TIGA

1232 Kata
Ruang makan seketika terasa canggung ketika Maira, Dito, Agung dan Tedja. Hari ini Tedja, teman Agung yang meminjamkan uangnya untuk menutupi segala kekurangan di perusahaan Agung, datang ke kediaman Agung karena permintaan Maira.Setelah melalui desakan yang cukup alot dari putrinya, Agung akhirnya bersedia untuk memanggil tedja uintuk makan malam di rumahnya.Maira sudah penasaran setengah mati siapa teman ayahnya itu. "Silahkan duduk Om, gak perlu canggung. Anggap aja rumah sendiri" tawar Maira saat Tedja memasuki ruang makan keluarga Agung.  Agung dan Dito berpikir keras apa yang akan di lakukan oleh Maira selanjutnya. Mewanti-wanti jika saja satu-satunya wanita di keluarga ini akan bertindak yang aneh-aneh. "Mau ngapain sih lo?! Ampun gue sama Papa daritadi deg-degan gak jelas tau gak" bisik Dito sedikit menunduk karena kakaknya itu lebih pendek beberapa sentimeter darinya. "Berisik! Gue gak bakal macem-macem. Udah diem aja" sahut Maira.  Maira mempersilahkan Tedja untuk mengambil lauk makan siang terlebih dahulu. Meskipun memendam kekesalan karena tawaran Tedja menurut Maira tidak masuk di akal, namun Maira harus bersikap tenang dan tidak boleh membuat nama keluarganya malu. Bagaimana pun juga, Tedja, masih berbaik hati mau membantu kondisi perusahaannya.  "Perusahaan Om bergerak di bidang apa?" tanya Maira. "Sama seperti kalian, food and beverages tapi perusahaan Om sudah sampai ke luar negeri" jawab Tedja dengan nada bangga namun juga meremehkan. Maira menangkap kesan meremehkan tersebut. Dito melirik ke arah kakaknya, berharap Maira tidak melempar garpu ke arah tedja. Karena ia pun menangkap kesan meremehkan tersebut juga.    Setelah selesai makan, ke empatnya duduk di sofa ruang tamu. Maira sudah tidak sabar untuk menanyakan perihal hutang-hutang ayahnya pada Tedja. Oke tunggu sebentar lagi, daripada semua makanan di dalem perut loncat semua batin Maira sambil menatap Agung dan Tedja bergantian.  Melihat keadaan yang kondusif, Maira akhirnya memecahkan keheningan. "Saya dengar Papa saya pinjam uang dengan Om?" tanya Maira langsung to the point. Hal ini membuat Agung dan Dito seketika kikuk. Maira benar-benar melemparkan bom yang sedari tadi Agung dan Dito harap tidak akan meletus. "Iya, katanya perusahaan kalian lagi krisis ekonomi besar-besaran. Kenapa memangnya?" tanya Tedja santai namun balik menatap Maira dengan tajam. Tatapan itu tak membuat Maira gentar.Ia balas menatap tajam Tedja dengan tatapan serius namun santai. "Iya, lagi ada masalah di perusahaan kami. Kemarin habis evaluasi besar-besaran. Tapi sekarang kita sudah tahu masalahnya apa, dan sudah ada langkah yang di ambil untuk mengatasi itu semua" ujar Maira tenang tanpa mengalihkan pandangannya dari Tedja. Pria paruh baya itu hanya mengangguk mendengar penjelas Maira. "Segede apa hutang Papa saya sampe Om nawarin perusahaan kita untuk join supaya semua di anggap lunas?" tanya Maira lagi, tepat pada sasaran.  Ia tidak bisa menerima tawaran itu. Perusahaan ini di bangun dengan susah payah, keringat dan banyak waktu yang di korbankan. Lalu seenaknya Tedja mengusulkan hal ini?  "1,5 triliun. Papa kamu pinjamnya sebenarnya sudah lama" ujar Tedja melirik Agung yang duduk di sebelahnya."Jadi bagaimana? Papamu belum bisa melunasi karena hutangnya yang sudah terlalu besar. Perusahan kalian juga lagi susah, jadi gimana?" tanya Tedja yang malah menggunakan pertanyaan Maira sebagai tawaran. Maira skakmat dibuatnya. "Perusahaan Papa di bangun pake kerja keras Om, sebesar apapun hutang Papa, gak bisa dong Om anggap semua hutangnya lunas. Saya berani taruhan, harga perusahaan saya jauh lebih besar dari hutang Papa" ujar Maira tajam.  "Terus kalian mau bayar pake apa? Jual rumah? Mobil? Perhiasaan dan aset-aset lainnya? Percaya sama Om pasti lama lakunya" ujar Tedja. "Meskipun join kamu kan masih tetap bekerja di perusahaan cuman kepemilikan aja yang berpindah tangan" ujar Tedja enteng.  Maira benar-benar geram di buat Tedja. Ucapannya barusan benar-benar merendahkan Maira dan keluarganya. Tedja melirik Dito yang sedari tadi diam. Seketika ia teringat akan putranya. "Adikmu dari tadi diem aja" Tedja menyindir sikap pasif Dito. "Gausah nyindir-nyindir adik saya" ujar Maira kejam. "Mendingan perusahaan kalian join  kan? Ketimbang kamu menikah dengan anak baru Om anggap lunas?" ujar Tedja. "Itu lebih baik" timpal Maira cepat.Tedja kaget melihat reaksi Maira, begitu juga Agung dan Dito."Iya itu lebih baik. Saya gak sudi perusahaan ini join ke perusahaan Om" ujar Maira merendahkan. "Kamu serius?" tanya Tedja. "Iya saya serius, Om kali yang gak serius" balas Maira. "Kalo kamu serius, kalian bisa datang ke rumah" ujar Tedja. "Kok kita? Kalo begini artinya ya Om dan keluarga yang datang ke sini, bukannya saya.Mana ada lamaran pihak perempuan yang datangin pihak laki-laki" keluh Maira ketus.  Maira benar-benar tidak bisa menjaga sopan santunnya lagi saat ini. Mungkin ia sudah lupa dengan sopan santun pada situasi ini. "Oke, kapan kalian siap? Om dan keluarga akan datang" ujar Tedja serius. "Secepatnya aja, kalo Om ngebet semua hutang-hutang Papa lunas" ujar Maira.  Tedja mengangguk.Ia bergegas berdiri. "Ok, akhir pekan nanti, Om datang. Siapkan dirimu" ujar Tedja.                                                                                              ***   "Lo tuh waras apa enggak sih? Lo sendiri yang bilang gamau nikah asal-asalan ini malah main terima tawaran asal begitu" ujar Dito kesal. "Ini lebih baik ketimbang kita join kan? Lo gak denger apa tadi gue bilang? Gak sudi gue perusahaan kita sampe join sama mereka" ujar Maira kesal. "Maira tunggu dulu, marriage isn't a piece of cake. Kamu gabis agini dong Nak" ujar Papa. "Gak bisa begini terus bisanya gimana Pa? Tunggu perusahan kita jatuh ke tangan dia? Berapa kali harus aku bilang kau gak sudi?!" ujar Maira kesal. Dito dan Agung hanya bisa menghela napas. "Pokoknya weekend ini kita ketemua sama keluarganya Om Tedja" ujar Maira tegas.“Coba kamu mikir pake otakjernih deh. Marrriage isn’t a piece of cake” ujar Agung.   Seketika, ia teringat rumah tangganya dengan mendiang Agni, di awal pernikahan. Harus Agung akui semuanya sulit sekali. Tidak semudah itu ia mendapatkan hati dan perhatian dari Agni. Butuh kesabaran luar biasa bagi Agni untuk menrima itu semua, sampai akhirnya ia bisa menerima Agung dengan lapang d**a.   “Aku udah mikir matang-matang Pa” ujar Maira tenang. “Ini keputusan yang aku ambil. Harus berapa kali aku bilang sih? Aku gak akan setuju kalau perusahaan kita join sama perusahaan Om Sutedja” ujar Maira untuk ke sekian kalinya. “Coba Papa mikir, apa bisa Papa ngasih seluruh jerih payah Papa ke Om Sutedja?Bisa?Ikhlas? Gak bisa kan?” tanya Maira dengan alis terangkat. “Tapi ini menikah loh, Maira Goenardi. Menikah” ujar Agung mencoba membuat putrinya mengerti. “Kamu sendiri taukan susahnya Papa dulu buat meyakinkan Mama?” tanya Agung pada putrinya. “Papa gak mau kamu harus menelan pil pahit pernikahan” ujar Agung. “Kalo gak ada pahitnya ya bukan pernikahan kan pa?” ujar Maira. “Ya tapi kalo misalkan kamu setiap hari ribut sama suami kamu karena pernikahan. Kan gak baik juga” ujar Agung.   Dito menghela napas. Menyadari bagaimana keras kepalanya kakaknya ini.   “Lo mikir lagi deh. Sana sholat Tahajjud, biar dapet insight biar pikiran lo cerah deh” ujar Dito. “Lo nikah sama orang yang sama seklai lo gak pernah kenal” ujar Dito. “Semua orang juga nikah awalnya gak kenal satu sama lain kan?” balas Maira pada adiknya. “Bener apa kata Dito, kamu mendingan mikir lagi. Don’t’ make decision when you’re mad” ujar Agung. “I’m not mad” ujar Maira. “You’re mad. Lo marah karena lo gak mau perusahaan kita join sama perusahaan Om Sutedja. Apa itu bukan Marah?” tanya Dito.   Maira menghela napas dan bangkit dari duduknya. “Pokoknya, keputusanku sudah bulat. Aku bakal nikah sama anaknya Om Sutedja. Titik. Siap-siap punya menantu dan kakak ipar” ujar Maira tegas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN