Terima Kasih Hujan

1177 Kata
Aku bahagia bisa sedekat ini dengan mu ❄❄❄ Alayya menghembuskan nafasnya lelah. Alayya sangat bosan dan kedinginan saat ini. Bosan menunggu hujan yang daritadi tak kunjung berhenti dan kedinginan karena bersamaan dengan hujan angin bertiup dengan kencang  Dalam hati Alayya merutuki handphonenya yang sedang low di saat seperti ini. Sepulang sekolah tadi, Alayya dan Atifa pergi ke Toko Buku untuk membeli beberapa Novel keluaran terbaru. Tak lama setelah mereka masuk ke Toko Buku, Ibu Atifa menelfon dan menyuruh Atifa untuk cepat pulang. Setelah itu, Atifa pun berpamitan pada Alayya untuk pulang. Singkat cerita, karena sibuk memilih Novel, Alayya sampai tidak mengetahui bahwa di luar langit sudah mendung. Saat Alayya ingin berjalan ke Halte, hujan turun dengan derasnya. Alayya pun berlari ke sebuah teras apotek yang sudah tutup. Alayya saling menggesekkan kedua telapak tangannya kemudian menempelkannya ke pipi agar hangat. Tangan Alayya terulur menyentuh air hujan yang jatuh ke bumi itu. “Udah jam lima" gumam Alayya melirik jam tangannya. Alayya menghembuskan nafas, bosan. "Hujannya deras banget. Bunda pasti khawatir dan bakalan suruh Ayah buat jemput aku. Gak ada jalan lain selain pinjem ponsel orang buat nelfon Bunda" ucap Alayya yang berbicara sendiri seperti orang gila. Alayya melihat ke sisi kirinya. Tampak ramai, lebih tepatnya ramai karena banyak yang sedang berteduh. Alayya kembali melihat ke sisi kanannya. Alayya hampir saja memekik saat melihat Abrar berdiri di sana. Abrar berteduh di tempat yang sama dengannya. Dan yang membuat Alayya ingin memekik saat ini juga adalah bahwa Abrar berdiri tepat di samping kanan nya. Dengan jarak yang sangat dekat. Jarak mereka hanya di batasi oleh Motor Ninja hitam Abrar . Sejak kapan Kak Abrar di samping ku. Astaga! Rasanya aku mau jerit sekarang gumam Alayya. Alayya yakin tidak akan ada yang mendengar suaranya, terlebih lagi suara rintikan hujan yang jatuh ke bumi sangat deras. Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja dikepala Alayya. Alayya pun memejamkan matanya sebentar untuk mengumpulkan keberanian kemudian membuka matanya kembali. "Hmm, pe-permisi kak" Awalan yang buruk. Rutuk Alayya dalam hati. Alayya merutuki suaranya yang gugup. Berhasil! Abrar menoleh ke arah Alayya. Jangan tanyakan ekspresi wajah Abrar. Sudah pasti datar. Tapi walaupun begitu di mata Alayya, Abrar masih tetap tampan. Alayya mengerjapkan matanya beberapa kali. Mencoba menormalkan detakan jantungnya yang entah mengapa tiba-tiba berdetak tak beraturan. Tatapan mata Abrar seolah-olah mengatakan 'apa'. "saya boleh pinjam Handphone nya? Saya mau telfon orang tua saya kalau saya-" Ucapan Alayya terputus saat Abrar menyodorkan benda pipih itu padanya. Hati Alayya bersorak senang. Bukan apa-apa, selain ia bisa menghubungi Bunda nya, ia juga akan mendapatkan nomor ponsel Abrar. Abrar masih diam, sesekali Abrar melirik Alayya. Dengan gerakan perlahan Alayya mengambil benda pipih itu dan menghidupkannya. Alayya mengeryit saat benda pipih itu tak kunjung hidup. "Kak" panggil Alayya. "Handphone kakak low." Abrar menatap Alayya datar lalu mengambil kembali Handphone nya dan memasukkannya ke tas. Alayya terperangah melihat sikap Abrar yang sangat cuek padanya. Sebenarnya bukan rahasia umum lagi jika Abrar sangat cuek. Tapi kali ini rasanya sangat berbeda. Mungkin karena Alayya sendiri sedang mengalaminya saat ini. Alayya tersenyum senang saat hujan sudah mulai reda dan tinggal menyisakan gerimis yang rapat. Entah sejak kapan hujan berhenti. Bahkan orang-orang yang berteduh sudah mulai melanjutkan perjalanan mereka. "Astaga, udah jam enam. Pasti gak ada angkutan umum jam segini" Alayya panik. Alayya mengeluarkan uang yang ada di sakunya. Uang tinggal goceng pula, keluh Alayya dalam hati. "Ayo" Alayya menoleh ke arah suara itu. Karena sibuk meratapi nasibnya, Alayya sampai lupa kalau Abrar masih berdiri disampingnya. "Ayo" kata Abrar lagi. Alayya celingak-celinguk melihat sekeliling nya. Untuk memastikan apakah Abrar benar-benar sedang berbicara padanya. "Kakak bicara sama saya?" tanya Alayya menunjuk dirinya sendiri dengan mimik wajah bodohnya. Padahal jelas-jelas Alayya sudah tahu jawabannya. Tentu saja Abrar sedang berbicara dengannya. Memangnya dengan siapa lagi? Hanya tinggal mereka berdua disana. "Naik" Alayya mengerjapkan matanya berulang kali. "Naik apa Kak?" tanya Alayya masih belum paham maksud dari perkataan Abrar. "Naik ke motor" "Ha? memang nya mau kemana? " tanya Alayya dengan wajah polosnya. Dibalik wajah datarnya, Abrar mati-matian menahan rasa kesal. Rasanya Abrar ingin meneriaki dan memaki gadis yang ada di hadapannya ini. Tapi entah kenapa niatnya untuk memaki mendadak hilang saat melihat wajah polos gadis bertubuh mungil itu. "Gue antar, naik" perintah Abar tak terbantahkan. Seakan terhipnotis, kaki Alayya mulai bergerak berjalan ke arah Abrar dan naik ke jok belakang motor Abrar. "Peke" Abrar memberikan Jaket nya kepada Alayya. "eh? Gak usah kak, nanti kakak bisa keding-" "Pake" ulang Abrar. Kali ini dengan suara datar dan tatapan tajam. Tak ingin membuat Abrar marah, cepat-cepat Alayya memakai jaket itu. Saat Jaket sudah melekat sempurna di badannya, Alayya bisa mencium Wangi Musk yang berasal dari Jaket Abrar. Wangi khas kak Abrar, pikirnya. "Udah Kak" Abrar melajukan motornya tiba-tiba. Bahkan Alayya sempat memekik karena terkejut. "Pegangan" kata Abrar setengah berteriak dari balik helm sport nya. Alayya mengepalkan tangannya kuat kuat di atas paha. Alayya saat ini sedang gugup setengah mati. Dengan perlahan Alayya mengangkat tangannya dan memegang bahu Abrar. Dari balik helm nya Abrar berdecak. "Dia kira gue tukang ojek apa" gerutu Abrar. Tentu saja Alayya tidak mendengarnya karena suara Abrar sangat pelan. Dengan sedikit kesal Abrar menarik tangan Alayya dan menuntun tangan itu ke arah pinggang nya. "Gue bukan ojek" kata Abrar lagi. Kali ini suaranya terdengar jelas oleh Alayya. Di cuaca yang dingin tiba-tiba Alayya merasakan sebuah kehangatan. Alayya mengulum senyumnya saat melirik tanggannya yang berada di pinggang Abrar. Alayya senang? Tentu saja! Alayya hanya bisa menggenggam erat seragam Abrar. Alayya masih belum mengerti apa yang terjadi saat ini. Alayya masih belum mempercayai apa yang sedang terjadi. Baginya ini terasa seperti sebuah mimpi, mimpi indah. Bahkan dalam fantasi liarnya Alayya tak pernah terfikir bisa sedekat ini dengan Abrar. ❄❄❄ Alayya turun dari motor Abrar. Alayya melirik ke arah Abrar. Seragam putih Abrar terlihat menempel di tubuh atletisnya menandakan bahwa seragam itu basah. Bahkan Alayya bisa melihat bentuk kotak-kotak kecil yang menerawang dari balik seragam basah itu. Pipi Alayya terasa panas. Alayya mengalihkan tatapannya ke arah lain sebelum Abrar memergokinya dan berakhir dengan rasa malu. "Makasih Kak udah mau nganterin Saya pulang" ucap Alayya tulus. Abrar hanya mengangguk kecil. Setelah mengatakan itu, Abrar langsung melajukan motornya pergi dari rumah Alayya. ❄❄❄ Setelah mandi Alayya langsung duduk di kursi belajarnya. Sudah dari sepuluh menit yang lalu Alayya bersandar di kursi belajarnya. Melamun dan tiba-tiba tersenyum. Alayya sudah hampir mirip seperti orang yang sakit jiwa sekarang. Senyum merekah tak kunjung hilang dari wajah Alayya. Jangan tanya apa yang membuat Alayya tersenyum. Tentu saja Abrar. Memangnya apa lagi? Hari ini Alayya sangat senang. Bahkan Alayya masih mengingat dengan jelas bagimana cara Abrar menyuruh dirinya naik ke atas motor, memakai jaketnya, dan membimbing tangannya ke arah pinggang pria itu. Alayya masih mengingat nya dengan jelas. Sangat jelas. Rasanya Alayya ingin menjerit saat ini. Tapi Alayya tidak gila. Jika ia menjerit saat ini, bisa-bisa satu komplek akan ramai-ramai mendatangi rumahnya. Hanya ada satu cara untuk menyalurkan kebahagian nya. Yaitu sebuah tulisan. Alayya mengambil Sticky Note berwarna pink dan menulis sesuatu di sana. Hujan, terima kasih karena sudah membawaku lebih dekat dengannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN