2. Anak yang Tak Diinginkan

1222 Kata
Sepasang netra yang terasa begitu berat dan lelah, sedang menatap kosong ke arah luar jendela yang menunggu sinar mentari yang tak kunjung datang. Entah mengapa pagi ini matahari bersembunyi di balik awan yang mendung. Mungkinkah ia juga ikut merasakan suasana hati yang Aurel rasakan saat ini. Berulang kali Aurel berpikir untuk langkah yang harus ia ambil dalam hidupnya dan juga anaknya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk memberitahukan tentang kehamilan pada Davin. Biar bagaimanapun Davin adalah ayah dari anak yang ia kandung saat ini. Pagi ini Aurel akan pergi ke rumah Davin dengan menggunakan sepeda motornya yang selalu menemani dan membawanya kemana pun ia inginkan. “Ma, Aurel pergi dulu sebentar ya? Nanti kalau mama butuh apa-apa segera telpon Aurel ya ma?” “Kamu mau kemana? Apa mau kuliah?” “Tidak ma. Ada yang ingin Aurel urus sebentar.” “Kapan kamu akan mulai kuliah lagi? Kamu sudah hampir dua minggu kan tidak berangkat? Lagipula mama sudah sembuh.” “Iya ma. Aurel akan kuliah lagi kalau mama sudah benar-benar sembuh. Saat ini Aurel mau merawat mama dan menjaga mama dulu.” “Ya sudah terserah kamu.” “Aurel pamit ya ma. Aurel akan segera kembali.” “Iya hati-hati nak.” Mama Aurel yang bernama Sekar telah pulang dari rumah sakit tiga hari yang lalu. Dengan berbagai cara dan usaha, Dokter dan beberapa suster mampu menyelamatkan nyawa mama Sekar saat itu. Namun kondisinya masih belum benar-benar sembuh. Ia masih harus tetap menjalani kontrol ke rumah sakit, dan banyak istirahat. Aurel telah sampai di depan rumah Davin yang besar dan mewah. Davin Gema Pratama, anak tunggal dari pasangan Dimas dan Hana. Keluarga kaya dan terpandang yang memiliki sebuah perusahaan ternama dan beberapa aset lainnya. Dengan langkah yang takut dan sedikit ada keraguan, Aurel berjalan mendekat menuju pintu utama rumah tersebut. Lalu menekan tombol bel yang tertempel di dekat pintu. Sambil menunggu pintu rumah terbuka, Aurel terus menyakinkan dirinya kalau ini adalah keputusan yang tepat. “Aurel?” “Selamat pagi tante.” “Kamu benar Aurel, temannya Davin kan?” “Iya tante. Davinnya ada tante?” “Dia tidak ada di rumah. Sudah dari kemarin ia tidak pulang.” “Kalau boleh tahu dimana Davin sekarang tante?” “Tante juga tidak tahu. Ia tidak bilang ia pergi kemana Tapi ia bilang ingin menenangkan pikiran sejenak.” “Oh begitu. Ya sudah kalau begitu tante. Kalau Davin sudah pulang, tolong beritahu dia bahwa saya mencarinya.” “Baiklah.” “Kalau begitu saya permisi dulu tante. Maaf pagi-pagi sudah menggangu.” “Tunggu sebentar.” “Ada yang ingin tante tanyakan padamu?” “Tanya apa tante?” “Mari silahkan masuk dulu!” Pinta Hana. Aurel menarik nafasnya panjang-panjang sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk dan menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh Hana, mamanya Davin. “Kamu mau minum apa?” “Tidak usah repot-repot tante. Saya tidak bisa lama-lama. Apa yang ingin tante tanyakan pada saya?” “Soal Davin. Kamu pasti tahu apa yang terjadi pada Davin saat ini kan? Dia seperti bukan dirinya sekarang ini. Beberapa hari ini dia sering marang-marah sendiri, melamun sendiri, dan sering bersifat anarkis. Hidupnya terlihat sangat kacau. Namun saat tante tanya apa yang sebenarnya terjadi, dia tidak pernah menjawab.” Aurel terdiam sambil berpikir. “Apa dia sedang mempunyai masalah denganmu?” tanya Hana. “Emmm… iya tante,” jawab Aurel gugup karena mendapat tatapan yang mengintimidasi dari Hana. “Sudah tante duga. Apa kamu bisa beritahu kepada tante? Mungkin tante bisa memberi saran tentang masalah kalian. Tante tidak ingin Davin seperti ini terus.” “Waktu itu aku memutuskan hubungan kita tante.” “Benar dugaan tante pasti ini masalah percintaan. Tapi kalau boleh tahu kenapa kalian putus?” “Emm….” “Tidak papa katakan saja. Apa Davin selingkuh?” “Tidak tante. Emm… sebenarnya… sebenarnya saya kesini ingin memberitahu Davin masalah yang serius tentang kami berdua.” “Ada apa?” “Sa-saya hamil tante.” “Hah? Ha-hamil? Apa maskud kamu?” “Iya tante, saya hamil anak Davin.” “Tidak, tidak mungkin. Kamu jangan bercanda.” “Tidak tante, saya serius. Ini hasil pemeriksaannya.” Aural mengambil secarik kertas dalam tasnya. “Tidak. Ini tidak boleh terjadi.” “Apa maksud tante?” “Apa kamu yakin dia anak dari Davin?” “Maksud tante?” Aurel terkejut saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Hana, karena teringat akan tuduhan menyakitkan yang telah Davin ucapkan padanya. “Tidak apa-apa. Jadi apa yang kamu inginkan?” “Apalagi kalau bukan meminta pertanggung jawaban Davin.” “Tidak. Tidak boleh.” “Hah?” “Kamu tahu kan kalau Davin adalah satu-satunya pewaris keluarga ini. Saya tidak mau reputasi keluarga dan perusahaan keluarga kami hancur gara-gara masalah yang belum tentu kejelasannya ini.” “Belum tentu kejelasannya? Apa maksud tante? Tante meragukan ucapan saya? Tante pikir saya berbohong? Tante pikir saya wanita seperti apa?” Dengan nada yang meninggi karena emosi Aurel mulai meluap. “Tenang dulu, bukan seperti itu maksud saya. Jangan emosi dulu, kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Kamu tunggu disini dulu sebentar.” Hana berjalan menuju ke kamarnya, namun tak lama kemudian ia kembali menghampiri Aurel. “Ini ada cek seratus juta, bisa kamu gunakan. Jika kurang, kamu bisa menghubungi saya.” Hana menyodorkan selembar kertas cek kepada Aurel. “Maksud tante apa? Untuk apa uang ini?” “Kamu bisa menggunakan uang itu untuk menggugurkan anak yang ada dalam kandunganmu, atau untuk merawat anak kamu nantinya. Tapi tante minta jangan bawa-bawa Davin. Saya tidak mau masa depan Davin hancur. Ia masih harus menyelesaikan pendidikannya dan mempunyai tanggung jawab untuk mengelola perusahaan nantinya.” Aurel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum pahit, dengan mata yang berbinar-binar. “Lalu bagaimana dengan masa depan saya?” “Maka dari itu kamu diam-diam gugurkan saja anak itu. Dengan begitu kamu bisa melanjutkan kuliahmu.” “Digugurkan? Saya benar-benar tak menyangka dengan apa yang ada di otak tante. Padahal tante juga seorang ibu.” “Justru karena saya sudah menjadi seorang ibu, saya ingin melindungi anak saya bagaimana pun caranya. Sudahlah, jangan buat masalah sepele ini menjadi rumit. Kamu ambil cek ini, nanti akan saya tambah. Tapi saya mohon jangan ganggu dan temui anak saya lagi.” Aurel mengambil cek itu, lalu merobeknya. Sehingga membuat Hana membolakan kedua matanya. “Saya tidak butuh uang tante. Saya juga tidak butuh Davin. Saya bisa menghidupi anak ini sendiri tanpa kalian.” “Baguslah kalau memang begitu, yang penting saya sudah bermurah hati memberikan kompensasi pada kamu. Oh ya tapi saya minta masalah ini jangan sampai kemana-mana. Kalau bisa kamu pergi sejauh mungkin dari kehidupan anak saya.” Tanpa menjawab dan berpamitan pada Hana, Aurel segera beranjak dan pergi meninggalkan rumah itu dengan perasaan marah, kesal, sedih, geram, semua bercampur. Aurel mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Terdengar beberapa suara klakson dari beberapa pengendara lain. Entah sudah berapa kali ia hampir menabrak atau tertabrak. Ia sudah tak peduli jika ia harus mati sekarang. Namun ternyata takdir berkata lain. Aurel masih bisa selamat kembali ke rumahnya. Sebelum memasuki rumah, Aurel berulang kali mengatur nafas dan emosinya. Ia tak ingin membuat mamanya khawatir dan down lagi gara-gara dia. Karena memang waktu itu mamanya terkena serangan jantung saat mengetahui Aurel hamil. Belum lagi memikirkan masalah hutang yang ditinggalkan oleh mendiang ayahnya. TBC ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN