3. Bad Idea

1652 Kata
Hampir tiga puluh menit Stella tidak kunjung kembali membuat Laurel hanya duduk diam seperti orang bodoh di bar. Tangannya sedari tadi bergerak memutar kaleng cola yang mulai habis. "Hei", Terdengar suara berat pria tepat di telinganya membuat Laurel terkejut dan merinding. Ia menoleh kebelakang mendapati seorang pria berparas asia sedang tersenyum miring kearahnya. "Hmm maaf, apa aku mengenalmu?", tanya Laurel tanpa berniat bangkit. Pria itu menatap Laurel dari atas hingga kebawah. Menimbulkan rasa tidak nyaman padanya. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya dimana Stella sekarang? Harusnya ini saat yang tepat untuk gadis itu muncul dan membantunya keluar dari suasana awkward dengan pria dihadapannya. "Kita tidak saling kenal. Untuk itu aku kemari, aku ingin berkenalan denganmu.", balasnya. "Namaku Jo.", tambahnya. Ia mengulurkan tangan kearah Laurel. Laurel ragu. Tapi pada akhirnya ia membalas uluran itu. "Laurel.", "Nama yang bagus.", Jo masih belum melepaskan tangan Laurel. "Terima kasih.", Laurel membalas dengan senyuman kikuk. Matanya kembali menatap pada tangannya yang masih di genggam Jo. Jo tidak menyadari bahwa Laurel mulai tak nyaman, ia malah mengangkat sedikit tangan Laurel dan memajukan kepalanya. Dengan cepat Laurel menarik tangannya sebelum Jo sempat mendaratkan ciumannya. "Maaf, aku sudah memiliki kekasih.", dustanya. Dan entah kenapa kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Semoga saja ia tidak menyesalinya nanti. Ekspresi Jo berubah. Alisnya saling menaut satu sama lain. Tangannya terlipat di depan d**a. Ia seperti tak percaya dengan ucapan Laurel. "Benarkah? Kata Stella kau single.", "Apa? Stella?", Jadi ini maksud Stella tentang membantunya? Menjodohkannya dengan teman-temannya? Laurel tak masalah bila gadis itu mau membantunya. Tapi, tidak dengan salah satu pria di klab ini. Bukan apa, hanya saja ia lebih menyukai pria yang baik seperti Darren. Pria yang lebih meluangkan waktu untuk hal yang positif dibanding ke klab. Jo mengangguk. Sedangkan Laurel melakukan hal kebalikannya. Ia menggeleng. "No, im not. Aku sengaja tidak memberitahu Stella kalau aku sudah memiliki kekasih.", ujarnya. "Kenapa aku tidak percaya?", Laurel tidak tahu harus menjawab apa lagi. Dua kali berbohong sudah membuatnya pusing. "Kau berbohong?", Jo seperti bisa membaca ekspresi Laurel yang kebingungan mencari alasan. Laurel lagi-lagi menggeleng. Tiba-tiba ia teringat sesuatu membuatnya mengangkat bahu. "Untuk apa aku berbohong padamu? Kau lihat itu.", Laurel mengangkat dagunya dan melirik kearah vodka milik Stella yang sejak tadi belum di sentuh. "Aku sudah memesankan minuman untuk kekasihku. Sebentar lagi ia datang.", "Baiklah. Aku akan menunggu disini sampai kekasihmu datang.", "Kau tidak perlu menunggunya.", Laurel mulai panik. Matanya mencari-cari sesuatu tapi ia sendiri tidak mengerti mencari apa. Hingga ada seorang pria yang melangkah ke arahnya. Ralat, kearah bar di belakangnya. Tanpa pikir panjang ia melambaikan tangannya kearah pria itu. "Hei beib!", Pria tampan itu sedikit terkejut ketika melihat sikap Laurel. Apalagi saat gadis itu mengedipkan mata beberapa kali sambil melirik kearah Jo. Lalu mengatakan, "bantu aku", tanpa bersuara. Sepertinya malam ini Tuhan berpihak kepadanya. Laurel merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Tak menyangka bahwa pria itu paham dengan apa yang dimaksudnya. "Hei beib, who's this?", ujarnya santai pada Jo. "Aku jo.", "Nice to see you jo. Im Orlando.", Jo menatap Laurel dan Orland bergantian. "Bagaimana aku tahu kalau kalian memang berpacaran?", tanyanya lagi. Laurel melirik sekilas pada Orland yang masih melingkarkan tangan di sekitar pinggangnya. Ia bangkit berdiri sambil berdehem pelan.  "Kau masih tidak percaya?", Jo mengangguk. Ia melipat tangannya di depan d**a sambil memicingkan mata. "Kau butuh bukti apa agar percaya?", tanya Orland. "I don't know. You guys tell me...", Tanpa banyak berpikir panjang. Laurel sedikit berjinjit. Ia mencium pipi Orland singkat. Tapi saat ia hendak memalingkan wajahnya. Tiba-tiba kepalanya di tarik cepat dan bibirnya dibungkam sesuatu yang lembut. Orland menciumnya. Bukan ciuman yang dalam. Hanya singkat, namun mampu membuat Laurel merasakan sensasi panas di sekitar pipinya. "Fine!", seru Jo sedikit tak terima. Ia sudah terlanjur tertarik pada Laurel meski baru bertemu. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan? Pada akhirnya Jo menyerah dan pergi menjauh. Detik berikutnya, Laurel segera melepaskan diri dari Orland. Dengan cepat Laurel mendaratkan sebuah tamparan di pipi pria itu. "Oke baiklah, aku sudah membantumu. Dan kau berterima kasih dengan cara menamparku?", "Thanks for helping me. But that! Because you kissed me!", ... Laurel baru saja masuk kedalam mobil Helen ketika gadis itu menceramahinya habis-habisan setelah menceritakan kejadian tadi malam. Mulai kejadian Stella meninggalkannya, Jo mencoba mendekatinya, hingga pria asing- ia lupa siapa namanya- tiba-tiba menciumnya. "Kalau aku bertemu dengan pria itu. Aku akan memukulinya habis-habisan karena menciummu seenaknya!", "Aku sudah menamparnya.", jawab Laurel lesu. Rasanya siang ini ia tidak bersemangat kuliah. Tapi katanya ada informasi penting dari Mrs. Powell setelah kelas usai. Mau tidak mau ia harus pergi. Padahal ia ingin bergelung diatas kasurnya yang empuk sambil memikirkan lebih tepatnya merenungkan hidupnya yang menyedihkan ini. Helen menggeleng. "Ah ah masih kurang.", "Sudahlah. Lagi pula aku yakin bahwa kita tidak akan pernah bertemu lagi. Aku tidak mau lagi datang ke klab. Cukup sekali saja dan langsung merubah hidupku yang indah.", "Aku sudah bilang bukan? Kenapa kau bodoh bisa ikut dengan Stella.", "Aku pikir Ste-", "Sudahlah, jangan berharap jika gadis itu berubah. Mengharapkan Stella berubah sama saja kau mengharapkan kuda beranak kura-kura.", Laurel tersenyum simpul. Memang Helen jago sekali menghibur Laurel meski dengan kata-kata menusuknya, terkadang. "Setidaknya kita harus terus kasih dia kesempatan.", "Yeah, can't wait...", balas Helen sarkastik. Tidak ada perbincangan antara keduanya setelah itu. Helen berkutat dengan pikirannya sendiri. Begitupula dengan Laurel. Hanya saja, tidak ada yang berbeda dari hal-hal yang dipikirkannya sebelumnya. Intinya masih sama, Darren. Sejak malam acara pertunangan itu. Darren sama sekali belum menghubunginya, apalagi bertemu. Memikirkan renggangnya hubungan mereka membuat Laurel dengan cepat membuka ponselnya. Bertanya pada Darren dimanakah pria itu. "Kau mengirim pesan untuk Darren?", Laurel mengangguk kecil. "Apa dia sudah menjawab?", tanya Helen lagi. Laurel menatap layar ponselnya. Belum ada notifikasi dari Darren. Ia menggeleng sambil mendesah pelan. "Jangan sedih. Aku punya firasat baik untukmu.", hibur Helen lagi sebelum mobil mereka sampai di pelataran kampus. ... Laurel berhenti melangkah ketika mereka sedang berjalan di koridor utama kampus. "Helen, kau duluan saja ke kelas. Aku harus mengurus sesuatu di ruang dosen.", Helen menyetujui rencana Laurel. Gadis itu berlalu meninggalkannya terlebih dahulu masuk ke dalam kelas. Sedangkan Laurel menuju ke ruang dosen yang kebetulan letaknya tak jauh dari mana mereka berdiri. Ketika sudah di depan ruang dosen. Inilah hal yang dibenci Laurel. Bahkan Laurel yakin seluruh mahasiswa disini pasti merasakan apa yang Laurel rasakan. Jantung berdebar, keringat dingin, dan tiba-tiba tidak bisa berkata atau gagap. Tapi, mau tidak mau Laurel harus masuk kedalam. Kalau kata teman-temannya, sarang iblis. Ini semua demi kredit poin milik Laurel yang masih kurang. Ia sudah semester lima dan semester depan ia harus magang. Jika magang, ada ketentuan untuk kredit poin minimum 80. Milik Laurel saat ini hanya 68 dan harus menambah lagi dalam kurun waktu beberapa bulan dimana hal itu sangat sulit pastinya. Laurel bukanlah berasal dari keluarga yang kaya seperti Helen maupun Stella dan Darren. Keluarganya sederhana tapi selalu berkecukupan. Jika Helen dan Stella membeli kredit poin. Laurel tidak, ia lebih memilih mendapatkan kredit poin dengan cara mengikuti kegiatan-kegiatan kampus. Akan menghabiskan banyak uang jika beli, bisa-bisa mencapai ratusan dollar demi memenuhi kredit poin. Saat Laurel masuk. Ia ragu-ragu melangkah menuju ke meja administrasi kampus. "Selamat siang.", ujarnya. Seorang pria paruh bayah berkacamata berambut hitam gelap menatap Laurel dengan ekspresi datarnya. "Siang. Ada apa?", tanyanya informal. Laurel meneguk salivanya. "Hmm aku ingin bertanya mengenai kegiatan kampus yang menghasilkan kredit poin.", "Tunggu.", jawaban singkat namun mampu membuat Laurel sedikit lebih tenang. Setidaknya ada harapan ia memenuhi kredit poin sebelum waktunya magang atau kalau tidak ia akan lulus lebih lama. "Karena beberapa minggu kedepan ulang tahun kampus. Jadi banyak kegiatan yang di cancel mendadak.", jelas petugas admin itu. "Hanya ada posisi sebagai asisten dosen. Apa kau mau?", Asisten dosen? Laurel terdiam sejenak. Ia tahu jelas bahwa menjadi asisten dosen tidak mudah. Apalagi Laurel akan ditempatkan bersama dosen secara acak. Harapannya semoga ia menjadi asisten dosen Mrs. Powell. Tapi rasanya mustahil. "Baiklah tak masalah. Aku mau.", "Kalau begitu, kebetulan, Mrs. Powell sedang butuh asisten.", Dalam hati Laurel bersorak bahagia. Memang hal itu yang ia mau. ... Laurel berlari secepat yang ia bisa ketika mendapat pesan dari Helen. Katanya, kelas siang ini di mulai lebih awal karena Mrs. Powell mau menyampaikan pesan pentingnya diawal, tidak jadi di akhir kelas. Dari sebrang, Laurel melihat pintu sudah tertutup tapi tak membuatnya patah semangat. Untungnya Mrs. Powell orang yang sabar dan baik, dia memberi kompensasi kepada siswa maksimal tiga kali terlambat di kelasnya sebelum mendapat absen merah. Dan ini pertama kali bagi Laurel terlambat, jadi dirinya masih aman. Ia membuka pintu kelas dengan cepat-cepat. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat sosok pria di sisi Mrs. Powell. Jelas ia tahu siapa pria itu mengingat tadi malam ia baru menamparnya. Bila ini sebuah film kartun, pastinya Laurel akan digambarkan dengan mata melotot dan rahang jatuh kebawah. "Masuklah Miss Anderson.", kata pria itu sambil menyeringai kearahnya. Entah kenapa pria itu tahu namanya. Laurel pikir, tadi malam bahkan mereka nyaris tak mengobrol apa-apa. "I think, im in the wrong class.", sahut Laurel cepat sambil melangkah mundur. "Aku akan keluar, maaf mengganggu ka-", "Namamu ada di dalam daftar absen.", Suara Mrs. Powell membuat Laurel memejamkan matanya sesaat. Ia tersenyum kikuk. "Benarkah?", padahal dalam hati ia memaki. "Benar Miss Anderson. Silahkan duduk.", ujar Mrs. Powell. Laurel sempat melihat pria itu tersenyum penuh kemenangan sampai ia duduk di sisi Helen di bagian tengah. Laurel hanya membalas dengan tatapan tajam. Terlihat sekali pria itu menikmati momen ini. Ia menahan senyumnya melihat Laurel kini menggerutu tidak jelas. Bibirnya berkomat-kamit, seolah menyumpah serapahi tindakannya. "What's wrong?", bisik Helen. "Nanti akan kujelaskan.", "Baiklah anak-anak. Tadi sampai mana kita tadi?", tanya Mrs. Powell. Salah satu perempuan menjawab, "Perkenalan?", katanya ragu sambil melirik kearah pria disisi Mrs. Powell. Tak hanya perempuan itu, namun seisi kelas juga sangat penasaran. Siapa pria tampan dengan sejuta pesona yang kini berdiri di depan kelas mereka. "Ah benar.", balasnya. "Jadi anak-anak, perkenalkan Mr. Orlando Spencer. Dia yang akan menggantikan ibu selama cuti tiga bulan kedepan.", "What?!", Teriakan Laurel membuat seluruh kelas menatap kearahnya bingung. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN