika tubuh langsing Prily menghilang dari tembok. Terdengar teriakan yang membuat Pradipta dan Priclia saling pandang. "AAAAAA!! SENANG BANGET!!!" "Ayo, pulang Cia," ajak Pradipta membuat Pricilia akhirnya sadar dan kembali menuju mobil mereka. Di perjalanan menuju rumah, tiba-tiba ia teringat dengan Gendis. Pasti gadis itu sedang asyik berbelanja dengan ibunya. Pasti sangat menyenangkan. Menyedihkan memang ketika membayangkan seseorang tengah bersenang-senang saat ia tidak akan pernah merasakannya. Memikirkannya membuat Pricilia tiba-tiba menjadi kesal sendiri.  Mobil yang dikendarai Pradipta berjalan mulus di jalanan, hampir tak ada hambatan. Namun suasana di dalam mobil itu tarasa sangat sepi, Pradipta sendiri yakin, jika ia bersama dengan kliennya tak akan sesepi ini. Dirinya sendiri sudah beberapa kali memikirkan apa yang sebaiknya ia bicarakan dengan Pricilia. Setidaknya tidak membuat suasana sesepi ini. Hingga ketika mereka memasuki perumahan, tetap tidak ada pembicaraan berarti di antara mereka berdua. Pradipta hanya bertanya apakah anaknya ingin mendengarkan musik atau tidak yang langsung dijawab gelengan kepala oleh Pricilia. Ketika sampai di rumah mereka, gadis enam belas tahun itu langsung berjalan menuju anak tangga untuk sampai di kamarnya di lantai dua. "Cia," panggil Pradipta.  Pricilia yang sudah di anak tangga, membalikan tubuhnya. "Apa, Pa?" "Mau ikut Papa BBQ di rumah? Kita bikin daging lada hitam?" Mungkin makanan adalah salah satu moodboaster terbaik untuk Pricilia. Gadis itu tersenyum lebar ketika membayangkannya dan tentu saja ia akan mengangguk. "Aku ganti baju dulu, Pa!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN