E 3. Sebuah Kebetulan Yang Aneh

1021 Kata
Chapter 3 “Kita bertemu lagi, Nona Ryenata.” Ryenata tahu siapa yang bicara meski kepalanya tak menoleh ke sumber suara. “Apa kau membuntutiku?” “Jika Nona ingin menganggapnya begitu. Tapi boleh aku bertanya sesuatu?” Ryenata mengangkat gelasnya. “Kenapa aku merasa kau begitu waspada padaku? Apa wajahku seperti wajah orang jahat?” Ryenata sontak tergelak—mencemooh. “Memang wajah penjahat itu seperti apa?” “Hmm, sangar, seram?” “Tidak semua orang jahat itu berwajah sangar dan tidak semua orang berwajah sangar itu adalah orang jahat.” Ryenata menatap jauh ke depan. Seperti orang yang menghancurkan hidupnya 8 tahun lalu. Kadang orang berwajah malaikat justru punya hati paling busuk. Dulu.. keluarga Ryenata adalah keluarga yang bahagia. Dulu… “Kau melamun?” bisikan halus Syane membuyarkan lamunan Ryenata. “Apa kau tidak punya pekerjaan lain, Tuan Syane?” “Ada banyak, tapi hari ini aku cukup senggang.” Ryenata meletakkan gelasnya. “Boleh aku jujur padamu? Aku merasa sedikit terganggu.” “Kalau begitu aku minta maaf.” Dahi Ryenata mengerut dan dia menoleh secara reflek. Kalimat maaf terucap begitu mudah dari bibir Syane. Ryenata tak tahu apa Syane memang tipe orang yang mudah meminta maaf atau pria itu hanya minta maaf padanya. anehnya Ryenata bisa merasakan bahwa permintaan maaf itu diucapkan dengan tulus. “Aku tidak bermaksud mengganggu ketenanganmu, Nona Ryenata. Hanya saja kau mengingatkanku akan seseorang.” Ryenata memutar bola mata. “Mantan kekasih?” tanyanya tak begitu berminat. Sepertinya Syane memang tipe pemain—pemain ulung. “Sahabat,” ucap Syane hangat. “Seorang sahabat baik.” “Apa yang terjadi pada sahabatmu?” “Meninggal. Dia sudah tidak ada. Tapi kau mirip dengannya.” Ryenata tak tahu apa ia harus mendengarkan ocehan Syane atau tidak. Pria ini benar-benar tidak bisa diprediksi. Kadang terdengar tulus tapi kadang terdengar seperti seorang pemain ahli. “Sepertinya kita tidak cocok Tuan Syane, tak peduli aku mirip dengan sahabatmu yang sudah meninggal atau tidak. Jadi sebaiknya kita tidak bertemu lagi. Ah, aku akan sangat menghargai kalau kau memilih untuk mengabaikanku jika seandainya kita bertemu lagi secara tidak sengaja.” Ryenata menghembuskan napas pelan kemudian meninggalkan meja. Syane memutar kepalanya, memandangi punggung Ryenata terang-terangan. “Manis dan menarik.” Syane perlahan memutar lagi kepalanya ke arah sumber suara. Pria itu kemudian meneguk minumnya. “Saya bisa katakan kalau Bos tertarik padanya.” “Apa dia sering ke sini?” “Hmm beberapa kali.” bartender itu menyipitkan matanya. “Mau saya kabari jika dia datang ke sini?” Syane memandangi bartender itu. “Dia baru saja mengataiku penguntit. Dia benar-benar akan menganggapku penguntit jika kau melakukan itu.” Syane menghela napas. “Meski aku ingin melakukannya.” Si bartender tersenyum. Meski suara Syane samar, tapi ia bisa mendengar kalimat itu. “Apa anda ingin nomor telfonnya, Bos?” Raut wajah Syane langsung berubah. “Kau punya nomor telfonnya?” “Hmm, punya. Tapi sebenarnya saya tidak boleh memberikannya pada orang lain. saya melanggar loyaliti saya demi anda, Bos.” “Bagaimana kau bisa mendapatkan nomornya?” “Hmmm,” bartender menjeda. “Sebenarnya saya dan Nona Ryenata ada sedikit urusan.” Alis Syane terangkat. dari raut wajahnya terlihat ia ingin menghardik, tapi kemudian ia batalkan dengan cepat. “Sudahlah, aku tidak ingin tahu. Aku tidak mau menjadi pria menyedihkan dan tidak punya rasa hormat.” “Jadi anda mau nomornya atau tidak, Bos?” “Aku bisa dapatkan sendiri.” Syane bangkit kemudian berlalu. “Sepertinya Bos memang suka pada Nona Ryenata. Jarang sekali dia begini.” … Syane menghentikan mobilnya. Jujur, ia tak ingin menguntit Ryenata dan tak punya pikiran seperti itu. tapi takdir sepertinya benar-benar membawa mereka terus bertemu. Pandangan Syane tertuju lurus ke depan. Tak jauh dari tempatnya, tampak Ryenata berdiri di samping mobil, bersandar pada pintu mobilnya. Ia memegangi dahinya. Gadis itu tampak tidak baik-baik saja. Syane meraih handle pintu, sudah bersiap turun. Namun langkah itu terpatah oleh sebuah motor besar yang berhenti tepat di depan Ryenata. Seorang pria bertubuh jangkung turun, membuka kaca helmnya, lalu tanpa canggung memegang bahu Ryenata. Syane tak bisa mendengar obrolan mereka. tapi dilihat dari jauh pun keduanya bisa dianggap akrab. Pria itu membukakan pintu penumpang untuk Ryenata, membantu gadis itu masuk. Ia membuka helmnya, menempelkan ponsel di telinga. Tak lama ia masuk ke balik kemudi stir, lalu melaju mobil menjauh dari tempat itu. Syane terdiam di tempatnya. Bahkan sampai orang lain datang membawa motor si pria tadi pergi, Syane masih ada di sana. “Apa yang kau pikirkan, Syane. Gadis secantik itu tentu saja sudah punya kekasih. Apa kau benar-benar berharap ia itu single?” Syane menertawakan diri sendiri. Getar pada ponselnya tak membiarkan Syane merenungi Ryenata terlalu lama. Awalnya ia enggan menjawab panggilan yang masuk. Namun entah apa yang tiba-tiba terlintas di kepalanya, pria itu menekan tombol jawab, lalu melaju mobilnya membelah jalan raya. … “Astaga, Tuan Raveyr kita ini sangat sibuk sekali ya. Kau sudah kembali ke Loure beberapa hari, tapi aku baru melihat batang hidungmu hari ini. katakan padaku, apa kesibukan yang jauh lebih penting daripada bertemu dengan kami?” Vayn merangkul sahabatnya itu. “Kesibukan itu pasti tidak akan jauh-jauh dari bisnis. Kau tahu sendiri kan bagaimana gencar dan seriusnya Syane dengan proyek kali ini. apa kau butuh bantuan, kawan?” Syane menggeleng. “Tidak, untuk saat ini. semua baik-baik saja.” “Syukurlah. Ah iya, aku dengar mega proyek yang sedang ditangani Rafael akan sukses besar. beritanya sudah mulai terdengar. Setidaknya ayahku sudah membicarakan itu sedikit kemarin.” Yang lain terdiam, memandangi Syane dalam keheningan. “Kau sudah kembali ke rumah tua, Syane?” Syane terlihat santai, sama sekali tak terlihat memikul beban berat seperti raut wajah yang ditunjukkan oleh sahabat-sahabat baiknya. “Tidak ada acara khusus hingga aku perlu berkunjung ke sana.” Gwin menghela napasnya. “Tapi sejujurnya aku merasa Pak Tua itu tidak begitu membencimu. Maksudku, dia tetap menganggapmu sebagai cucunya. Mungkin dia hanya sulit dalam menunjukkan kasih sayangnya padamu.” Syane tak merespon. Tak lama ponselnya berdering. Entah siapa yang menelfon dan sepenting apa isi telfon itu, yang pasti Syane langsung bangkit dan melaju mobilnya membelah jalan raya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN