empat

1519 Kata
AKU mengeluarkan ikan Bawal dari dalam lemari pendingin, lalu meletakannya di atas pantry, sebelum mencucinya hingga bersih. Sementara itu, di sampingku, Pram masih fokus mengupas bawang bombai dan membersihkan kulit kunyit. Dia manis. Sangat manis. Mengenakan kaus biru dongker polos dan celana selutut, dengan wajah yang masih segar karena sehabis mandi. Hal ini sering ia lakukan; membantuku di dapur untuk membuat makanan. Oh tidak, jangan terlalu banyak berharap pada kreasiku di dapur. Karena ikan bawal bakar adalah satu-satu hal yang bisa kubanggakan. Mbak Ijas yang membantuku. Terima kasih banyak untuk perempuan itu. "Boleh minta tolong?" Aku menginterupsi kegiatannya, membuat dia mendongak dan aku mendapati matanya yang memerah. Aku tahu penyebabnya. "Pedih kena bawang, kan?" Dia tertawa kecil, mengelap mata dengan lengan kirinya. "Padahal jaraknya udah jauh. Pantes, kamu nggak suka di dapur." Benar. Aku selalu berkelit setiap kali dia meminta makanan hasil buatanku. Bukannya apa, tetapi sungguh, dapur bukanlah area kekuasaanku. Meskipun memiliki Kafe, aku lebih memercayakannya pada asistenku. Dia sangat cerdas dan aku harus sedikit rela mengeluarkan banyak uang untuk membayar ilmunya yang dia bawa dari negeri Paman Sam. "Mau minta tolong apa?" "Tadinya mau minta tolong, ambil botol kecap di kabinet atasmu." Aku tersenyum. "Tapi nggak usah, deh. Kamu susah." "Aku pria, ingat?" Setelah mengatakan itu, dia meletakan pisau kecil, lalu membuka pintu kabinet. "Satu, cukup?" Aku mengangguk. Sekarang diam, aku hanya akan membiarkan dia melakukan tugasnya dengan benar. Sedangkan aku memilih mulai meletakkan ikan di dalam mangkuk dan membersihkan pemanggang. Kepalaku menoleh, saat mendengar Pram mengeluarkan ingusnya. Dia nyengir, merasa malu setiap terlihat lemah. Itulah mengapa aku selalu meminta Mbak Ijas untuk mengupas segala bumbu masak terlebih dahulu. Dan sialnya, hari ini dia izin sakit dan persediaan yang sudah dikupas habis. Nasib suamiku. "Aku sayang kamu." Mendekat, aku mengusap matanya dengan tanganku yang sudah kubersihkan. Dia memandangku sejenak dan memberi senyuman tipis. "Aku aja sini." "Kamu nggak suka kegiatan ngupas bawang dan semacamya." Aku diam. Memperhatikan tangannya yang mengambil kunyit, lalu mengupasnya lagi. Butuh berapa jam dia menyelesaikan tugasnya? Selama menunggunya selesai dan mulai membuat bumbu, aku mengambil satu Apel dari lemari pendingin dan langsung menggigitnya. "Ntar malem jam berapa siarannya?" Oke, aku memanglah bukan istri idaman, karena bahkan sudah satu tahun menikah, aku belum hafal jadwal siaran suamiku. Aku juga masih sering kaget jika dia tiba-tiba pamit untuk mengisi acara di luar kota, padahal sebelumnya kami sudah membuat kesepakatan. "Jam dua belas," jawabnya, tenang. Lalu membuka mulut saat aku menyodorkan Apel milikku. Bunyi kunyahannya dan kunyahanku mengisi suasana dapur. "Minta Dhea nginep sini aja atau Ibu." "Dhea besok ada ujian pagi katanya." "Masa? Bohong pasti. Kemarin aja bilangnya Mau ke puncak bareng Efran." Mataku terus memperhatikan gerakannya; meletakkan pisau di tempat semula, membawa mangkuk yang berisi bawang dan kunyit yang sudah dikupas ke westafel dan mencucinya. Aku berhenti mengunyah, saat mendengar suara bel dari luar. "Aku buka dulu, ya...." Dia mengangguk. Dhe Putri Natanegoro. Sudah berdiri di depan pintu dengan wajah cerianya. "Halo, Mbak Ramelia... lagi sibuk, ya?" Aku mendengus, "Kayak peduli aja kalau Mbak lagi sibuk." Dia tertawa, lalu masuk dan berjalan lebih dulu di depanku. "Mas Pram belum bangun, ya?" "Lagi di dapur." "Kan! Kalau sama Mbak Ramel mau aja di dapur," dumelnya. "Coba kalau di rumah. Habis salat subuh, tarik selimut lagi." "Ngomongin Mas sendiri itu bikin kamu nggak laku, lho, Dhe..." Aku tersenyum, saat melihat Pram menghampiri Dhea dan mencium kepalanya. "Kamu udah masukin bumbunya ke blender?" Dia mengangguk, "Tapi belum kugiling," lalu kembali fokus pada Dhea. "Dari mana kamu?" "Kampus." "Kenapa langsung ke sini?" Dhea menoleh ke arahku dan nyengir lebar. "Mau pinjam bakunya Mbak Ramel, boleh?" "Mau date ilegal lagi, ya?" tembakku, menghasilkan senyuman malu di wajahnya. "Nanti kalau Ibu tahu kamu diomelin, lho." "Ya makanya Mbak Ra jangan kasih tahu." "Minta orang kok, buat ngelakuin dosa." Pram memicingkan matanya. "Coba sekali-kali ajak Efran ke sini." "Belum siap, Mas...." "Siapnya kapan? Kalau dia ninggalin kamu, baru nangis-nangis minta tolong Mas?" "Ish!" Dhea menyikut perut Pram, dan berjalan mendekatiku. Lalu bertanya manja. "Mbak Ra punya dress marun nggak?" "Punya, dong. Yang lengan pendek atau panjang?" "Pendek." "Panjang." Aku mengerutkan dahi, saat mereka menjawab bersamaan dengan jawaban yang berbeda. Mereka memang terpaut usia yang cukup jauh, tetapi Pram masih sering menggoda adiknya sampai kesal, bahkan menangis. "Mas Pram nggak asik, ah!" protes Dhea. "Mbak ra aja diizinin pakai baju pendek." Fucker! Dia malah membongkar rahasiaku. Pram jelas mengerutkan alis bingung, lalu memicingkan matanya menatapku. Dia memang membebaskanku dalam segala hal kecuali satu; pakaian mini. Dia bahkan sudah berkali-kali memintaku untuk memakai hijab, tetapi aku hanya tertawa dan merasa belum berani meninggalkan semuanya. "Maaf, keceplosan. Abis Mas Pram, sih!" "Kamu sering pakai baju mini kalau keluar sama Dhea?" Oh s**t! Pertanyaannya menusuk hingga ujung jantung. Aku gelagapan, sesekali memandang Dhea yang tengah gelisah di tempatnya berdiri. "Duduk sini." Dia kembali bersuara, tidak terlihat marah sama sekali. Dia sangat pandai mengontrol diri di hadapan orang. Aku menurut. "Mau minjemin Dhe baju? Kalau nggak, nggak usah dikasih. Biarin dia pulang." "Mau, kok." Aku menyela cepat. Bagaimana pun, Dhea adalah patnerku saat melakukan hal yang dilarang Pram. Muehehehe. Aku berdiri, mengajak Dhea ke kamarku dan membiarkannya memilih pakaian di lemari. Sesuka hatinya. "Anjir! Bajunya banyak bener.... Semuanya bagus." Aku tertawa miris, duduk di kasur memperhatikannya. Dia terlihat kebingungan menentukan baju mana yang paling cocok. "Mau nge-date kemama, sih, Dhe?" "Mal. Biasa." "Yaudah, yang marun atau pastel itu aja. Santai tapi masih tetep cewek banget." Dia menarik baju yang kusebutkan, "Ini?" Aku mengangguk. "Yaudah, deh. Aku pakai ini. Pinjem, ya, Mbak." Dulu, aku jauh lebih bebas dari Dhea. Pergi ke mana pun, bersama siapa pun, tetapi hatiku kosong. Hanya Romi yang bisa membuatku merasa seperti apa yang dirasakan Dhea sekarang; perasaan menggebu karena akan date berdua dengan pujaan hati. Dulu. Tuhan, maafkan aku. Setelah Dhea siap dengan penampilannya, kami turun dan Pram masih duduk di tempatnya semula. "Jangan pulang malem, Dek..." "Iya, Mas bawel. Aku berangkat." Kepalanya menoleh ke arahku. "Mbak Ra, pinjem, ya!" Aku mengangguk dan tersenyum. Dia cantik. "Maaf," Aku duduk di sampingnya, "nggak akan pakai baju gitu lagi. Janji." Dia menoleh, memandangiku dalam diam. "Pram...." "Sayang kamu." Aku tertawa, lalu mengelus pipinya lembut. Aku juga menyayanginya. Sangat sayang. Dhea perlu kuberi pelajaran saat aku bertemu dengannya lagi. Gadis sialan. Padahal, aku sudah menyogoknya dengan banyak benda; sepatu, tas, dan banyak lainnya. "Abis makan siang nanti, ke dokter yuk, Pram..." "Emang belum waktunya, Ra... Nanti kamu kecewa." Aku menunduk sedih. "Tapi seenggaknya aku pengin buktiin pil KB emang bener bikin aku nggak bisa hamil atau nggak. Kayak yang Bunda bilang." Dia menggeser tubuhnya, memelukku erat. "Hamil atau nggak, kamu tetep istri aku. Sampai kapan pun." Tangannya mengelus kepalaku pelan. "Tapi, kalau kamu emang pengin banget ke spesialis Obgyn, kita kesana nanti." "Makasih." . . . . INI memang pertama kalinya kami datang ke dokter Obgyn, karena Pram selalu menolak dan mengatakan kalau Pil KB yang kuminum dulu tidak ada hubungannya dengan keadaanku sekarang. Tetapi, bisa saja dia salah, kan? Bagaimana kalau semua itu dia lakukan hanya untuk menenangkanku? Salahkan aku dan masa lalu menjijikanku itu. Aku diberi nomor Bu Imaya ini oleh salah satu karyawan Kafe, dan baru sekarang Kami akan membuktikannya. "Ibu Ramelia... silakan masuk." Aku tersenyum, dan menggandeng tangan Pram ke dalam ruangan berudara dingin. Seorang dokter berkerudung biru langit tersenyum ramah menyambut kami. Sial. Dia cantik sekali dengan kerudung itu. Well, ini memang memalukan. Sebelum duduk, aku sempat memastikan ekspresi Pram saat berjabat tangan dengan dokter itu. Dan akhirnya aku mengembuskan napas lega. "Ada keluhan apa, Ibu?" "Um," Aku menoleh, ingin meminta kekuatan dari Pram. Dan dia tersenyum seraya menganggukkan kepalanya yakin."Dulu, saya sempat mengonsumsi pil KB sebelum menikah, bahkan sejak saya SMA..." Aku diam, menebak apakah ada perubahan raut jijik dari Bu Imaya ini, dan ternyata aku tidak menemukan itu. "Sekarang, saya nggak hamil-hamil." Beliau tersenyum. "Berhenti mengonsumsi sejak kapan?" "Setelah lulus SMA." Karena setelah itu, Romi meninggalkanku. b******n. Beliau mengangguk, menoleh pada Pram. Dan aku segera meraih tangan Pram dan membawa ke pangkuanku. Dia meremasnya kuat. "Begini, Bu Ramelia dan Mas Pram," Apa maksudnya?! Oke, aku harus menahan emosiku sejenak. "Umumnya, pil KB itu mengandung hormon estrogen atau hormon progesteron, dan ada juga yang mengandung campuran kedua hormone tersebut. Nah, kalau dikonsumsi secara teratur, hormon itu bisa meningkatkan kekentalan lendir rahim, jadi bisa menghambat pengeluaran sel telur, sekaligus menghambat gerakan s****a yang masuk ke dalam saluran reproduksi. "Tapi, kalau berhenti minum, efeknya juga bakal segera hilang, jadi nggak menimbulkan dampak buruk pada organ reproduksi." Aku terus memutar otak untuk memahami kalimatnya. Sialan karena aku dulu tidak masuk jurusan IPA seperti Marsya. "Jadi, pil KB sama sekali nggak menentukan istri saya bisa hamil atau nggak, kan, Dok?" Aku menoleh, memandangi Pram yang sekarang sedang menatap Bu Imaya serius. Dia paham. Hell. Dokter itu tersenyum dan mengangguk. "Iya, kalau Ibu Ramelia sudah berhenti meminum, ya harusnya bisa subur kembali. Kalau ada yang bilang pil KB bisa mengakibatkan rahim 'kering' itu nggak benar. Pil KB bukanlah penyebab wanita sulit punya momongan, kok." Aku mengembuskan napas lega. Tidak perlu memahami semuanya. Kalimat terakhirnya sudah sangat cukup menguatkanku. Tunggu, kalau begitu, kenapa aku masih belum punya anak? .... Apa aku mandul dari sananya? Tidak!  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN