Assalamu’alaikum, readers.
Maafkan saya yang malah menduakan cerita My Porter is My Partner dengan cerita baru ini.
Saya tertarik dengan event FTW.
Jadi, selain banyak love untuk cerita Rompang ini, penilaian juga dilakukan berdasarkan komentar. So, saya ingin minta tolong berikan komentar terbaik kalian ya. Jika nanti saya bisa lolos dalam event itu, saya tentu akan sangat senang dan memberikan apresiasi ke kalian.
Terima kasih.
Happy reading!!
Anjani tak henti-hentinya menggeleng melihat Nabila yang kalap membeli berbagai jajanan. Baru saja Nabila memesan minuman olahan teh, itu pun belum habis, Nabila sudah memesan es krim. Anjani juga membantu membawakan jamur krispi dan ayam pok pok milik Nabila.
“Lambung kamu aman kalau makan kayak ginian, Bil?” tanya Anjani dengan tak percaya.
“Selama ini sih aman-aman saja, Jan,” jawab Nabila sambil terus menyuapkan es krimnya.
Anjani pun tidak berkomentar lagi. Ia memilih menghisap chocho milk-nya.
“Habis ini ke mana?”
“Ehm, lihat-lihat tas dan sepatu ya, Jan,” ajak Nabila dengan mata yang berbinar cerah.
Anjani kembali menggeleng. “Nggak takut khilaf?” sindirnya.
Nabila cengengesan. “Hapal banget mbaknya satu ini.”
Anjani tak peduli dengan perkataan Nabila. Ia memilih menyuapkan potongan ayam ke mulutnya. Percuma saja ia mengingatkan atau menyindir Nabila, perempuan itu tak akan mendengarkan ucapannya.
***
Nabila berjalan keluar dari salah satu department store dengan cengengesan. Anjani berjalan di sampingnya dengan terus menyibir kelakuan Nabila.
“Sudah kali, Jan. Kalau kamu ngomel terus malah jadi haus,” kata Nabila berusaha meredakan omelan Anjani yang tidak berhenti sejak ia berjalan menjauhi kasir. “Aku nggak ada bilang mau traktir kamu minum soalnya?” Nabila memamerkan cengirannya.
Anjani pun memilih segera menghentikan pembicaraannya. Benar yang dikatakan Nabila. “Iya, ya. Ngapain aku nyerocos kayak kaset rusak, buang-buang energi,” balas Anjani.
Nabila tertawa bahagia. Ia segera merangkul bahu Anjani yang sejajar dengan bahunya. Anjani dengan cepat menepis lengan Nabila. “Jangan buat orang-orang salah paham sama kelakuan kamu,” tegur Anjani tegas.
Di tempat umum seperti mall, pengunjung sering memiliki banyak pemikiran antara yang satu dengan yang lain karena tingkah laku salah satu pengunjung. Anjani tidak ingin dirinya dianggap sebagai pasangan Nabila. Memikirkannya saja, sudah membuat Anjani bergidik ngeri.
Nabila terkekeh geli. “Parno banget kamu, Jan.”
Anjani mendengus. Ia memilih mempercepat jalannya menuju ke lift yang akan mengantarkannya ke tempat parkir motor. Ia dan Nabila ke mall dengan motor beriringan. Mereka bukan seorang guru dengan gaji dua digit, jika beli mobil yang ada mereka harus mengais-ngais untuk mencicilnya. Maka, motor adalah kendaraan yang paling tepat dan sesuai dengan pemasukan yang diperoleh.
Anjani sudah ingin segera tiba di rumah. Ia lelah mengitari mall. Juga tak enak hati pada Sukma jika harus pulang lebih sore lagi. Ada Putri yang harus mereka berikan perhatian secara bergantian.
“Lho? Pak Arsya?” seru Nabila kencang. Ia semacam fans fanatik seorang artis yang akan berbunga-bunga bahkan merasa melayang ketika bertemu idolanya.
Anjani menutup wajahnya dengan tas. Ia benar-benar malu kepada pengunjung lain karena kelakuan Nabila. Ia juga sedikit kesal karena keinginan pulang lebih cepatnya harus terhambat oleh pertemuan tidak sengaja mereka dengan Arsya.
Arsya yang merasa dipanggil pun berjalan mendekati Nabila dan Anjani. Seorang perempuan dengan kerudung persegi yang sisi segitiganya ia lilitkan di lehernya juga ikut menghampiri dua orang sahabat itu. Wajah perempuan yang bersama Arsya, putih bersih dengan make up tipis yang disapukan. Anjani memandang perempuan tersebut dengan penuh selidik, mencoba mengingat dan mencari tahu apakah ia kenal atau pernah bertemu.
“Bu Anjani dan Bu Nabila? Habis jalan-jalan, Bu?” tanya Arsya ramah. Ia juga menyunggingkan senyumnya pada dua rekan kerjanya itu.
“Iya, Pak. Tadi niat hati ingin beli jajanan saja, tetapi saya khilaf saat melihat tas ini,” celetuk Nabila dengan menggoyang-goyangkan tas kertas dengan logo salah satu merk tas branded.
Arsya mengangguk. Ia melirik ke tangan Anjani yang kosong—tidak ada tas apa pun yang berada dalam genggaman perempuan itu.
“Kalau Bu Anjani mah jarang belanja, Pak. Saya memang suka nggak bisa ngerem,” sahut Nabila saat menangkap mata Arsya yang memandang tangan sahabatnya kosong. Nabila jadi malu.
Anjani semakin sebal dengan kelakuan Nabila. Sahabatnya itu memang terkadang suka banyak bicara.
“Mbaknya ini siapa, Pak? Pacarnya, ya?” Muka Nabila seketika ditekuk dan mendung. Ia belum siap jika melihat Arsya bersama kekasihnya.
Perempuan yang dari tadi menjadi pengamat obrolan mereka pun menyemburkan tawanya. “Bukan. Saya kakaknya Arsya. Jadi jangan sedih gitu mukanya,” jawab Ayuni memandang Nabila ditambah dengan kedipan. Sedangkan pada Anjani ia menahan tawanya agar tidak menyembur. Ia juga mengerlingkan matanya pada Anjani. Ayuni mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri pada rekan kerja adiknya.
Wajah Nabila kembali segar. Ia tidak jadi patah hati.
“Kalau begitu saya permisi dulu, ya. Soalnya buru-buru,” pamit Arsya.
“Iya, Pak.” Tentu saja Nabila yang menjawab. Anjani memilih diam saja dan mengabaikan keberadaan kakak beradik itu.
Dan Anjani dibuat terkejut saat tiba-tiba tangannya diremas dengan hangat oleh sebuah tangan kekar. Dengan cepat ia memelotot. Arsya pun terkekeh mendapati respons Anjani.
“Wah. Aku nggak nyangka bisa ketemu sama Pak Arsya di sini,” ucap Nabila riang.
Anjani tidak merespons. Ia sibuk menenangkan debar jantungnya yang menggila atas sikap Arsya yang impulsif itu. Ingin rasanya ia menguburkan diri dalam bangunan mall. Ia juga takut jika Nabila menangkap kejadian singkat tadi.
“Jani!!” teriak Nabila.
“Apa sih? Jangan teriak-teriak. Dilihatin orang itu,” kata Anjani kesal.
“Ya kamu diajak ngobrol malah melamun,” balas Nabila tak kalah kesal.
‘Ini semua gara-gara Arsya,’ jawab batinnya.
“Emang tadi kamu ngomong apa?” tanya Anjani akhirnya sebagai permintaan maafnya karena mengabaikan Nabila.
“Males kalau harus ngomong lagi.”
Anjani menjadi tak enak hati. Ia pun memeluk erat bahu sahabatnya. Membuat Nabila berteriak kesal. Apalagi lift di depan mereka terbuka. Membuat Nabila semakin kesal.
“Katanya tadi gak mau dipeluk-peluk. Belum sampai 24 jam situ sudah peluk-peluk Ai ya,” sindir Nabila dengan geram. Suaranya ia kecilkan agar tidak menjadi perhatian orang di dalam lift. (Ai di sini adalah cara membaca I—saya dalam Bahasa Inggris)
Anjani pun cekekikan geli. Ia abai terhadap beberapa orang yang menoleh tak suka padanya karena membuat kegaduhan di dalam lift.
Anjani dan Nabila kemudian berpisah setelah keluar dari pelataran parkir mall karena rumah mereka yang berbeda jalur.
***
“Assalamu’alaikum.” Anjani mengucap salam saat melintasi ruang tamu. Rumah tampak sunyi. Tidak ada suara ibunya juga Putri.
Anjani melihat pergelangan tangannya. Pewaktu yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 15.27.
Anjani melangkah semakin masuk ke dalam rumah. Sebelum ke kamarnya, ia mengecek ke kamar Putri. Terlihat Putri yang berbaring di samping Sukma. Sukma dan Putri tampak terlelap nyenyak dalam tidurnya.
Anjani mengulas senyum melihat gaya tidur Putri bak macam orang dewasa. Tangannya ia julurkan ke atas kepala. Sungguh lucu sekali.
Anjani memilih meninggalkan kamar Putri. Ia sudah ingin segera mandi agar tubuhnya segar. Debu jalanan membuat kulitnya panas dan kering.
Namun, niat mandi sore yang sedikit lebih awal dari biasanya harus ia tunda saat handphone-nya berdering. Ia sudah hendak melepas kerudungnya, tetapi hal itu ia urungkan. Anjani melihat handphone-nya yang tergeletak di atas kasur. Ia geleng-geleng tak habis pikir saat melihat nama Sang Penelepon.
“Kenapa?” decak Anjani ketus.
“Salam dulu atuh, Mbak. Jutek banget,” balas orang di seberang.
“Assalamu’alaikum. Ada apa?” Malas sekali Anjani sebenarnya menuruti Sang Penelepon yang banyak maunya. “Belum juga satu jam kita nggak saling lihat dan bercakap, masak sudah neror.”
Sang Penelepon terkekeh. “Kamu itu harusnya bersyukur punya aku. Aku sudah perhatian, enak dipandang, dan tidak banyak maunya.”
Di kamarnya Anjani tersenyum geli meskipun sedikit sebal. “Percaya diri sekali Anda,” cibirnya.
Tawa Sang Penelepon pecah. “Kalau aku nggak percaya diri, mana bisa kita seperti ini?”
Anjani masuk jebakan batman. Gombalan ala-ala Sang Penelepon yang sudah sering dikatakan kepada Anjani. Berakhir dengan Anjani yang tersipu malu karena gombalan itu.
Harusnya ia tidak perlu menanggapi kepercayaan diri Sang Penelepon. Ia tidak belajar dari yang lalu-lalu sehingga ia tertipu lagi.
“Kalah omong ya?”
Anjani diam. Malas menanggapi. Selain karena tidak ingin semakin diolok-olok, ia juga tidak ingin masuk jebakan lagi.
Sang Penelepon tertawa ketika Anjani diam. “Sudah, ah. Jangan ngambek. Ini sudah di rumah kan?” tanyanya penuh perhatian. Selalu seperti ini.
“Iya. Nggak bosen ya tanya gini terus? Kan pasti aku sudah di rumah kalau angkat telepon.” Anjani memilih duduk di tepi kasur kemudian segera merebahkan tubuh di atasnya.
“Aku akan selalu memastikan kalau kamu sudah sampai rumah dengan selamat. Jadi jangan pernah bosan.”
“Lama-lama Anjani bosan sama pertanyaanmu yang gak pernah kreatif itu, Sya,” celetuk sebuah suara seorang perempuan. “Kalian memang gitu ya kalau ketemuan? Nasib backstreet.” Ada sedikit sindirin di dalamnya. Namun Anjani dan Arsya sudah biasa.
Ah, Anjani sudah hapal. Itu suara Ayuni. Selama ini mereka hanya saling berkomunikasi melalui telepon. Baru tadi di mall mereka bertatap muka secara langsung. Jika Anjani menggali ingatannya lebih dalam, sebelum pertemuan mereka tadi, mereka pernah bertemu sebelumnya. Jauh sebelum ia dan Arsya memiliki hubungan.
Anjani terkekeh geli. Ia sudah sangat sering mendengarkan perdebatan kakak beradik itu.
“Ngapain sih kamu, Mbak? Ganggu orang mesra-mesraan,” kata Arsya sambil mengusir Ayuni.
“Jangan m***m kamu, Sya.”
“Pikiran Mbak itu yang suka mesum.”
Anjani seperti biasanya akan menjadi pendengar setia perdebatan tidak penting antara Ayuni dengan Arsya. Anjani terkadang akan menimpali perdebatan kakak beradik itu dengan tawanya. “Aku mau mandi dulu ya, Sya. Sudah gerah banget dari tadi.”
Arsya menghela napas kecewa. Ia masih ingin melanjutkan perbincangan dengan Anjani. Namun gara-gara kelakuan Ayuni, Anjani memilih memutuskan sambungan. Sebelum Anjani menekan tombol silang merah, ia masih mendengar teriakan Arsya yang menyalahkan Ayuni.
Anjani tidak marah. Ia menyunggingkan senyum lebarnya ketika mendengar Arsya merengek. Laki-laki itu selalu tampak seperti pemuda jatuh cinta yang akan selalu berlebihan dalam menyikapi perjalanan asmara mereka.
***
“Kamu dari mana saja? Kok nggak mengabari ibu atau setidaknya bilang kalau nggak langsung pulang,” tanya Sukma saat ia melihat Anjani bergabung ke dapur.
“Iya, Bu. Maafkan Anjani karena sering lupa mengabari Ibu jika tidak langsung pulang.”
“Ngak papa. Asal jaga diri dan kesehatan,” kata Sukma.
“Iya, Ibu. InsyaAlllah. Putri nggak rewel?”
“Alhamdulillah aman-aman saja hari ini.”
Anjani bernapas lega. Ia mulai ikut membantu Sukma menghaluskan bumbu untuk membuat ayam dibumbu bali. Ia memilih menggunakan ulekan dan cobek. Sukma dan dirinya lebih suka menggunakan dua alat tradisional itu daripada blender karena rasanya lebih khas dan harum.
Saat ditengah-tengah menghaluskan bumbu, masih setengah halus. Anjani dan Sukma dibuat berlari terbirit ke kamar Putri karena Putri menangis kencang.
Sukma segera menggendong cucunya. Anjani kembali ke dapur untuk membuatkan s**u hangat.
Suara tangisan Putri masih belum mereda saat Anjani sibuk mengaduk s**u dalam gelas kaca. Ia mempercepat kegiatannya dan kembali ke kamar Putri dengan sedikit berlari.
Saat dot botol s**u itu telah dihisap oleh Putri, seketika tangisan Putri terhenti. Anjani dan Sukma menghela napas lega.
“Jadi kamu haus ya, Nak? Makanya nangis,” ucap Anjani sambil mengelus rambut Putri dengan lembut.
Putri berhenti menghisap dot botol susunya, tetapi tidak sampai melepaskan botol itu. Ia memandang Anjani karena mendengar suara Anjani. Anjani pun gemas dan tertawa geli. Ia kembali mengusap-usap rambut halus Putri.
“Kamu lanjutkan dulu ya masaknya. Putri biar sama Ibu,” perintah Sukma.
Anjani mengangguk patuh. Sebelum ia meninggalkan kamar Putri, ia mengusap dan mencium pipi tembam Putri. Membuat bayi kecil itu menggeser-geser kepalanya karena merasa terusik oleh tindakan Anjani.
“Buruan ke dapur, Jani. Jangan ganggu Putri,” tegas Sukma.
Anjani tertawa geli. Kemudian ia berlari kecil menuju dapur.
Sejujurnya, ia tidak pernah membenci Putri. Ia sangat menyayangi balita itu. Ia benci ke kakaknya karena meninggalkan bayi lucu itu entah untuk apa.
***
“Kakak sekarang kok susah sih kalau diajak ketemuan?” rajuk Anjani.
Anjeli memasang wajah sendu. “Maaf ya, Dek. Perkuliahan kakak bener-bener sedang sibuk. Banyak tugas dan praktikum yang harus kakak kerjakan,” jelas Anjeli. “Ditambah laporan yang juga menumpuk,” lanjutnya.
Anjani memasang wajah sedih. Anjeli pun segera berdiri dan duduk di samping adiknya. Ia memegang pundak adiknya dengan kuat. “Dek, kakak pasti akan mengusahakan waktu agar kita bisa bertemu setiap akhir pekan,” bujuk Anjeli.
“Nggak bohong, kan? Weekend kemarin kakak bohong ke Anjani.” Anjani menatap wajah kakaknya penuh. Ia mencari kejujuran dan kebenaran janji kakaknya.
Anjeli menunduk kemudian meminta maaf dan terus meyakinkan Anjani bahwa ia akan selalu menyempatkan waktu untuk adiknya agar mereka dapat sering bertemu.