4. The Real Lamaran

1880 Kata
Gadis itu masih saja memasang tampang bodohnya setelah beberapa menit, pikirannya seakan macet layaknya jalanan di ibu kota yang selalu padat. Hanya saja bedanya, sekarang otaknya yang tengah mengalami kemacetan total. "Ini aku gak lagi mimpi kan?" Meri menepuk-nepuk kedua pipinya berulang kali yang sayangnya terasa begitu nyata. Setelah tersadar dari lamunannya, gadis itu segera bergerak mendekat ke arah jendela. Benar saja kedua matanya langsung melotot kaget, bagaimana bisa perkataan adik tengilnya itu tidak hanya berupa bualan untuk kali ini. Datangnya beberapa mobil yang mulai terparkir di halaman rumahnya membuat Meri merasa bingung harus berbuat apa. Jangan tanyakan bagaimana detak jantungnya yang memicu kencang sekalian dia baru saja berolah raga berat lari estafet, ia mengacak-acak rambutnya bingung. "Aduh otakku nge-blank lagi, aku harus apa. Emakkkkk!" Ingin sekali rasanya Meri mengeluh dan merengek layaknya anak kecil, semua ini sudah seperti malapetaka baginya. Terlalu tiba-tiba dan membuat jantungan, sensasinya sebelas dua belas seperti orang yang baru saja mendapatkan uang kaget. Andai saja ini acara uang kaget maka dia akan senang, tapi ini acara lamaran. Dia seperti anak ayam yang tersesat di sini, kenapa mamanya begitu tega tidak memberitahukan hal ini terlebih dahulu padanya. Jika dia tahu akan secepat ini kan dia masih bisa mempersiapkan semuanya, untuk melarikan diri maksudnya. Bercanda, dia tidak akan berani melakukan itu. Setelah menolehkan kepalanya, Meri baru saja menyadari bahwa di atas kasurnya terdapat sebuah setelan dress lengan panjang semata kaki. Semalam saat tidur dia tidak melihat keberadaan dress itu, tapi sekarang tiba-tiba ada di kamarnya. "Gak mungkin Riko yang bawain dress ini kan?" Gumamnya pelan. Tidak ingin terlalu memikirkannya, dengan terpaksa Meri mengunci kamarnya dan dengan segera memasuki kamar mandi untuk melakukan ritual mandi bebek. Ia tidak peduli meskipun dia tidak membersihkan tubuhnya dengan begitu bersih karena terburu-buru, toh ini hanya lamaran, bukan acara pernikahan yang malamnya akan dilihat oleh suami. "Argh.. mikirin apa sih kamu Mer!" Segera menggelengkan kepalanya sendiri dan tak lama kemudian terdengar suara gemericik air di dalam kamar mandi. Hanya dalam lima menit waktu berlalu, Meri keluar dari kamar mandi. Ia tampak jauh lebih segar dari pada sebelumnya saat baru bangun tidur. Setelah mengeringkan badannya dengan handuk, gadis itu memakai dress yang sudah disiapkan oleh mamanya. Karena setelah dipikir-pikir siapa lagi yang akan melakukan hal ini jika bukan mamanya. Oleh karena itu gadis itu setelahnya memoleskan beberapa riasan ringan pada wajahnya, hingga tak beberapa lama terdengar suara ketukan pintu. "Iya sebentar!" Meri berjalan membukakan pintu kamarnya yang sempat ia kunci, dan di sana terdapat seseorang yang merupakan tantenya. 'Sejak kapan Tante datang ke rumah? Apa Mama yang ngundang? Jangan bilang aku aja yang gak tau rencana lamaran dadakan ini?' memikirkannya malah membuat perasaan Meri semakin ngenes. "Ayok duduk depan meja rias, biar Tante yang dandani kamu!" Tanpa mengucapkan salam basa-basi terlebih dahulu Tante Meri langsung mendorong keponakannya itu agar menuruti perintahnya. Yang mana Tante Rani merupakan seroang MUA, hingga membuat Meri cukup memahami mengapa mamanya mengundang Tante Meri ke sini. "Tan, jangan tebel-tebel ya riasannya, aku malu..." rengek Meri pada tantenya saat mulai memoleskan foundation pada wajah gadis itu. "Udah kamu pokoknya terima jadi aja, Tante ini udah profesional nanganin masalah kayak gini. Kamu pasti puas sama hasilnya." "Tapi gak menor kan Tan?" Meski Meri juga tahu bahwa hasil make-up tantenya selama ini bisa dibilang bagus, namun tetap saja rasanya takut saat wajahnya sendiri yang dijadikan objek untuk dirias. "Sekali lagi kamu bawel Tante bikin menor ini loh?" "Jangan dong Tan, ntar aku nangis loh..." Meri hanya bisa pasrah. Sepanjang ia dirias oleh tantenya, ia tidak berani membuka kedua matanya. Dan kebetulan dia juga tidak menghadap pada kaca sehingga membuatnya cukup penasaran bagaimana wajahnya ketika sudah diotak-atik oleh tantenya. Mungkinkah dia nanti akan terlihat mirip seperti Jeannie Blackpink? Atau Jisoo? "Tan, make-up-nya ala-ala kayak artis Korea aja ya Tan. Paling enggak kayak Jisoo atau Jeannie Blackpink deh Tan, biar orang rumah pangling!" Celetuk Meri asal yang hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Tante Rani. "Dasar kamu ini, banyak maunya. Bibirnya agak mangap dikit, kamu mau pake lipstik warna apa? Merah, oranye, pink, apa nude?" "Warna bibir Tan, yang fresh alami kayak bibirnya artis Korea. Yang diombre itu loh Tan." Meri pasrah saja ketika Tante Rani memoleskan lipstik dan juga lip gloss pada bibirnya. Hingga setelah beberapa saat Meri membuka kedua matanya ketika tidak lagi merasakan sentuhan halus pada wajahnya. "Udah selesai nih Tan?" "Udah dong, coba liat ke kaca!" Tante Meri berdiri di belakang Meri, seraya mengarahkan gadis itu agar menatap pantulan wajahnya di depan cermin rias. "Cantik kan?" "Itu siapa Tan?" "Calon istri Taun Alviansyah Bramasta!" Bisik Tante Rani jahil di sebelah telinga Meri yang seketika membuat kedua mata keponakannya melotot kaget. "Ihh Tante!" Meri mengerucutkan bibirnya karena diledek, telinganya bahkan sudah memerah malu. "Cieee yang malu-malu," "Jangan gitu ih Tannn..." ___ Ibu Meri melihat sosok anaknya telah muncul dengan dress yang sengaja dia berikan dan juga tampak berbeda dari biasanya karena tangan terampil Rani, saat ini ia tengah membubuhkan sebuah senyum. Wanita paruh baya itu tampak begitu bangga dan percaya diri ketika melihat tampilan anaknya yang cantik hingga membuat seluruh orang dalam ruangan ini merasa pangling. "Sini sayang, duduk di samping calon kamu!" Masih dengan menunjukkan senyum lebarnya yang elegan, mama Meri menuntun Meri agar duduk di samping Alvin. Sementara Meri sendiri hanya bisa pasrah saja menuruti perkataan mamanya. Juga sangat jarang sekali mamanya memanggil sayang dengan begitu lembut seperti tadi, padahal biasanya ia selalu kena omelan tiap kali melakukan kesalahan sekecil apapun. Apakah ini yang dinamakan pencitraan emak-emak saat bertemu calon besannya? Sungguh luar biasa. "Cantik!" Meri langsung menolehkan kepalanya pada sosok pria di sampingnya yang saat ini tengah mengenakan setelan kemeja dan juga jas yang rapi berwarna navy dengan kemeja berwarna putih. Pria itu sejak awal tak pernah menanggalkan senyum manisnya yang mana terdapat lesung pipi di sebelah kirinya. Apa lagi sejak Meri datang, pandangan mata Alvin sudah terkunci pada sosok gadis itu hingga rasanya ia tidak bisa memalingkan wajah karena terpikat pada sosok cantik itu. 'Gak nyesel aku pilih dia jadi calon istri!' pikir Alvin yang masih memandang Meri dengan tatapan senang. Sementara wajah Meri telah memerah karena mendengar pujian dari Alvin secara langsung, gadis itu memalingkan wajahnya. Hal itu tentu saja tak luput dari pandangan mata dua pihak keluarga yang juga menatap keduanya dengan senyum maklum. "Yang masih seger-segernya emang beda ya." Celetuk salah satu dari mereka yang disambut dengan riuh suara tawa. Setalah itu kedua belah pihak keluarga kembali saling berbincang, saling melemparkan candaan satu sama lain. Benar-benar menjalin hubungan kekeluargaan yang akur dan rukun dalam acara lamaran kali ini. Pihak dari para orang tua juga sesekali menanyai keduanya yang tampak malu-malu, terutama Meri. Jelas saja terlihat bahwa gadis itu merasa agak canggung duduk di antara para orang dewasa di sampingnya, ia juga hanya bisa menjawab seadanya karena benar-benar canggung. Berbeda halnya dengan Alvin yang tampaknya jauh lebih mudah untuk beradaptasi dalam kondisi seperti ini, mengingat profesinya yang merupakan seorang pengacara sehingga membuatnya lebih mudah untuk menempatkan diri dalam berbagai situasi. "Kenapa, canggung?" Tingkah Meri yang terlihat kikuk tak luput dari pandangan Alvin, pria itu dengan sengaja mendekatkan dirinya pada Meri dan berbisik pelan pada telinga gadis itu. Yang mana hal itu justru malah membuat Meri menjadi kaget karena pergerakan Alvin terlalu tiba-tiba baginya. Ia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pernyataan Alvin, karena pada dasarnya dia memang seseorang yang introver dan tidak begitu mudah untuk berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya selama ini ia hanya memiliki beberapa teman, bahkan dia tidak pernah berpacaran sebelum ini karena pergaulannya yang minim, dan kurang aktif dalam berbagai organisasi. Namun siapa sangka tepat setelah ia mengiyakan pertanyaan pria itu, saat ini tangan Alvin dengan seenaknya meraih tangannya untuk dia genggam. Membuat Meri sendiri merasa kaget hingga detak jantungnya kembali berpacu kencang. Untuk pertama kalinya Meri pada akhirnya memiliki gandengan, ia tidak pernah bergandengan tangan dengan pria manapun selama ini. Paling mentok hanya berjabat tangan jika bertemu dengan teman lama atau saat setelah hari lebaran. Namun kali ini bukan lagi sekedar salaman, melainkan tangannya benar-benar digenggam oleh sosok pria dewasa di sampingnya di depan semua orang. "Ekhemm..." Berbagai macam suara deheman atau sekedar batuk yang dibuat-buat kembali merebak di dalam rumah Meri. Sudah dapat dipastikan bagaimana kondisi gadis itu saat ini, wajahnya telah merekah merah karena malu. Ia tidak melepaskan genggaman tangan Alvin karena bingung harus berbuat apa, juga jika dia menyentak tangan pria itu ia takut akan ditegur oleh anggota keluarganya. Tapi rasanya saat ini dia ingin sekali menjerit sekuat-kuatnya, rasa malu yang teramat benar-benar dia rasakan dalam dirinya. Membuatnya ingin sekali mencari lubang untuk bersembunyi dari tatapan menggoda yang ditujukan pada mereka berdua. "Mas..." cicit Meri berharap pria itu dapat mengerti dan melepaskan genggaman tangannya agar mereka tidak lagi menjadi bahan olok-olokan keluarga yang suka tehadap pemandangan romansa ala-ala ini. Di luar dugaan, Alvin saat ini justru terlihat sangat biasa saja. Pria itu justru ikut tersenyum lebar, seolah tidak mempermasalahkan bagaimana dirinya membuat orang-orang di sekitar mereka menggodanya. 'Bagaimana bisa ada seseorang yang tidak malu sama sekali setelah menjadi bahan godaan para keluarga besarnya? Apa dia sudah terbiasa melakukan hal ini?' pikiran negatif mulai berkelana dalam diri Meri, ia mulai menerka-nerka bagaimana sosok pria yang akan menjadi calon suaminya ini. 'Di depan banyak orang saja dia tidak malu sama sekali melakukan hal ini, bagaimana jika kita hanya berdua?' Pikiran Meri semakin lama semakin tenggelam dalam imajinasinya sendiri, membuatnya merasa takut. "Apa yang kamu pikirkan?" Kembali Alvin bertanya, namun hanya sebuah gelengan disertai senyum terpaksa yang muncul di bibir gadis itu. "Bukan apa-apa!" "Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk mengatakannya!" "Aduh romantisnya, jadi kangen masa muda." Tante Rani tiba-tiba menyeletuk, yang mana hal itu ditanggapi oleh yang lain dengan canda tawa. Acara lamaran itu berlanjut hingga pertengahan hari, diwarnai dengan canda tawa. Meri yang awalnya tampak begitu canggung perlahan-lahan mulai bisa membiasakan diri. Ia tidak begitu tegang lagi seperti di awal-awal, mereka juga makan-makan bersama dengan bahagia. Riuh ramai perkumpulan dua keluarga ini memang suatu hal yang cukup spesial di hari bahagia ini. Meski Meri sendiri tidak yakin apakah dia bahagia setelah resmi menjadi istri dari Alvin nantinya. Ia sama sekali buta akan pria itu, tidak mengetahui apapun tentangnya. Semuanya terasa begitu terburu-buru baginya, bahkan ia diam-diam masih mengira bahwa apa yang telah dialaminya hari ini adalah sebuah mimpi. Namun ini adalah mimpi paling nyata yang pernah dia alami. __ Gadis itu memandangi cincin polos dengan sebuah permata kecil yang berada di tengah untuk mempercantik tampilan dari cincin itu. Berkedip selama beberapa saat, terus memandangi cincin itu dengan tatapan yang sulit untuk bisa diartikan. Lalu terdengar suara helaan napas panjang dari bibir gadis itu, acara lamaran telah selesai. Ia telah resmi menjadi tunangan orang dan bulan depan dia akan menikah. "Tau ah, pusing!" Pikirannya terasa bercabang kemana-mana saat mendapati hidupnya tak lama lagi akan berubah drastis. Meri yang dulu terlalu cuek pada dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya, namun kini gadis itu dipaksa untuk berpikir mengenai masa depannya yang sudah tersusun dengan rapi di depan mata. "Kabur tidak? Tapi ntar kalo kabur aku jadi gelandangan!" Meskipun opsi kabur terlihat sangat menggiurkan, tapi dia juga berpikir ulang demi kebaikannya. "Apa pasrah aja sama keputusan Mama? Ya Allah gini amat jadi orang baru dewasa, pengen balik jadi anak kecil aja rasanya!" Setelahnya Meri menenggelamkan wajahnya pada bantal, terdengar suara isak tangis pelan darinya. Semuanya berubah, sejak ayahnya pergi. "Kangen Ayah!" To be Continued....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN