PART-1. ZOMBIE.

1660 Kata
PART-1. ZOMBIE. Sunday memasuki ruangan yang… “Tunggu.” Ia berkata pada diri sendiri lalu berbalik dan membawa kakinya keluar dari sana. Tatapannya menyapu seluruh area di luar rumah. Tepat di halaman rumah tersebut terdapat hamparan pasir putih. Dari kejauhan dia bisa melihat ombak-ombak yang saling berkejaran. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat tetapi dia yakin apa yang dilihatnya saat ini bukanlah sesuatu yang normal pada umumnya. “Ada apa?” “Kemana semua orang?” Sunday mengerutkan keningnya. “Ada beberapa rumah seperti ini di sepanjang pantai. Namun hanya rumah ini satu-satunya yang lampunya menyala.” “Kau tidak tahu?” Tanya pria itu seolah menahan amarahnya. “Apa?” Sunday menggigit bibir bawahnya. “Apa semua orang di sini sudah dimakan zombie? Hanya kau yang bertahan?” Pria itu mengangguk. Sunday sontak menutup mulutnya rapat-rapat. “Apa kubilang, sudah lama aku meyakini kalau zombie itu ada. Orang-orang tidak ada yang peduli dengan ucapanku.” Sunday mengepalkan tangan. “Kau melihat ukuran tubuh dan wajah mereka. Bagaimana kelihatannya?” Pria itu mendekati Sunday. Tiba-tiba saja hal itu membuatnya panik. “Tidak. Tunggu! Tolong jangan makan aku!” Sembari memutar bola matanya, pria itu berkata, “Aku tidak yakin dengan daging dan darahmu. Kalau kau sekurus ini, bisa saja rasamu hambar.” “Hei!” jerit Sunday kecewa. “Kau baru saja menghinaku?” “Ya.” Sahutnya singkat. Ia melanghkah lagi kemudian berhenti tepat di depan Sunday. Satu tangannya terangkat untuk menonyor kepala Sunday. “Sadarlah! Kita hidup di dunia nyata. Bukan dunia fantasy milikmu. Tidak ada zombie di sini.” “Kau juga tidak mempercayaiku?” “Tidak. Aku masih cukup sehat untuk bisa mempercayai semua omong kosongmu.” “Kau pikir aku gila?” “Entah.” Kini giliran Sunday yang memutar bola matanya. “Aku serius.” “Aku juga serius.” “Jadi, kemana semua orang? Hanya ada kita berdua di sini.” “Masuklah. Aku akan menjelaskannya.” Mau tidak mau Sunday mengikuti pria itu. Ia bertanya-tanya, apakah dirinya akan aman bersama pria itu? Sunday tidak tahu apakah keputusannya untuk tetap tinggal di tempat ini adalah keputusan yang tepat atau tidak. Bagaimana pun mereka baru pertama kali bertemu. Jika dipaksakan untuk kembali ke apartemen tenaganya tidak akan cukup. Ia sudah semalaman tidak tdiur. Ditambah sepanjang hari ini Sunday sudah menghabiskan nyaris seluruh energinya untuk berkendara dan menangis. Apa yang harus kulakukan? Keluhnya dalam hati. “Bagaimana kau bisa masuk ke sini?” tanyanya mengejutkan Sunday. “Entah.” Sunday mengingat kembali apa yang terjadi padanya. Dia hanya membawa mobilnya melaju entah kemana. Sampai dia melihat petunjuk arah bertulikan ‘pantai’. Saat itu Sunday berpikir mungkin ada yang bisa dilakukannya di pantai. Dia hanya ingin menangis sekencang mungkin dan berteriak sambil memaki Si b******k dan jalang yang sudah mengacaukan acara pernikahannya hari ini. Mereka pantas mendapat makian dan cacian darinya. “Aku hanya memarkirkan mobilku lalu pergi ke pantai. Itu saja.” “Tidak ada penjaga di luar?” “Kurasa tidak. Aku bahkan tidak menyadari di sini hampir tidak ada orang.” Aku Sunday. “Ada apa?” “Seseorang baru saja menyewa tempat ini untuk keperluan pribadinya. Acaranya berakhir kemarin, untuk satu minggu belakangan tempat ini ditutup untuk umum karena alasan renovasi.” “Apa ada orang-orang yang melakukan hal itu? Wah… aku tidak percaya ini.” “Apa kau mengerti maksudku?” “Ya. Tentu saja. Jadi hari ini tidak ada orang karena tempat ini ditutup untuk umum.” “Benar.” Seulas senyum muncul di bibir pria itu. “Bukan karena semua orang telah dimakan oleh zombie.” Sunday meringis mendengar pernyataannya yang konyol. Saat ia hendak membuka mulut, pria itu lebih dulu menyela. “Tidak ada zombie di sini. Juga tidak ada zombie di dunia ini. Jadi tolong berhenti berkhayal.” “Ya… ya… ya… Aku mengerti.” “Bagus.” Pria itu mengamati Sunday dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. “Apakah kau bisa bertahan dengan pakaian seperti itu?” Seperti yang dilakukan oleh lawan bicaranya, ia pun mengamati dirinya yang kacau. Rambut yang masih basah, kemeja kebesaran milik pria yang baru saja dilihatnya hari ini, juga celana dalam yang masih sangat basah. Ia terlalu focus pada keadaan di sekitarnya hingga tidak menyadari kalau dirinya sekacau ini. “Tempat ini ditutup untuk umum, ya?” “Kau sudah tahu itu. Bukan itu yang aku bicarakan.” “Kenapa kau masih di sini? Apa pekerjaanmu belum selesai? Kau bertugas membersihkan tempat di sini?” “Anggap saja begitu, Nona.” Sunday mengangguk pelan. “Tidak masalah dengan pakaianku. Aku bisa bertahan. Lagipula tidak ada orang di sini. Besok aku akan pulang setelah bajuku kering. Aku akan mengurus diriku.” “Kau yakin?” “Tentu.” Sahut Sunday sembari tersenyum kecil. Jika malam ini menjadi malam terakhirnya di dunia, dia tidak akan keberatan. Sunday sudah cukup muak dengan hidupnya. Dia baru saja kehilangan tujuan hidupnya. Di saat seperti ini, barulah dia menyadari betapa menyedihkannya dirinya. “Sebaiknya kau mandi dan keringkan rambutmu. Ada handuk bersih di kamar mandi.” “Kau pasti kesulitan karena aku.” “Pulanglah saat bajumu kering.” “Ya.” ** Satu hari sebelumnya. “Kita bertiga akan menjadi ayah.” Celetuk Bruce sembari memandang gelasnya yang kini hanya tinggal setengah. “Bagaimana perasaan kalian?” tanyanya pada Brady dan Bright. “Aku cukup terkejut tapi aku tidak bisa mengatakan kalau aku bersedih. Aku bahagia. Bright mungkin jauh lebih bahagia daripada aku. Bukankah begitu, Adik?” Brady mengalihkan pandangannya pada sang adik. “Kau dan Bright mencintai wanita yang sama selama bertahun-tahun. Aku yakin kalian cukup senang bisa mendapatkan wanita kalian kembali.” Bright meringis. “Kuakui itu. Apa ini artinya kau menyesal karena hidupmu harus berakhir pada satu wanita?” “Jangan salah tangkap, Bright. Aku tidak mengatakan begitu.” “Kami semua mengenalmu, Brady. Ini pertama kalinya kau bertahan pada satu wanita dalam jangka waktu selama ini.” “Jangan bicara begitu. Dia akan menjadi yang terakhir untukku.” Brady melambaikan tangan pada Midnight. “Istri-istri kita terlihat akur.” Bruce, Bright, Brandon, dan Brian ikut memandang Eva, Midnight, dan Moonlight yang kini tengah berbincang. “Aku senang akhirnya ketiga kakakku telah menemukan pawangnya masing-masing. Kuharap kalian bahagia menjadi suami dan ayah dari anak-anak kalian. Brian, sebentar lagi kita akan punya tiga keponakan lucu. Bukankah itu menyenangkan?” Brandon merangkul adiknya dengan sayang. “Apa kau juga berencana menyusul ketiga kakak kita? Menjadi suami dan ayah di masa depan?” tanya sang adik dengan polosnya. “Sama sekali tidak, Nak. Aku tidak berniat menikah dan punya anak. Bagiku kau sudah cukup.” “Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil! Aku bukan balita lagi!” “Kau yakin dengan ucapanmu?” tanya Bright tidak percaya. “Aku yakin dulu Brady juga berkata demikian tapi kini dia berubah. Brady bahkan sangat menyayangi istrinya.” “Apa aku pernah berkata demikian?” tanya Brady pura-pura lupa. “Aku yakin.” Brandon berkata dengan suara lantang. “Jika nanti Brian menikah, aku akan menganggap anak-anak kalian sebagai anakku. Itu sudah cukup bagiku.” “Baiklah, terserah kau saja.” Bright menimpali. Hari ini seluruh anggota keluarganya berkumpul di sebuah pulau milik ayah mereka-Mr. Smith. Mereka mengadakan baby shower untuk mengetahui gender anak-anak ketiga kakaknya. Acaranya cukup seru. Ada banyak orang yang datang. Meski begitu, undangan hanya untuk keluarga besar dan teman dekat saja. Pulau ini sengaja ditutup selama satu minggu demi acara yang dinantikan keluarga besar mereka. Untungnya ayah mereka membeli dan berinvestasi pada pulau ini. Jadi mereka tidak perlu susah payah menentukan lokasi acara. Dari kejauhan Brandon memandangi orangtuanya. Setelah acara selesai, keduanya tampak menikmati pemandangan di pinggir pantai. Ayah dan ibunya tampak bahagia. Hingga hari ini tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat mereka sehat dan selalu memahami satu sama lain. Brandon dan keempat saudaranya selalu siap jika suatu saat ayah mereka dipanggil oleh sang pencipta. Bagaimana pun, kondisi ayah mereka bisa saja menurun karena jantung cangkokan itu. Besok pagi orang-orang akan meninggalkan tempat ini dan kembali ke rutinitas mereka masing-masing. Brandon memutuskan untuk tetap tinggal sampai beberapa hari ke depan. Tidak ada yang harus dia lakukan selama sepekan ke depan. Dia adalah bos untuk dirinya sendiri. Brandon bahkan tidak terikat dengan perusahaan manapun termasuk perusahaan milik ayahnya. Dia juga tidak terikat dengan manusia mana pun. Di sinilah kehebatan hidupnya. “Hidupku adalah milikku sendiri.” Prinsip itulah yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk tidak menjalin hubungan serius dengan siapa pun. Saat ada wanita yang berharap untuk dinikahi olehnya, detik itu juga Bradnon akan memutus hubungan dengan wanita itu. Brandon tidak ingin menikah atau menjadi seorang ayah. Dia ingin bebas dari kekangan dan menikmati hidupnya dengan sepenuh hati. Baginya kebebasan adalah sesuatu yang tidak bisa dimiliki jika dia terikat dengan orang lain. Saat malam semakin larut, Brandon memutuskan untuk kembali ke kamar. Dia tinggal di rumah sendiri karena Brian menolak untuk tinggal dengannya. Pulau ini di desain untuk menjadi tempat wisata bagi orang-orang yang tidak terlalu menyukai keramaian. Hanya segelintir orang yang bisa masuk ke pulau ini karena pihak pengelola memberlakukan batasan jumlah pengunjung. Ayahnya mengelola bisnis ini sejak dia masih kanak-kanak. Di sepanjang garis pantai berdiri rumah-rumah yang bisa dihuni oleh satu keluarga. Jarak antar rumah sekitar 300 meter. Hal itu dilakukan demi menjaga privasi antar pengunjung. Saat hendak menutup mata, tiba-tiba terbesit di benaknya untuk tinggal di tempat ini hingga beberapa waktu ke depan. Jika biasanya dia sibuk menonton balapan Brady dan Bright, rutinitas itu terasa membosankan akhir-akhir ini. “Apa sebaiknya aku mengencani seseorang? Dasar bodoh! Hidupmu tidak semenyedihkan itu. Astaga, kini aku benar-benar kesepian. Kenapa mereka bertiga harus menikah dalam waktu bersamaan? Tidakkah mereka memikirkan bagaimana perasaanku? Aku tidak punya teman untuk bermain.” Gerutunya pada diri sendiri. “Sebaiknya aku tidur. Semoga besok ada keajaiban dalam hidupku.” Brandon menutup mata. Beberapa detik kemudian ia membuka matanya lagi. “Kalau dipikir-pikir, hidupku sudah cukup ajaib. Aku punya tiga kakak yang keren dan adik yang menggemaskan. Apa lagi yang bisa kuminta?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN