two - dari balik sekat

1105 Kata
"Aku yang mengantarnya?" "Kau ingin menunggu dan mengipasi sampai airnya matang?" Mia mendengus, memberikan nampan kayu itu pada Liana yang meringis. Gadis itu mencoba menolak dan meminta Mia yang mengantarkan sarapannya sendiri ke tempat Arata beristirahat. Dan cukup jelas tidak mau mengiyakan dengan alasan sibuk mengurus dapur. "Kau tidak cemburu?" "Usiamu baru sepuluh tahun dan kau sudah bicara sepintar ini?" sebelah tangan Mia menegur pipi gadis kecil itu dan Liana berjalan lebih cepat untuk membawa nampan yang berisi makanan pada si pengembara yang masih tertidur pulas. Saung itu biasanya digunakan untuk beberapa keperluan seperti saat tempat lain penuh dan Mia kehabisan ruang untuk mengurus pasiennya. Kala wabah mendera Asakusa tiga tahun lalu dan Liana hampir kehilangan harapan di jalan, Mia yang menolongnya. Dia bukan seorang dokter, tetapi kemampuannya melebihi dokter itu sendiri dan penduduk telah membuktikannya. Pandangan lugu Liana mampir pada sosok yang terbaring di futon. Pipinya mendadak terasa panas. Melihat ada sosok asing yang berkata bahwa dirinya seorang pengembara, terdampar dan berakhir di rumah Mia. Mau bagaimana pun juga, Arata banyak membantu mereka saat insiden terjadi dan penduduk yang mendapati luka bisa segera terselamatkan. "Aku mengantar sarapan," cicit Liana pelan saat melihat sepasang kelopak mata itu terbuka dan iris matanya yang gelap mendingin, memandang Liana dengan tatapannya. "Ini dari Mia. Dia membuat makanan untuk kami semua." Arata menghela napas panjang, melirik nampan yang penuh berisi bubur dan gelas lalu terbangun, lekas meluruskan punggung. "Dia membuatnya untuk setiap orang?" "Tanpa terkecuali," bisik Liana pelan. "Mia bangun pagi sekali dan memeriksa para pasien. Dia sangat perhatian melebihi kekasih atau orang terdekat mereka. Penduduk lebih senang datang dan berobat kemari dari pada ke dokter desa." Liana menunjuk mangkuk dan Arata bergantian. "Dia juga mengurusmu. Kami sangat terbantu berkat dirimu. Mungkin karena kau menemukan gelang kesayangannya?" Dari saung ini, Liana bisa mendengar Mia memanggil namanya. Gadis kecil itu bergegas bangun dan meminta Arata menghabiskan semuanya atau mendapat ocehan dari si pemilik rumah. Liana menyelipkan kekehan kecil dan berlari menghampiri Mia, melihat apa sang tabib membutuhkan bantuannya. Arata bangun untuk membereskan selimut dan futon. Si pemilik dengan baik mau memberikan tempat dan bantal baru untuknya. Saat Arata menatap sekitar yang belum terlalu terik, mengamati pohon yang merambat dari sela kayu yang digunakan sebagai herbal dan mendengar secara samar perdebatan kecil antara Mia dan Liana. "Kau tidak bisa bicara aneh pada orang asing," tukas Mia saat Liana berjongkok menghadapnya. "Asakusa terlalu sempit dan kurang teliti. Kau seharusnya tahu itu dengan benar." Liana menatap balas Mia dengan kernyitan. "Dia tidak terlihat seperti orang yang patut kita curigai." Mia berhenti mengipasi kayu dan berkacak pinggang. Wajahnya separuh lelah karena tidak berhenti barang untuk beristirahat sebentar mengurus pasien. "Kau harus siaga kapan pun. Intinya, jangan terlalu santai terhadap orang lain atau dia yang tidak kau kenal. Jangan terlalu akrab." "Dia sudah mendengarmu." Keduanya menoleh secara bersamaan dan senyum Liana lekas melebar. Mata cokelatnya berbinar senang melihat Arata membuka jendela dan bersandar untuk menatap mereka lebih jelas. "Gadis itu sudah bosan mendengarmu mengomel sejak tadi." "Aku tidak merasa seperti itu," melihat Liana melarikan diri dan masuk ke kamarnya, Mia mengira gadis kecil itu akan pergi untuk berlatih ilmu baru. Dan benar saja, Liana mengambil benda kesayangan dan sarung sebelum berpamitan. "Kau mau pergi sekarang?" "Aku sudah terlambat." Mia terlihat salah tingkah. Gadis itu berdeham, kembali duduk untuk menyalakan kayu dari pada menatap Arata yang masih setia pada tempatnya. "Ke mana dia pergi?" "Tempat latihan," balas Mia sekenanya. "Ada seorang guru pensiunan yang mau melatih generasi baru untuk menjadi ahli bela diri." Arata memilih untuk mundur dan pergi setelah menghabiskan sarapannya. *** Di antara lima belas murid lainnya yang sepantaran, Liana perempuan mandiri dan antusias juga terlihat paling muda. Gadis itu berada paling depan, barisan nomor satu dan tampak bersemangat. Mereka menyebut tempat ini sebagai dojo, bangunan sebagai area berlatih atau kompetisi untuk semua cabang dasar ilmu. Arata bisa melihat keseriusan dan mata yang memancarkan tekad dari seorang Liana. Gadis itu mengayunkan benda yang terbuat dari kayu, menepis halangan dan mengeluarkan teknik dasar yang telah dipelajari dengan sangat baik. Judo, salah satu ilmu utama yang berguna untuk menghadang dan membuat mereka gemetar. "Waktunya untuk beristirahat." Sang guru membubarkan barisan dan membiarkan mereka sekadar melepas lelah dengan minum atau duduk bersantai. Liana menoleh, terkejut melihat Arata mengintip dari pintu memandang mereka yang sedang berlatih. "Kau mengenalnya, Liana?" "Dia sosok pengembara yang membantuku dan Mia mengurus penduduk kemarin," kata Liana menjelaskan dan sang guru bangkit untuk menyapa. "Aku pikir dia orang baik hanya saja terlalu kaku dan misterius." Liana mengikuti guru yang muncul, memberi salam pada Arata dengan sopan sebelum mengenalkan diri padanya. "Namaku Saito. Pengurus sekaligus guru mereka. Liana bercerita padaku tentang dirimu yang datang ke Asakusa. Jarang sekali mereka mau menetap lebih lama karena tempat ini terpencil dan sangat terbatas." Arata balas membungkuk dengan singkat. "Aku mampir untuk berkeliling. Kau bisa memanggilku dengan Arata." "Arata sang pengembara," ulang Saito serius. "Apa dia tahu kalau dojo ini milik Mia?" Kepala kecil Liana menggeleng. "Kurasa tidak. Mia membangun sekat untuk memisahkan bangunan ini dengan rumahnya sendiri. Dia sepertinya tidak terlalu peduli kalau kami berisik." Saito kembali menatap Arata lebih lekat, mempersilakan pria itu untuk duduk dan Liana segera mencari air karena dia mulai kehausan sekarang. "Kejadian hebat yang tidak terduga baru saja terjadi. Kebanyakan menyasar hanya ada pada keluarga kepala desa dan putrinya. Mempelai pria sudah lebih baik. Dokter desa menanganinya dengan sangat serius." "Rumah sebelah juga membuka tempat untuk menampung pasien lain," ucap Arata datar. "Dia seorang tabib." "Mia, benar?" Arata mengangguk canggung. "Dia ramah dengan semua orang. Hangat dan sering menyapa mereka tanpa kecuali. Namun tidak begitu akrab dengan kepala desa. Putrinya berselisih paham dengan Mia. Aku rasa karena dia iri saja," ujar Saito dengan kekehan. "Semua orang tahu kalau putri pemimpin desa ini memang sedikit menjengkelkan dan dia gemar mencari kegaduhan. Mia sepertinya tidak ambil pusing karena hal tersebut." "Karena apa?" Bola mata Saito yang cokelat memudar. "Mia bisa melakukan apa saja. Dia tidak serupa dengan perempuan sepantaran lainnya. Aku pernah membantunya belajar ilmu dasar. Yah, walau tidak sehebat itu. Tapi hanya untuk sekadar melindungi diri, Mia bisa melakukannya." "Lalu Liana hadir. Dia menitipkan gadis kecil itu padaku. Liana punya tekad yang besar seperti Mia remaja. Mungkin Liana juga yang akan meneruskan mimpinya menjadi seorang pendekar masa depan," kata Saito ramah. Kekehan Saito berubah saat mendengar pintu pembatas terbuka dan Liana berdiri bangun, melambai heboh dari barisan kelompoknya. "Aku membawakan sesuatu untuk kalian," gadis itu segera berdeham setelah tahu dengan siapa Saito berbicara. "Juga paman." "Arata tidur di rumahmu?" tanya Saito halus dan Mia hanya mengangguk, menaruh bungkusan itu dan pamit undur diri secepatnya. Tidak melihat bagaimana tatapan Arata yang mengikuti langkahnya sekali pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN