*Keesokan hari*
Aku menoleh ke arah Adit yang sedang asyik menggambar pada lembaran terakhir di buku tulisnya.
“Dit?”
“Hmm?” sahut Adit tanpa menoleh.
“Lo mau bantuin gue, gak?”
“Mau dong. Kalo gue bisa pasti bakal gue bantu.”
“Bantu gue supaya Kak Alice sama Kak Dafa baikan.”
Ia mulai menghentikan aktivitas menggamabarnya, sambil menghela napas panjang, wajahnya menatapku dengan penuh ketidakmungkinan.
“Aduh, susah kayaknya kalo itu, Cel.”
“Iya juga, sih.”
Sambil kembali menghela napas dan terus berpikir, aku mencoba bersandar pada sandaran kursi.
“Ah, gue ada ide nih.” ujar Adit kemudian. Kali ini, ia menatapku dengan penuh keyakinan. “Gimana kalo kita ajak Kak Alice main? Nanti gue bawa Kak Dafa.”
“Udah. Kemarin pas pulang sekolah, gue coba ajak dia. Tapi dia gak mau.”
“Lo bilangnya gimana?”
“Ya gitu, intinya gue ajak dia main ke tempat Kak Dafa, dan ada lo juga di sana nantinya.”
“Dasar, bodoh!” Adit mulai mengetuk dahiku dengan ujung jari telunjuknya, “Ya jelas aja Kak Alice gak mau, harusnya lo jangan bilang kayak gitu.” lanjutnya.
Sambil meringis, aku mencoba mengusap dahi. “Terus gue mesti bilang gimana?”
“Ya lo pura-pura minta anterin ke mana, kek. Nanti gue sama Kak Dafa juga pergi ke arah yang sama, nah terus kita bakal pura-pura gak sengaja ketemu, deh.”
Aku mulai menatapnya dengan penuh rasa bangga. “Tumben otak lo bisa berfungsi dengan baik.”
“Kurang ajar!” dengus Adit.
“Tapi, kapan ya kira-kira?”
“Kalo bisa minggu ini kenapa harus nunggu nanti-nanti?”
“Ide bagus! Jam 9 ya? Gimana? Lo bisa kan?”
“Bisa kok, tenang aja. Nanti gue kabarin Kak Dafa.”
“Tapi, kita bakal ketemu di mana?”
“Sebentar, tempat yang enak dan gak jauh dari komplek di mana sih?”
“Gue tau! Kenapa gak ke kedai kopi di ujung komplek aja? Kak Alice kan suka banget sama minuman varian cokelat di sana, dijamin dia gak akan nolak kalo gue minta anter ke sana.” sahutku dengan wajah sumringah.
“Boleh juga tuh! Tapi, ini kan ide gue nih, jarang-jarang loh seorang Adit bisa punya ide yang cemerlang.”
“Udah deh gak usah basa-basi. Lo mau imbalan apa?”
Adit terkekeh, “Kok lo paham banget maksud gue sih, Cel?”
“Kita itu udah temenan dari kecil! Ya kali gue gak paham juga sama watak lo.”
Sebelum kembali menjawab, Adit sempat mengusap ujung dagunya beberapa kali seraya berpikir. “Gak usah muluk-muluk deh, Cel. Minggu depan kan ada ujian, cukup kasih gue contekan dari semua mata pelajaran aja. Gimana? Deal?”
“Gilak! Ogah! Gak mau gue.” protesku, menolak permintaannya mentah-mentah.
“Kan, lo mah gitu sih.” sahutnya sambil mengerucutkan bibir.
“Bukannya apa-apa, Dit. Kalo semua mata pelajaran harus gue kasih tau jawabannya, kasian nanti nilai lo gak ada gunanya.”
“Tetep ada gunanya dong, kan biar jadi nilai plus gue buat daftar ke Sekolah Menengah Pertama nanti.”
“Tapi gak akan jadi ada manfaatnya ke lo, karena lo gak dapet ilmunya. Gimana kalo gue bakal bantuin lo belajar aja sampe ujian selesai?”
“Harus berusaha, ya?”
Aku mengangguk. “Ya, harus lah. Mana bisa lo kayak gini terus, ngerjain PR gak pernah, ujian maunya nyontek. Lo gedenya mau jadi apa, Adityaaaa?” Tatapku pada Adit
“Iya deh iya. Oke deal, ya? Lo harus jadi guru gue sampe ujian selesai!”
“Iya, deal!”
Harapanku dan harapan Adit tetaplah sama. Kami sangat ingin sekali membantu Kak Alice dan Kak Dafa agar bisa kembali berteman dekat seperti dulu. Meski rasanya akan sangat sulit, setidaknya kami akan selalu mencobanya.
***
Hari minggu yang di nanti-nantikan telah tiba. Jam di dinding menunjukan pukul 08:20. Aku bergegas pergi mandi lalu berjalan keluar menuju pintu kamar Kak Alice.
*tok.. tok.. tok..*
“Siapa?” teriak Kak Alice dari dalam.
“Celine, Kak. Boleh masuk nggak?”
“Masuk aja.”
Kak Alice terlihat tengah bersantai di atas kasurnya sambil membaca sebuah komik. Aku mulai berjalan perlahan lalu mencoba duduk di atas sebuah bean bag.
“Ada perlu apa kamu ke sini?” tanya Kak Alicr tanpa menoleh.
“Gak ngapa-ngapain, bosen aja rasanya weekend cuma di kamar.”
Ia hanya terdiam sambil terus membaca komik tersebut lembar demi lembar.
“Kak, Celine haus ih pingin yang seger-seger.” ujarku kemudian.
“Tinggal minum, kan di kulkas ada air.”
“Gak mau air putih. Gimana kalau kita ke kedai kopi ujung komplek aja? Beli minuman cokelatnya, kan Kakak juga suka tuh. Sekalian ketemu Kak Ibnu, udah lama banget rasanya Celine gak ngobrol sama Kak Ibnu.”
“Mau gak ya?” pikirnya sambil menatap ke arah langit-langit kamar.
“Ayo lah Kak, Celine lagi kepingin banget, nih. Emang Kakak gak kepingin? Itu kan minuman kesukaan Kakak.”
“Ya udah. Tapi sehabis dari sana langsung pulang ya? Kakak gak mau ke mana-mana lagi.”
“Yeaaay, asyiiik! Oke, Kak!”
Aku dan Kak Alice pun berjalan menuju halaman depan. Kami mengendarai sepeda untuk pergi ke kedai kopi tersebut.
“Alice, Celine. Kalian mau ke mana?” tanya Mama yang baru saja sampai di rumah.
“Mau ke kedai kopi sebentar ya, Ma.” sahutku.
“Kedai kopi yang di ujung komplek tempat Kak Ibnu?”
“Iya, boleh kan?”
“Tentu boleh dong, Sayang.” sahut Mama sambil tersenyum.
“Mama mau titip apa?”
“Enggak ah, Mama gak kepingin. Kalian aja, ya?”
“Mama abis dari mana?” tanya Kak Alice sambil melirik ke arah paper bag yang dibawa Mama.
“Tadi abis ke Supermarket sebentar, terus ketemu Mamanya Dafa. Disuruh mampir ke rumahnya buat bawa brownies ini.”
“Ya udah, kalo gitu Alice sama Celine pergi dulu ya, Ma.”
“Iya, Sayang. Hati-hati ya bawa sepedanya, awas jatuh.”
“Iya, Ma.”
Kak Alice mulai mengayuh sepedanya. Sambil duduk di jok belakang, aku tak henti-hentinya tersenyum karena merasa rencana yang telah disusun dengan Adit telah berhasil dilakukan, tinggal menunggu keduanya datang menghampiri kami ke depan kedai.
Hanya menempuh waktu sekitar 5 menit. Kami pun akhirnya sampai di kedai kopi yang dimaksud.
“Kamu aja yang pesan. Kakak tunggu di sini, ya?”
“Oke, deh. Kakak mau pesan yang rasa apa?”
“Biasa, rasa cokelat karamel. Ini uangnya.” Kak Alice pun menyerahkan uang selembar berjumlah lima puluh ribu rupiah.
Setelah mengambil uang tersebut, aku mulai melangkah masuk ke dalam untuk memesan minuman cokelat yang menjadi salah satu menu best seller di kedai ini.
“Hai, Cel. Baru keliatan nih? Ke mana aja?” sapa Kak Ibnu selaku barista sekaligus pemilik kedai ini.
“Halo, Kak Ibnu. Di rumah aja kok, Kak. Ngomong-ngomong, Kak Ibnu apa kabarnya?”
“Baik, kamu gimana?”
“Baik juga. Kak, Celine mau pesan cokelat karamelnya dua, ya?”
“Oke, siap. Ditunggu ya?”
Aku mengangguk sementara Kak Ibnu mulai menyibukkan dirinya untuk meracik minuman yang aku pesan.
“Kamu sendirian, Cel?” tanya Kak Ibnu di sela-sela kesibukannya.
“Enggak, sama Kak Alice. Dia tunggu di luar.” sahutku sambil melirik ke arah Kak Alice yang sedang terduduk di luar sambil mencoba mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan.
“Suruh masuk aja, di luar kan panas.”
“Gak apa-apa, Kak. Dia kayaknya emang suka panas-panasan, deh.”
Kak Ibnu terkekeh. “Ya udah sana kamu duduk dulu, nanti kalo udah jadi Kakak panggil.”
Aku pun mengangguk lalu mulai menghampiri salah satu kursi yang tersedia di sana. Kak Ibnu cukup kenal dekat dengan aku dan Kak Alice, karena kami sering sekali keluar masuk kedai ini hanya untuk membeli minuman cokelat karamelnya.
Sambil menunggu dua gelas minumanku jadi, aku mencoba menoleh ke arah sekitar. Masih tidak ada tanda-tanda kedatangan Adit dengan Kak Dafa.
“Kemana sih si Adit? Masa iya dia lupa.” ucapku pelan.
Tak lama kemudian, terlihat Adit dan juga Kak Dafa berboncengan menaiki sepeda. Mereka menghentikan sepedanya persis di depan kedai kopi ini. Aku menoleh ke arah Kak Alice, ia tengah asyik menundukan kepala sambil fokus menatap layar ponselnya, tanpa tahu siapa yang datang.
Dengan pura-pura tidak mengetahui kedatangan mereka, aku mencoba berjalan keluar menghampiri Kak Alice.
“Bentar ya, Kak. Masih dibuat sama Kak Ibnu.”
“Iya.” sahut Kak Alice tanpa menoleh.
“Kakak gak mau masuk aja ke dalam? Di luar panas, loh.”
“Gak apa-apa, bentar lagi juga paling Kak Ibnu selesai buatin minumannya.”
“Loh? Celine?” ujar Adit yang berjalan bersama Kak Dafa ke arahku.
“Eh elo, Dit. Wih, ada Kak Dafa juga nih. Apa kabar, Kak?”
“Baik, Cel. Kamu gimana kabarnya?”
Kak Alice mulai melirik ke arah Adit dan juga Kak Dafa, ia langsung beranjak dari tempat duduknya menuju sepeda.
“Kak, Kakak mau ke mana?”
“Pulang!” jawab Kak Alice ketus.
“Itu, minumannya kan belum jadi.”
“Kamu tungguin aja sendiri.”
Aku dan Adit saling melirik ke satu sama lain. “Duh gimana nih, Dit?”
“Udah sana lo kejar aja.” ujar Adit.
Aku berlari masuk ke dalam kedai terlebih dahulu untuk menghampiri Kak Ibnu.
“Kak Ibnu, pesenan Celine udah jadi belum?” tanyaku dengan tergesa-gesa.
“Udah nih, Cel. Baru aja. Kamu kenapa? Kok mukanya panik gitu?” Sambil menyerahkan kantung pelastik berisi dua buah minuman yang kupesan, Kak Ibnu menatapku kebingungan.
“Biasa lah, Kak. Kak Alice ngeliat Kak Dafa jadi langsung pergi gitu aja. Makasih ya, Kak. Celine balik dulu.”
“Hati-hati, Cel. Awas jatuh!” teriak Kak Ibnu saat aku mulai berlari keluar dari dalam kedainya.
Kak Ibnu adalah anak dari salah satu tetanggaku di komplek ini. Dari dulu, aku dan Kak Alice memang sering sekali datang dan duduk di kedai ini hanya untuk menikmati minuman cokelat karamelnya. Tapi, Kak Alice dan Kak Dafa lah yang lebih sering mengunjungi tempat ini bersama. Itu sebabnya, Kak Ibnu pun sudah tidak heran jika melihat Kak Alice yang selalu menghindar jika bertemu dengan Kak Dafa di mana pun, termasuk di kedai ini.