Acara Tahlilan

1031 Kata
Jenazah Suamiku Bab 4 : Acara Tahlilan Segera kutenteng dua kantong besar bungkusan dari Bu RT masuk ke dalam rumah, sepertinya isinya ini sembako. Begitulah tebakanku. Benar saja, ternyata isinya ada beras, gula, minyak, telor, mie instans, s**u, biskuit dan dikantong satunya ada daging sapi, ayam, udang juga aneka sayuran dan bumbu dapur. Ya Allah, malaikat mana yang menitipkan semua ini? Ini sangat banyak dan bisa dimakan warga satu kampung. Aku menggaruk kepala bingung, memutar otak akan kuapakan bahan makanan sebanyak ini? Mau disimpan juga, takkan bisa karena di rumahku ini tidak ada lemari pendingin atau yang disebut kulkas itu. Cukup lama aku berpikir, hingga muncul ide di kepala ini. Senyum tipis terukir di bibirku, mungkin inilah saatnya aku mengadakan acara tahlilan untuk almarhum Bang Wawan. Aku akan memasak semua ini, lalu memanggil tetangga sekitar untuk mengirimkan doa untuk almarhum. Bukannya aku tak pernah mendoakan almarhum, tapi semakin banyak yang mengirimkan doa maka semakin baik lagi. Siapa pun orang yang telah bersedekah ini, aku doakan semoga rezekinya semakin dilimpahkan Allah SWT. Oke, aku harus segera memasak semua ini, lalu mengundang para tetangga untuk ke sini. Bang Wawan, sejak dari kamu dimakamkan di depan rumah, aku memang belum pernah mengadakan acara tahlilan untukmu walau kini kamu sudah 14 hari tertidur di alam keabadian itu. Semua karena ketiadaan, maafkan aku ... Suamiku. Kuhela napas panjang dan menyeka air mata yang selalu ingin berderai tanpa komando. Ini bukan saatnya bersedih, aku harus bisa memasak semua bahan makanan ini dengan cepat juga enak tentunya. *** Pukul 15.10, semua masakanku telah selesai. Aku menarik napas lega dan menyeka keringat dengan hati yang puas. Kini saatnya ke musola untuk memanggil para warga yang baru selesai sholat ashar untuk ke rumah. Dengan langkah cepat, aku menuju musola dan mengutarakan hajadku kepada Pak Ustaz yang mengimami sholat ashar sore ini. Dia menyambut baik keinginanku, dan menyampaikan kepada empat orang warga lainnya yang ada di sana. Aku begitu terharu, akhirnya bisa juga mengadakan acara tahlilan untuk almarhum, walau lewat rezeki yang tak kuketahui siapa pemberinya. Acara berlangsung khidmat, walau air mata ini tak hentinya berjatuhan, antara sedih, lega juga terharu karena aku tak pernah membayangkan bisa mengadakan acara kecil-kecilan ini. Semoga almarhum semakin tenang di alam sana, dan di tempatkan di surga Allah. Amin. "Wulan, kamu sendiri yang memasak semua ini?" tanya Bu RT yang datang bersama Bu Mala dan Bu Tina, tetangga samping rumah. Mereka kini sedang mencicipi makanan yang kusajikan setelah acara tahlilan selesai. "Iya, Bu, bahan makanannya dari yang Bu RT bawakan tadi pagi. Sampaikan ucapan terima kasih saya kepada orang itu, Bu RT. Berkat barang-barang yang ia berikan, akhirnya saya bisa mengadakan acara tahlilan ini. Saya senang sekali, almarhum Bang Wawan pastinya juga senang." Aku menggigit bibir, berusaha agar tak menangis. "Hatimu sungguh mulia, Wulan, padahal orang itu hanya ingin berbagi bahan makanan untukmu dan Winka tapi kamu malah menyedekahnya lagi lewat acara tahlilan ini." Bu RT terlihat menyeka pojok matanya. "Alhamdulillah, Bu RT, niatan saya bisa terlaksana walau lewat rezeki dari orang itu. Bilang Pak RT, suruh sampaikan ucapan terima kasih saya yang sedalam-dalamnya." Aku berusaha tersenyum. Bu RT mengangguk. "Ayo dimakan Ibu-Ibu, Winka ayo makan, Nak!" Aku tersenyum kepada tiga wanita paruh baya di dekatku itu juga Winka--putriku yang sedang makan dengan lahap karena kami memang jarang bisa makan enak begini, bahkan mungkin tidak pernah. *** Kalau tak salah hitung, hari ini sudah masuk 40 hari mendiang Bang Wawan. Sungguh tak terasa, waktu begitu cepat bergulir dan aku masih berharap semua ini hanya mimpi juga masih berharap untuk bisa terbangun lalu mendapati suamiku masih ada di sampingku. Aku tak masalah walau dia hanya bisa terbaring di tempat tidur dan tak bisa memberikan nafkah yang layak kepada kami, asalkan dia tetap ada di dunia ini. Sesungguhnya hamba ikhlas, Tuhan. Hanya saja, aku merasa masih belum puas merawatnya. "Assalammualaikum. Permisi .... " Terdengar suara dari depan pintu. Aku yang saat ini sedang berada di dapur, mengupas ubi untuk kubuat kripik yang akan kutitipkan di warung-warung, berpikir sejenak akan siapakan tamu di depan sana. "Winka, Nak, ... Coba lihat siapa siapa yang datang itu!" ujarku kepada Winka yang sedang membantuku mengupas ubi. "Iya, Bu. Siapa, ya, kira-kira? Kita 'kan jarang kedatangan tamu," ocehnya sambil melangkah menuju pintu. Aku hanya mengangkat bahu dan menatap putriku dari belakang, sedikit penasaran juga akan siapa yang datang itu. Jangan-jangan ... Para penagih hutang yang waktu itu? Waktu seminggu itu memang sudah lama berlalu, dan aku berharap mereka melupakan hal itu. Tapi, sepertinya tidak mungkin. Ya Tuhan, bagaimana ini? Dengan apa aku harus membayar hutang almarhum Bang Wawan? Apa aku harus mengancam mereka menggunakan pisau ini, seperti yang kulakukan kepada Bang Wahyu waktu itu? "Ibu, cepat ke sini!!! Ayah hidup lagi, itu dia ada berdiri di dekat makam!!!" Terdengar teriakan Winka dari arah pintu. Aku segera melepaskan pekerjaanku, ada apa ini? Apa maksud Winka ... Ayahnya hidup lagi itu? Aku segera berlari menuju pintu. "Ada apa, Winka?" tanyaku sambil merangkul pundaknya yang sedang berdiri di depan pintu rumah kami. "Itu ada Ayah, Bu! Ternyata Ayah belum meninggal," jawabnya dengan wajah yang berbinar-binar, menunjuk ke arah pria berkacamata hitam yang sedang berdiri di dekat makam almarhum Bang Wawan. Ah, pria arrogant itu lagi, Si Penagih Hutang. Sepertinya, dia itu rentenir dan aku membencinya. Dia pasti menjebak almarhum untuk meminjam uang dengannya, dasar licik! Aku yakin suamiku orang baik dan tak mungkin punya hutang walau kami hidup dalam kemiskinan. "Dia bukan Ayahmu, Nak, Ayahmu sudah meninggal. Dia orang lain dan kita tidak mengenalnya," ujarku kepada Winka yang sudah hendak berlari turun dari rumah, mungkin kalau aku tak segera menghampirinya, dia sudah berlari memeluk rentenir itu karena memang mirip Ayahnya walau hanya dari wajah saja. Sedangkan penampilan sangat jauh berbeda. "Oh, bukan Ayah." Winka merengut, ia terlihat sangat kecewa, namun kerutan di dahinya menyiratkan kalau ia juga penasaran akan sosok tinggi tegap itu. "Iya, Nak, dia hanya sedikit mirip saja dengan Ayahmu tapi mereka orang yang berbeda." Aku masih mencoba membuatnya mengerti walau aku tahu di usianya sekarang sulit memahami masalah rumit begini. Winka menengadahkan kepalanya ke atas, menatapku dengan mata sendunya. Dia anak yang kuat, yang selama 40 hari ini membuatku ikutan jadi kuat juga walau kini kami hanya tinggal berdua saja. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN