17. Reunion

1183 Kata
"Apa semalam kalian melakukan sesuatu?", Helen sangat penasaran. Ia tahu jika Laurel selama ini belum pernah melakukan s*x. Laurel menyentil kening Helen membuat gadis itu mengaduh kesakitan. "Jangan berpikiran aneh-aneh. Kami hanya tidur berpelukan.", "What? That's odd.", "Aku tahu. Tapi aku senang.", Laurel tersenyum. Helen menatap sahabatnya dengan pandangan aneh. "Jadi tidak ada ciuman ataupun s*x saat dikamar?", "Nope, just cuddling.", "Laurelllll.... kau ini sangat polos sekali. Tapi tak masalah. Im so glad to see you and Orland... you guys really cute together.", Helen bergelayut manja pada lengan Laurel saat mereka berada di ruang tamu di lantai dua. Laurel memutar matanya dan terkekeh pelan. "Berhentilah merengek seperti itu. Malu jika yang lain mendengar. Terutama Orland.", tegur Laurel setengah berbisik. "So what?", tanya Helen. "Bukankah semakin bagus? Jadi kau tak perlu susah payah mengungkapkan perasaanmu pada Orland.", Laurel melototi Helen membuat gadis itu meneggakkan tubuh. Lehernya terasa cukup pegal bersandar pada bahu Laurel. "Akan lebih baik jika aku menyampaikan secara langsung daripada ia mendengar dari pembicaraan kita.", "Tapi kapan?", "Tunggu waktu yang tepat.", Senyuman di wajah Helen kian melebar. "Jadi kau benar-benar menyukai Orland?", tanyanya. Laurel tak menjawab. Ia hanya senyum-senyum sambil mengambil majalah yang ada di meja dengan hiasan pasir laut dan beberapa kerang dibawah kaca. Majalah itu bercover wajah Orland dengan judul, 'Bujangan yang paling diidamkan' dan Laurel mengangkatnya. "Sepertinya...", Helen menggeleng pelan. Tak percaya baru saja melihat Laurel senyum-senyum sendiri sambil melihat foto Orland yang ada di halaman depan majalah. "Wajahmu sangat konyol.", "Jadi ini yang namanya jatuh cinta?", "Hmm menyenangkan bukan?", tanya Helen. Laurel mengangguk. "Tapi entah kenapa saat menyukai Darren aku tak mengalami perasaan yang aneh ini.", "Itu tandanya kau hanya kagum.", Laurel melirik Helen sekilas. "Sepertinya...", lalu ia kembali menatap majalah dalam genggamannya. "Tapi aku memang sudah tidak menyukai Darren.", "Benarkah?", timpal Stella dari arah belakang. Gadis itu berdiri di ujung tangga. Sontak Helen dan Laurel menoleh cepat karena mereka terkejut. Untung saja bukan Orland. "Hmm aku sudah tidak menyukai Darren. Kau tenang saja.", jawab Laurel yakin. Ia meletakkan majalah ditangannya kembali di atas meja. "Baguslah. Jadi aku tak perlu susah payah menyingkirkanmu.", Stella duduk berlawanan arah dengan dua sahabatnya di atas sandaran Helen mendengus. "Aku tak menyangka kau benar-benar bitch.", "Terserahmu saja. Aku mau spa.", lalu gadis itu beranjak pergi dan masuk ke salah satu pintu di sebrang pintu kamar Laurel. Ruangan itu ruangan khusus spa, lalu di sebelahnya ruangan untuk gym. Helen memutar tubuhnya ke posisi semula. Bersamaan dengan Laurel yang menghela napas. "Aku tak menyangka kita berteman dengan Stella. Dan aku masih tak menyangka juga kenapa Darren menyukai gadis itu. Astaga...", keluhnya. Laurel menoleh pada Helen. "Semalam Orland bercerita sebelum tidur. Stella beberapa kali menggodanya.", "What?!", Laurel menempelkan telunjuknya di bibir sambil mengedarkan pandangan. "Jangan berteriak!", serunya. "Kau tidak bohong?", "Sejak kapan aku membohongimu?", Laurel balik bertanya. "Kau ingat saat Orland masuk ke rumah sakit karena keracunan makanan?", Helen mengangguk, "Karena makanan yang kau beri?", "Makanan itu pemberian Stella.", Helen hanya bisa melongo. ... Bel berbunyi membuat Laurel dan Helen berhenti mengobrol. Mereka saling berpandangan. "Siapa yang datang?", tanya Helen bingung. Tentu yang menekan bel bukanlah Orland maupun Darren dan Steven. Tiga pria itu sedang pergi kesuatu tempat untuk membicarakan bisnis. Dan jikapun mereka kembali, mereka pasti langsung masuk kedalam tanpa menekan bel. "Ayo kita cek.", Mereka langsung turun ke lantai satu. Namun tanpa disangka, Stella yang memang sejak tadi sudah kembali kekamar setelah spa membukakan pintu terlebih dahulu. "Hei, apa Orland ada?", tanya seorang pria ketika Laurel, Helen, dan Stella berdiri di ambang pintu. Bukannya menjawab, ketiganya sama-sama diam dan menatap kagum pria dihadapan mereka. Pria itu sangat tampan untuk ukuran manusia. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya cokelat sangat kontras dengan matanya yang abu bersirat amber. Hidungnya mancung dan bibirnya yang tipis terlihat sangat menggoda. Apalagi saat pria itu tersenyum lalu mengerutkan keningnya, "Kalian tak apa?", tanyanya. Laurel tersadar lebih dahulu. Ia mengerjap. "Ehmm apa kau mau masuk terlebih dahulu? Aku akan menghubungi Orland agar dia cepat kembali.", "Boleh.", Serempak Helen dan Stella yang masih mengamati pria itu dengan seksama membuka jalan. Lalu berjalan mengikuti seperti anak anjing membuat Laurel menggelengkan kepala. Ketika pria itu duduk, Helen dan Stella duduk di sebelah pria itu. Jadi posisinya, Helen, tamu, dan Stella. Laurel yang berdiri di sebrang mereka mencoba merapikan meja. "Kau mau minum apa? Aku bisa buatkan.", "Aku baru saja minum. Terima kasih tawarannya.", jawab pria itu sambil sesekali melirik Helen dan Stella. Tampaknya pria itu kurang nyaman. Tapi hal itu membuat Laurel menahan senyumnya. "Hmmm apa aku mengenalmu?", tanya Laurel hati-hati setelah selesai mengirim pesan pada Orland. Pria itu menggeleng, "Perkenalkan namaku, Axel.", Laurel menerima uluran tangan itu. "Laurel.", lalu ia menunjuk Helen, "Ini sahabatku Helen.", perkenalnya. Helen memberikan senyum terbaiknya. Pria itu hanya mengangguk. Lalu Laurel menunjuk Stella. "Dan ini Stella.", Stella menggigit bibir bawahnya membuat Laurel meringis pelan dan tersenyum sungkan kearah Axel. "Maafkan mereka.", Axel terkekeh pelan. "Aku sudah biasa.", jawabnya percaya diri. "Jadi...", "Jadi apa?", tanya Laurel saat Axel menggantung kalimatnya. "Siapa diantara kalian yang merupakan kekasih Orland?", tanya Axel sambil menatap Helen, Stella, dan Laurel bergantian. Serempak, Helen dan Stella menunjuk Laurel. "Laurel.", ujar mereka. Axel menahan senyumnya, "Sudah kuduga.", gumamnya pelan masih didengar Laurel. Laurel mengerutkan keningnya. "Maksudnya?", Axel menggeleng pelan. Ia bangkit berdiri. "Lupakan saja.", jawabnya. Ia tersenyum. Senyuman itu menunjukkan senyuman bahagia sekaligus seperti tak percaya. "Hanya saja aku ingin melihat keajaiban dunia.", "Hah?", ... Orland melangkah masuk kedalam vila sambil melepaskan kacamata hitamnya. Ia kembali terlebih dahulu karena mendapat pesan dari Laurel jika ada tamu yang datang. Siapa lagi jika bukan salah satu dari dua sahabatnya. Hanya merekalah yang tahu vila ini. "Axel...", panggil Orland ketika melihat sahabatnya itu tengah duduk berhadapan dengan Laurel di ruang tamu. Mereka tampak asyik mengobrol. "Apa yang kau lakukan disini?", Keduanya menoleh. "Kebetulan kami ada di Bali. Lalu aku dengar kau juga ada disini. Jadi, aku kemari.", "Dimana Daniel?", tanya Orland sambil menarik kursi di sisi Axel. "Daniel sedang menjaga anak-anaknya.", Orland mendengus geli. "Lalu dimana tunanganmu?", "Bersama Michelle, belanja.", jawab Axel. Orland meletakkan kacamatanya diatas meja. "Sepertinya kau sudah bertemu kekasihku.", Axel mengangguk. Lalu tersenyum mengejek kearah Orland. "Akhirnya badboy yang satu ini jatuh kepelukan wanita.", godanya. Laurel yang mendengar itu hanya memutar matanya. "Lebih tepatnya aku yang dipaksa.", "Tapi cara itu berhasil bukan?", tanya Orland sambil mengerlingkan sebelah matanya. Laurel bangkit berdiri, "Aku akan mengambil minum untukmu.", jawabnya berbeda dengan pertanyaan yang di berikan. Saat Laurel melenggang pergi. Orland dan Axel memperhatikan. Dengan kesal Orland menendang kaki Axel, "What the f**k!", "Jangan menatapnya seperti itu!", ia merasa de javu. Saat itu ia juga mengatakan hal yang sama, terlebih pada Darren. "Apa kau mau tunanganmu tahu?", Axel menahan tawanya. "Maaf-maaf. Aku menatap kekasihmu karena masih tak menyangka kau benar-benar serius.", "Shut up!", Benar apa katanya bukan? Jelas ini akan menjadi bahan rundungan. Tapi tak masalah. "Ah ya, tujuanku kemari. Aku ingin kau dan semua yang ada disini datang ke pestaku. Minggu depan.", ujar Axel saat ingat apa tujuannya kemari. Bersamaan dengan Laurel yang keluar dari arah dapur sambil membawakan beberapa gelas jus jeruk. "Pesta?", Orland mengerutkan keningnya. Axel mengangguk mantap.  "Kau dengar aku sudah bertunangan dengan Sophie kan?", ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN