four - dia yang hadir

2162 Kata
Saito menaruh gelas berisi airnya dan menatap Arata yang baru tiba. Ini tengah malam dan si pengembara itu telah kembali seperti yang Mia ceritakan sebelumnya. Arata belum memutuskan pergi dari Asakusa. Ketika mata mereka bertemu, Saito memberi isyarat agar Arata mampir untuk duduk bersamanya. Mereka tidak akan minum sake malam ini. Saito membutuhkan dirinya tetap terjaga sampai pagi. Liana bisa mengendus apa pun yang salah dari sang guru dan Saito hanya berupaya menghindarinya. "Jadi, kau belum memilih untuk pulang ke asalmu." Arata melepas lelahnya dengan duduk, melirik Saito yang santai dan sesekali menatap sumur yang sunyi. "Aku mengembara tanpa tujuan dan belum memilih tempat yang kudatangi setelah Asakusa." "Mungkin kota ini bisa menjadi tujuan terakhirmu?" Saito menebak dengan senyum tipis. "Tempat ini diartikan sebagai yang tersisihkan. Tidak semua orang melihat Asakusa sebagai kota yang ramah. Lain seperti wilayah lainnya. Akses terlampau sulit dan penduduk yang sedikit." Saito menilai semua gerakan tangan Arata dalam bungkam. Mengamati serta menilai bagaimana refleks pria itu terbentuk secara sempurna dalam segala situasi. "Aku menduga kau tidak pernah tidur sebelum ini. Kau selalu bersiap terhadap apa pun." Gerakan tangan itu terhenti dan Arata bereaksi berupa tarikan napas pendek. "Aku ingin tidur sekarang." "Kau membutuhkannya. Para pejuang yang pernah maju di garis depan perlu istirahat panjang." Bibir Saito menipis, melirik Arata yang diam sebelum mengarahkan tatapannya kepada pepohonan herbal yang Mia tanam untuk kepentingan pengobatan. "Kau membawa katana. Salah satu jenis yang unik." "Aku ingin memberikan Liana hadiah yang sama saat dia berhasil menguasai ilmunya," sambung Saito dengan kepala tertunduk. "Mereka menyebutnya sebagai sang terbalik. Bagian depannya tidak tipis, melainkan bagian belakang." Arata menghela napas, menyugar rambutnya yang sedikit basah dengan dengusan kecil. "Mantan pejuang hebat yang pernah memegang tujuh ilmu legendaris. Saito Yada, itu namamu sebelum kau mengabdikan diri pada salah satu keluarga bangsawan ternama." Ekspresi Saito melunak secara perlahan. Wajah letih itu menunjukkan perubahan yang lain saat Arata melihatnya serius. "Aku yakin Mia tidak bercerita padamu. Tapi karena kau bebas, informasi itu menyebar cepat. Kau mungkin tidak hanya mengenalku tetapi mengenal enam pemegang ilmu legendaris juga. Apa itu benar?" "Aku pernah bertemu mereka semua," kata Arata santai. "Dan terakhir denganmu. Dugaan mereka benar jika kau menetap di Asakusa walau desa ini bukan kampung halamanmu." "Aku lahir di Osaka," Saito menatap pintu yang tertutup mengarah ke kamar pribadi Mia. "Usiaku lima tahun saat belajar ilmu tersebut dari mendiang pamanku. Dia banyak berkontribusi besar dalam kehidupanku di masa lalu. Paman miskin itu tidak mewarisi harta, melainkan hanya ilmu." Saito mendengus lemah, mendesis dengan ramah saat matanya yang hangat menatap Arata dalam. "Aku tahu alasan mereka takut padamu. Mengira dirimu adalah bagian dari petinggi kelas atas dan berniat mencari mereka semua seperti yang pasukan itu lakukan. Kau tahu banyak tentang segalanya karena wawasanmu luas." "Aku bukan pesuruh siapa pun," balas Arata dingin menatap sarung yang berkilat bersama cemoohan pelan. "Bukan milik atau bekerja untuk orang lain. Aku orang biasa, pengembara yang melakukan apa saja sesukanya." "Apa kau mengayunkannya selama mengembara?" Arata tidak lekas menjawab, ia membiarkan senyap membentang lebar di antara mereka berdua. Lalu Saito seperti tidak terlalu membutuhkan jawaban walau sudah bisa menduga. "Kau harus menjaganya agar tetap berguna," kata Saito lirih menatap katana milik Arata penuh arti. "Kurasa kau tahu kalimat itu dengan sangat jelas." Arata menengadah dan menemukan Saito menepuk bahunya, memberikan ruang untuk sendiri dan membantu membukakan pintu saung. Tempat untuknya beristirahat yang telah Mia siapkan sebelum dia pergi, membiarkan Arata masuk untuk lekas berbaring. *** Liana nyaris terbatuk saat melihat Arata hadir untuk makan bersama. Tampilan segar pria itu sehabis mandi membuat gadis itu melamun, mendadak saja pipinya terasa panas. "Kau lihat apa?" tegur Mia datar, matanya mendelik geli. "Mulutmu terbuka seperti ikan mas. Habiskan sarapannya sekarang juga. Guru Saito akan mengomel kalau kau terlambat." Gadis itu cemberut dengan semburat malu. Bergeser untuk memberi Arata ruang saat melihatnya sebagai tamu dengan baik. Memberikan bantal sebagai tempat duduk serta tersenyum manis. "Kau sungguh kembali ke sini." Arata menatapnya datar dan melihat Mia yang masih sibuk makan. "Aku tiba larut malam tadi." "Jadi, kau pergi mengembara tanpa tujuan?" "Kau tidak mendengarku? Jangan banyak bicara." Liana menarik napas panjang, memandang Mia sinis dan meneruskan sarapannya. Sementara Arata membawa dirinya sendiri setelah menerima mangkuk berisi nasi. "Aku sudah selesai." Gadis kecil itu segera beranjak, mencuci peralatan makannya dan menguncir rambut serta benda yang terbuat dari kayu untuk berlatih. Melambai pada Mia dan berlari menuju dojo tempatnya belajar saat mendengar guru Saito sudah memberi awalan untuk para muridnya segera berbaris. "Kau menemukan sesuatu yang mencurigakan di Asakusa?" Arata menggeleng singkat. "Belum." "Kemungkinan ada," ulang Mia dengan kernyitan. "Yang mungkin bisa saja terjadi. Setelah insiden rakit tersebut, beberapa penduduk lebih gelisah dan siaga. Terutama mereka yang pernah menjadi mantan pejuang." Gerakan tangan Arata menyumpit lauk terhenti kala teringat sesuatu. Melihat Mia sudah selesai menghabiskan makan dan sedang sibuk. "Apa kau tahu bagaimana kabar para keluarga pejuang yang kesulitan setelah era itu berakhir?" Ekspresi Mia berubah saat menatap Arata yang menantinya bicara. "Rumah penginapan. Beberapa orang dari pusat kota utama datang untuk memeriksa dan berakhir di sana. Sebagian lagi menetap menjadi pesuruh di lokasi strategis. Tergantung siapa yang mau menerimanya." "Era yang baru tidak memberi perubahan apa pun," ucapnya datar dan Mia merasa bulu kuduknya meremang mendengar suara berat itu mengalun. "Mereka masih melihat kekacauan dengan cara lain." "Aku rasa ini tidak adil. Belum sepadan dengan kebebasan yang sebelumnya mereka ucapkan pada semua orang dengan semangat." Arata menautkan alis, memilih untuk diam dan tak menjawab. "Aliran keluargaku menganut ilmu putih. Keluarga kami tidak pernah diajarkan untuk melukai orang lain sengaja atau tidak. Ilmu yang bertujuan untuk melindungi, bukan menggores kegaduhan baru." Mia melihat pria itu menaruh mangkuk bekas makannya dan menghela napas. "Aku menemukan banyak perbedaan aliran pada bangsawan yang tinggal di sebuah kota. Sebagian dari mereka masih menjunjung hormat dan aku menemukanmu yang memilih untuk tidak tertarik mengumbar identitas asli." "Aku tidak perlu kesan bagus dari orang lain." Kemudian merapikan meja makan dengan cepat. Arata ikut bangun, mencoba membantu dan tangan gadis itu menepisnya meminta agar dirinya mencuci tangan dan tidak perlu melakukan apa pun. "Kau mau pergi lagi?" "Aku harus melihat sesuatu," balasnya setelah memakai sandal kayu. "Rumah kepala desa. Aku akan pergi ke sana. Sampaikan pada Liana jika dia kembali dan aku belum pulang." Arata melihat gadis itu tampak penasaran dan mengangkat ujung pakaiannya untuk berjalan lebih cepat. "Ada penjagaan dari aparat setempat. Mereka selalu bertanya ke beberapa orang yang datang." "Aku seorang tabib terkenal di desa ini. Apa mereka akan bersikap begitu?" tanya Mia datar dan beralih untuk menutup gerbang setelah Arata turun. *** "Bangun Liana." Salah seorang lelaki bersorak keras dari pada rekan lainnya. Sosok bertubuh kurus dan pendek itu terlihat bersemangat. Ekspresinya menunjukkan sikap gemas terlampau jelas karena melihat unjuk kebolehan kecil antara Liana dan temannya. Saito berdiri dengan serius, menilai semua gerakan muridnya dengan intens. Mungkin sebagai bentuk apresiasi dan melihat sejauh mana ilmunya telah terserap kepada penerus muda. Sementara Arata hanya duduk, menyandar pada tiang untuk melihat Liana yang antusias berusaha membuat temannya gagal setelah berulang kali melindungi dirinya sendiri dari kejutan. "Hebat, Liana. Kau luar biasa sekali." Senyum Liana lekas melebar saat matanya menatap sang guru yang menonton. Sorot mata Saito berubah ketika melihat Liana berhasil menguasai teknik terakhir, bangun sedikit membungkuk bersama ujung kayu yang kokoh dan berakhir dengan sorakan panjang. "Siapa yang ingin mencobanya lagi?" "Aku." Anak itu bangun dengan berani setelah Saito memberikan usulan. Imbang, karena keduanya memegang sesuatu walau tidak akan terluka. Wajah Liana meringis. Gadis itu tampak lebih bersemangat dari sebelumnya. "Kau serius ingin mencobanya denganku, Yuda?" "Aku sudah siap," lelaki kecil itu memberi senyum binar berkobar penuh tekad. Memasang badan untuk menepis semua gerakan Liana dengan gesit, berpindah dari satu sisi ke tempat lain demi menghindari tangan Liana. Mencoba bertahan dengan teknik yang sama dan tidak terlalu keras hanya untuk membuat Liana menyerah. "Yuda, ayo kau pasti bisa." Semua temannya berbalik mendukung. Pandangan Saito semakin serius saat Arata melihat permainan keduanya sangat bagus dengan refleks yang cepat. Walau tidak segesit ekspetasinya. Namun baik Liana maupun rekannya terlihat imbang. "Aku tidak akan kalah semudah itu," kata Liana serius. Dan pada akhirnya Yuda berhasil setelah melewati serangkaian kejutan dari tangan dan kaki Liana, memberinya balasan dengan menghindar dan membuat Liana menyerah kurang dari lima detik. Semua orang tercengang, bertepuk tangan setelah Liana menggeleng dan Saito menunduk untuk sekadar memeriksa muridnya. "Apa sudah selesai?" Arata menoleh dan melihat Mia berlari dari rumahnya. Berdiri untuk menghampiri dan mendapati Liana berbaring dengan napas pendek. "Kau baru saja ditertawakan oleh Yuda." Liana mendesis, mendengus kesal saat bangun dan membersihkan sisa tanah pada bajunya. "Dia gesit sekali. Aku tidak bisa membaca gerakannya karena sulit fokus." "Oh, bagus itu karena dia lebih berbakat darimu." Mia memberi lirikannya pada Yuda yang manis, ada sebelah kedipan mata dan anak itu membalas dengan mengangkat jempol tangannya bangga. "Sekali lagi berminat, Liana?" Saito bertanya pada gadis kecil itu dan Liana mengembuskan napas, menaruh benda itu ke arah Mia dan mengambil yang berada di tangan Yuda. "Aku akan mencoba bersama Mia." "Bocah nakal ini," sahut Mia pasrah. Arata berpindah untuk melihat lebih dekat. Gerakannya mengundang tatapan Saito yang mengikuti. Melihat saat pria itu nampak penasaran dengan Mia yang mengiyakan ajakan Liana. "Kau tidak bisa memandangnya sebelah mata," ucap Saito dengan kekehan ringan. "Mia juga pernah belajar dariku. Dia bagian dari muridku dulu." Sang tabib muda memainkannya dengan ledekan. "Kau mendengarnya, kan? Guru baru saja berkata memujiku." Liana mendekat dengan spontan. Tubuh kecilnya membantu membuat gerakannya lebih ringan, sepadan dan lihai. Tetapi ini Mia dan Liana tahu kemampuan sang tabib melebihi bayangannya sendiri. Mia tersenyum saat menyadari langkah yang Liana ambil malah membawanya ke tepian. Gadis itu mengerjap, melihat Mia dengan tawa sedang mengalahkannya hingga Liana tergeletak tak lagi memiliki tenaga. "Kau mesti harus banyak berlatih. Lihat, guru sampai tidak bisa bicara apa pun sekarang." Liana mendongak, terkejut melihat Saito melihat bersama Arata dan berusaha bangkit, membungkuk karena merasa bersalah. "Aku akan berupaya lebih keras lagi, guru." Lalu saat matanya bertemu dengan Arata yang dingin, Mia harus segera pergi untuk mengatasi sesuatu yang tengah berdebar kencang. *** Saito kembali mengajar saat para murid selesai memamerkan sejauh mana kemampuan mereka berkembang dan secara bertahap menyerap ilmu baru. Sementara Mia mengintip, menatap Liana yang terlihat serius ikut belajar. Tidak peduli bahwa gadis itu yang menjadi perempuan tunggal di dalam barisan sesamanya. Keinginan besar Liana, kemauan untuk berubah dan mimpinya yang sempat hilang membawa Liana sampai ke titik ini. Gadis kecil itu kadang sengaja agar Mia jengkel, kesal dan seringkali membuatnya cemas bukan main. Liana hanya perpaduan dari seorang anak kecil yang tersesat dan tidak tahu harus bersikap dari sisi lainnya yang kesepian dan kurang kasih sayang. Sang guru menatapnya dan Mia lekas berbalik, merasa sungkan karena memantau mereka dari kejauhan. Kembali ke rumahnya sendiri dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda mungkin ide bagus. "Liana punya harapan mampu lebih unggul darimu." Mia berhenti untuk memandang pria itu sebentar. "Aku yang memintanya. Dia termotivasi setelah tahu bahwa dia bukanlah murid perempuan guru Saito selama ini." "Bagaimana bisa kau membela kebenaran tanpa mengukir luka?" "Apa maksudmu?" tanya Mia bingung. Itu pertanyaan ambigu yang membuat Mia terdiam seraya berpikir. Namun latihannya selama beberapa tahun sebelum mengabdikan diri menjadi tabib dan meneruskan pekerjaan milik keluarganya, Mia tak kunjung mendapatkan jawaban. "Itu aliran yang sempat keluargaku ajarkan. Putih bersih tanpa noda. Kau sanggup belajar untuk melindungi orang lain, bukan menciptakan lingkaran hitam baru beralaskan rasa sakit." Arata menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Apa ini alasan keluargamu tidak berhasil selamat?" Kali ini Arata memilih untuk mencela dirinya sendiri, merasa malu atas ucapan yang tak terkendali dan melihat Mia pergi tanpa membalas pertanyaannya. Gadis itu berjalan menuruni tangga dapur, memeriksa air dan tanaman herbal saat Arata mengikutinya. "Aku seharusnya tidak bicara seperti itu padamu." "Aku tidak pernah melakukannya," katanya mengejutkan setelah duduk dan melamun menatap dapur yang penuh. "Tapi aku tahu jika paman pernah berbuat itu sebelumnya. Mungkin ada rahasia keluarga yang tidak terungkap oleh siapa pun." "Lantas, bagaimana denganmu?" Arata terdiam sesaat sebelum ikut membiarkan dirinya menghela napas. "Aku tidak terkejut. Lagi pula, hampir semua pejuang hebat melakukannya. Mereka harus menerima tugas karena perintah, demi kehidupan layak dan berjuang atas nama orang lain. Apa aku bisa menyalahkannya? Tidak, itu berdasarkan ajaran leluhur." Tak ada perubahan dari raut wajah Mia sedikit pun. Arata hidup dalam pelarian selama ini, menjadi lemah dengan berkeliling dari satu tempat ke wilayah lain, melihat dunia di sisi yang berbeda. Bukan melihat langit dari balik kacamatanya. "Kenapa kau pergi ke rumah kepala desa? Apa mereka menerimamu sebagai tamu?" "Keadaannya sangat kacau," balas gadis itu dengan senyum lelah. "Mereka tidak bisa menolakku. Aku datang hanya sebagai tabib biasa, bukan bermaksud untuk mencela mereka." Gadis itu mungkin memiliki sikap sehangat mentari saat Arata memerhatikannya dari dekat. Dia tidak akan bisa leluasa bergerak mengungkap identitasnya pada orang asing. Asakusa masih menjadi bagian kota utama dan dirinya harus tetap bersembunyi sebagai seorang manusia biasa. "Oh, aku membuatkan teh mawar hangat untuk paman. Kau mau mencobanya?" Arata menengadah dari tempatnya. "Tak apa?" "Jangan sungkan, aku akan membuatkannya juga untukmu. Tunggulah lima menit lagi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN