10. Are You Sure?

1632 Kata
Helen mengerutkan keningnya ketika baru turun dari dalam mobil. Ia melihat Darren tengah bersandar pada mobil convertiblenya sambil memainkan ponsel. Perlahan Helen menghampiri pria itu. "Darren? Apa yang kau lakukan disini?", tanyanya. "Perasaan hari ini Stella tidak ada kelas.", tambahnya. Darren mendongak. Lalu tersenyum tak kala melihat Helen yang datang. Ia memasukkan ponselnya kedalam saku jas. "Aku tahu. Aku kemari untuk mengajak Laurel makan siang.", "Ah begitu.", "Hmm, tapi rupanya kelas belum selesai.", Darren menyimpulkan. Biasanya ketika hari Selasa, pukul setengah sebelas Laurel sudah keluar. Helen baru menyadari sesuatu. Tentu saja Laurel tidak akan keluar. Gadis itu sekarang sudah seperti asisten pribadi Orland. "About that...", "Ya?", "Aku rasa Laurel sedang bersama Orland sekarang.", Mendengar nama Orland disebut membuat Darren mendengus. "Tentu saja!", sarkasnya. "Baiklah, aku masuk duluan.", Darren mengangguk. "Sampai jumpa.", Helen hanya mengangkat tangannya sebatas udara sebelum pergi meninggalkan Darren. Detik berikutnya, Darren segera mengambil ponselnya kembali. Ia menekan tombol speed dial. "Kau ada dimana?", ... "Kampus. Kenapa?", jawab Laurel sambil melotot pada Orland yang tengah memaksanya untuk me-loud speaker panggilan. "Turunlah. Aku ada di parkiran.", "Bukankah Stella tidak ada kelas hari ini?", Terdengar desahan kecil lolos dari bibir Darren. "Kenapa kalian selalu berpikir aku kemari untuk Stella? Tidak bolehkah aku bertemu denganmu?", Laurel menampis tangan Orland yang berusaha mengambil ponselnya sambil sedikit munudr. Sialnya sandaran bangku kelas memiliki jarak yang terlalu pendek sehingga pria itu bisa mengambilnya. "Orland!", "Halo?", panggil Darren. "Halo, ini aku.", balas Orland sambil menahan tangan Laurel. "Dimana Laurel?", "Disampingku.", "Aku mau berbicara dengannya.", "Tentang apa?", "Aku mau mengajaknya makan siang.", "Makan siang bersama? Kalau begitu tunggu kami dibawah.", Darren mendengus. "Aku tidak berniat mengajakmu.", "Kalau begitu kau dilarang mengajak kekasihku makan. Kutut-", "Fine! You're in.", Orland menyeringai. "Good boy.", lalu ia menutup panggilan sepihak membuat Laurel menggerutu. "Kau ini!", "Apa?", Laurel menghela napas. "Tidak bisakah kau memberiku kebebasan sedikit saja?", "Dan memberikan kesempatan pada Darren untuk merebutmu?", "Dia tidak mungkin melakukan itu. Aku sahabatnya, dia hanya bersikap protektif.", Orland mengangkat sudut bibirnya. "Apa kau yakin?", Laurel diam karena sejujurnya ia tidak yakin. Ia menyukai Darren. Tentu saja ia berharap apa yang Orland katakan benar. Tapi mendengar Orland mengatakan itu membuat Laurel merasa menjadi orang yang jahat. Jahat telat memanfaatkan Orland demi kepentingannya. ... Darren menyipitkan matanya sambil menatap Laurel dan Orland bergantian. Makan siang mereka telah usai. Tapi sampai detik ini Darren belum menemukan satupun gerak-gerik bahwa Laurel dan Orland berpacaran. Sikap mereka terlalu biasa dan santai. Bahkan untuk ukuran hubungan Darren dan Laurel sendiri lebih bisa dikatakan mereka dekat dibanding dengan Orland. "Jangan melihatnya seperti itu!", ujar Orland tiba-tiba. Ia jelas melihat Darren menatap Laurel yang tengah berdiri di depan etalase dessert yang tak jauh dari mereka. "Like what?", "Seperti kau berusaha merebutnya dariku.", Darren mendengus. "Aku hanya mengkhawatirkannya.", "Apa kau yakin? Tapi kenapa aku melihatnya seolah kau berusaha menjauhkannya dariku?", tanya Orland sambil melipat tangannya di depan d**a. Lalu bersandar pada sandaran kursi. "Aku sudah pernah memperingatimu sekali. Jangan sampai ada yang kedua kali.", Terdengar seperti ancaman. Namun tidak bagi Darren. "Aku hanya penasaran. Kenapa kalian tidak tampak seperti pasangan kekasih.", komentarnya. "Itu karena aku tidak mau mengumbar kemesraan di depan publik sepertimu dan Stella.", sarkas Orland. "Apa kau yakin?", Darren membalik keadaan. Ia mengangkat sudut bibirnya. "Sangat yakin. Kenapa aku harus tak yakin?", Darren ikut melipat tangannya di depan d**a. "Karena aku mengenalmu.", jawabnya. "Kau tipikal pria yang tidak bisa bertahan tanpa sentuhan wanita barang hanya lima menit.", ia menyeringai licik. Darren ingat semua bagaimana sifat mereka. Daniel Harrison, Axel Evans, dan terlebih Orlando. Orland mengangguk. "Tapi kau lupa sesuatu.", Darren mengangkat sebelah alisnya. Ia tidak paham apa maksud Orland. "Apa maksudmu?", "Maksudku...", Orland menggantung kalimatnya. Ia menegakkan, lalu mencondongkan tubuhnya kedepan. "Kau lupa jika orang bisa berubah.", Orland menoleh. Menatap Laurel yang tampak riang ketika potongan kue yang diinginkannya sedang dikeluarkan dari dalam etalase dan hendak disajikan kepadanya. "And she's the one who changed me.", katanya pelan sambil mengulas senyum tipis. Siapun yang melihat tatapan dan senyuman Orland. Yakinlah, bahwa ia serius mengatakan hal itu. ... Orland melirik Laurel sekilas sebelum kembali menatap jalanan macet didepan. "Apa yang mau kau tanyakan?", Selama perjalanan kembali ke kampus. Orland bisa melihat kegusaran di wajah Laurel. "What you guys talking about?", "Sport?", Laurel melirik Orland dengan malas. "Business?" Laurel mendengus geli. "Aku tahu kalian membicarakanku bukan?", "Itu salah satunya.", jawab Orland. "Ini semua salahku.", tiba-tiba Laurel menyimpulkan pemikirannya. Orland menggeleng, "Ini bukan salahmu.", "Memangnya kau tahu apa maksudku?", "Aku tahu segalanya, Laurel. Aku tahu kau merasa bersalah karena hubunganku dengan Darren menjadi rumit.", "Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku ingin menyelesaikan satu masalah tapi masalah lain timbul dalam prosesnya.", berusaha menghindari masalah dari Stella malah menimbulkan masalah baru diantara Darren dan Orland. Entah ini takdir yang kejam kepadanya atau bagaimana, Laurel tidak tahu. Orland menghela napas. "Kau tidak pelru melakukan apapun. Tentang Darren, biar aku yang mengurusnya.", Mendengar kalimat Orland sedikit menenangkan hati Laurel. Meskipun masih merasa khawatir, ada hal lain yang perlu Laurel lebih khawatirkan. "Kenapa lagi? Apa kau masih khawatir?", Laurel mengangguk. "Tenang saja, aku tidak akan sampai bunuh-bunuhan dengan Darren. Tapi mungkin bisa sampai perkelahian.", ujar Orland tanpa dosa. Laurel mendengus. "Kau tidak membantu sama sekali!", gerutunya. "Lagi pula, bukan Darren yang aku khawatirkan.", "Lalu siapa? Aku? Tenang saja, aku baik-baik saja. Aku sudah biasa menghadapi hal semacam ini. Di dunia bisnis ban- hftt!", "Berhentilah menyombongkan diri!", Laurel membungkam bibir Orland. Orland menahan senyumnya ketika Laurel melepaskan tangannya. "Tak masalah, yang penting kau melupakan kekhawatiranmu sejenak.", "Percuma saja, kau tapi belum bisa membuat kekhawatiranku pada Stella hilang.", gumam Laurel. "Ah aku sakit hati", Laurel mengkerutkan keningnya. Mendadak Orland mengatakan hal yang harusnya dikatakan anak remaja. "Rupanya kau bukan mengkhawatirkanku.", tambahnya. "Sepertinya kau kurang minum obat.", sarkas Laurel. "Iya vitamin C. Vitamin ciuman.", "Orland!", reflesk Laurel memukul lengan Orland. Pria itu sontak tertawa. "Aku serius. Gara-gara kekurangan vitamin C itu. Darren tadi bertanya karena curiga padaku. Ia tidak yakin kalau kita berpacaran.", "Kau benar-benar badboy.", ujar Laurel sambil menggelengkan kepalanya. "Kau menyampaikan suatu informasi dengan kemasan gombalan yang menjengkelkan.", "But you like it, right?", "No, i don't.", jawab Laurel mantap. "I don't like badboy. That's why i liked Darren.", Orland menyeringai. "Yakin?", sepertinya kata itu menjadi kata favoritnya akhir-akhir ini. "Apa kau tidak pernah mendengar lagu Julia Michaels? All good boys goes to heaven, but badboys bring heaven to you.", "You perv.", tambah Laurel sambil memutar matanya. "Setidaknya aku tahu cara bersenang-senang.", "Tapi kau tidak tahu caranya untuk berhenti bukan?", Orland menoleh, menatap Laurel dengan tatapan penuh arti dan senyuman simpul. "Aku sudah menemukan cara agar aku berhenti.", ujarnya. "Benarkah? Bagaimana?", "Kalau kau mau tahu. Tetaplah disisiku. Siapa tahu kau akan menyukaiku ketika aku berhenti menjadi badboy.", ... Laurel berlari kecil ketika mendengar belnya berbunyi. Tanpa mengintip peephole ia langsung membuka pintu dan tersenyum lebar karena sejak tadi ia sudah menunggu. "Finally! I missed you!", serunya. Helen memutar matanya dan segera mendorong Laurel menjauh saat gadis itu hendak memeluknya. "Kau berkeringat! Jangan memelukku!", Laurel meringis. "Maafkan.", lalu terkekeh pelan. "Aku membawakanmu pizza. Tapi sepertinya kau baru saja berolahraga.", Helen masuk tanpa menunggu Laurel. Sudah kebiasaan mereka saling masuk tanpa ijin kecuali kedalam kamar atau tempat yang cukup privasi. "Tak masalah. Aku lapar.", "Sia-sia saja kau berolahraga.", ujar Helen sambil membongkar muat bawaannya ketika mereka sudah berada di mini bar. "Tapi tumben sekali kau berolahraga malam-malam?", Laurel mengusap keringat di keningnya. "Itu dia yang ingin kuceritakan padamu.", "Maksudmu?", "Karena sekarang kita jarang bertemu. Aku mencari kesibukan agar tidak banyak pikiran.", "Darren?", "Salah satunya.", Helen mengangkat sebelah alisnya. "Salah satunya?", ia merasa aneh mendengar Laurel mengatakan bahwa Darren menjadi salah satu alasan kenapa gadis itu banyak pikiran. Sangat bukan Laurel yang biasanya. "Jadi sekarang, Darren bukan menjadi prioritas utama dalam curhatanmu.", Laurel mengangguk kikuk. "Lalu siapa tersangka utama? Stella?", Laurel menggeleng pelan. "Siapa la- no way! Orland?!", Helen nyaris berteriak. Ini benar-benar gila, untuk pertama kalinya dalam seumur hidup Laurel. Akhirnya gadis itu membicarakan pria lain selain Darren dalam curhatan mereka. "Ya Orlando Spencer.", "Are you sure?", tanya Helen memastikan. Mungkin ia senang bila pada akhirnya semua yang ia katakan dulu pada Laurel terjadi. Gadis itu bisa menemukan pria lain. Tapi, Orlando Spencer? Bukannya tak setuju. Hanya saja berita ini terlalu menggemparkan bagi Helen. "Yeah, im sure.", ... "Aku tak menyangka kau bisa menyukai Orland. Ini gila!", Helen bertepuk tangan membuat Laurel mendengus geli. "Siapa bilang aku menyukainya? Apa kau tidak dengar curhatanku sejak tadi? Aku kesal padanya karena sifatnya yang menjengkelkan dan sedikit manipulatif!", Helen menepuk bahu Laurel. Lalu sebelah tangannya memegang d**a. "Tanpa kau beritahu dan kau sadari. Aku bisa tahu.", "Jangan mulai...", peringat Laurel. Ia paham sekali. Disaat seperti ini pasti Helen akan menjelaskan banyak hal tentang perasaan yang dia rasakan. Seolah Helen adalah cenayang yang bisa menebak perasaan. "What??? Kau yang memulai. Bukan aku.", Helen tak mau kalah. "Kau duluan yang mendadak merubah tokoh utama dalam curhatan kita.", "Lalu apa masalahnya?", Helen memutar matanya sambil mengambil sepotong pizza dihadapannya. Dengan melipat kakinya naik keatas kursi ia mengatakan, "Bertahun-tahun aku mengenalmu. Ini pertama kalinya kau curhat tentang pria lain selain Darren.", "Kita pernah membicarakan steven, ayahku, lal-", "Ini beda!", sergah Helen. "Apanya yang berbeda?", Laurel berusaha mencari letak perbedaan yang Helen katakan. Helen kembali meletakkan pizza di tangannya. Lalu membuat gerakan mengusap diatas box agar remah-remah di tangannya hilang. "Saat kau bercerita tentang Darren. Kau tidak pernah sampai sefrustasi ini, Laurel. Bahkan saat mendengar ia melamar Stella pun kau masih bisa tidur. Sedangkan Orland? Dia hanya membuatmu kesal tapi kau sampai tidak bisa tidur dan melakukan kegiatan yang tidak biasa.", "Intinya?", "Intinya, kau tanpa sadar sudah menyukai Orland.", Laurel menggeleng kuat. "Tidak-tidak. Aku tidak menyukainya.", Helen mengangkat bahunya. "Lihat saja nanti.", ujarnya. Tidak. Tidak akan. Batin Laurel mencoba meyakinkan diri bahwa ia tidak menyukai Orlando Spencer. Menyukai pria itu sama saja seperti membiarkan hatinya tersakiti. Dan ia benci perasaan itu. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN