“Cut! Okay!”
Seruan sang sutradara barusan membuat Rendra mengembuskan napas lega. Bukan hanya Rendra seorang yang senang, hampir seluruh kru bersuka cita karena seruan sutradara barusan menandakan berakhirnya projek film kali ini.
Bukan apa-apa, saat ini mereka sedang syuting film di Dieng, salah satu kawasan di pulau Jawa yang suhunya bisa mencapai minus sembilan derajat celsius. Proses syuting pun bisa dikatakan tidak mudah kaena para staf dan aktor berperang melawan dinginnya Dieng.
“Terima kasih banyak atas kerja kerasnya beberapa bulan ini!” ucap Rendra kepada rekan kerja sesama aktor dan aktris di film kali ini. Rendra juga mengucapkan kalimat yang sama terhadap seluruh kru film yang ia temui di lokasi syuting.
Sebelum pulang, Rendra sempat berbincang beberapa saat dengan sutradara, setelah itu ia dan manajernya bergegas masuk ke mobil untuk persiapan jadwal Rendra selanjutnya. Di dalam mobil, Rendra lagi-lagi mengembuskan napas lega karena hangatnya suhu di dalam mobil.
“Waahh! Dinginnya bukan main! Aku pikir yang menonton film ini nanti akan menyadari jika badanku bergetar karena kedinginan.” seru Rendra kepada manajernya yang berada di balik kemudi. Manajernya hanya tertawa.
“Tidurlah. Butuh waktu beberapa jam untuk sampai Jakarta. Aku akan membangunkanmu jika sudah dekat apartemenmu.” ujar manajernya.
Rendra memosisikan kursinya senyaman mungkin lalu bergumam, “Terima kasih, bro.”
Sepanjang tahun ini, Rendra sudah berlari ke sana-sini, berpartisipasi dalam setiap drama dan pertunjukan teater. Pada awal tahun ini, Rendra sibuk dengan pegelaran teater musikal. Setelah itu ia langsung bermain peran di sebuah serial drama televisi. Belum lagi, jadwal pemotretan dan syuting iklan yang terselip di sela-sela kesibukannya saat bermain di drama. Tak lama kemudian, Rendra kembali disibukkan dengan proyek film, yang malam ini akhirnya terselesaikan.
Seluruh kesibukan tersebut memang membuatnya lelah, namun tak payah, Rendra merasa hidupnya lebih menyenangkan. Dia adalah tipikal orang yang mudah stress jika tidak melakukan apa-apa. Ibunya bahkan pernah bercerita jika Rendra kecil tidak pernah bisa diam. Ada saja hal yang dilakukannya. Seperti membantu ibunya di toko kue, membuat layangan sendiri, dan sebagainya.
Rasanya belum lama Rendra tidur, tahu-tahu, manajernya sudah membangunkannya. “Bangun, Rendra. Kita sudah sampai di apartemenmu.”
Rendra membuka matanya berat, lalu mengerang sembari berujar, “Apakah sungguh sudah sampai? Rasa-rasanya aku baru tidur sebentar.”
“Itu artinya kau kelelahan. Lihat, sudah siang. Sebaiknya kau segera kembali ke apartemenmu lalu tidur sepuasmu.”
Rendra menguap. “Baiklah.” Saat sedang mengecek isi tasnya, Rendra bertanya, “Oh ya, kalau tidak salah nanti malam aku ada jadwal syuting talk show, bukan?”
“Ada, tetapi acara tersebut syuting di malam hari, jadi kau bisa tidur sampai sore.” jawab manajernya.
“Bersabarlah. Beberapa bulan ke depan kau dapat beristirahat atau berjalan-jalan ke mana pun kau mau.”
Rendra mengacungkan kedua jempolnya kemudian membuka kenop pintu mobil. “Kau memang yang terbaik. Terima kasih, bro. Hati-hati di jalan.”
Rendra menunggu hingga mobil tersebut hilang dari pandangannya, baru kemudian berjalan masuk ke kompleks apartemennya.
“Apa yang harus kulakukan saat break nanti, hmm…” gumam Rendra.
Langit terik karena matahari tepat berada di atas kepala. Rendra mempercepat jalannya menuju apartemennya. Lalu hal yang Rendra lakukan setelah sampai di apartemennya bukanlah tidur, melainkan mandi. Meskipun mengantuk, Rendra merasa dirinya tidak akan bisa tidur nyenyak jika langsung terlelap tanpa membersihkan dirinya usai bekerja di luar.
“Aku akan memasak sapi lada hitam.” gumam Rendra setelah keluar dari kamar mandi.
Ia pun mulai memotong daging tipis-tipis lalu ia memarinade dagingnya ke bumbu lada hitam instan. Sembari menunggu agar bumbu lada hitam meresap, ia memotong-motong paprika, bawang bombai, dan sedikit bawang putih. Tak lupa ia memasak nasi. Setelah itu ia mulai memasak bahan-bahan yang sudah ia potong sebelumnya, lengkap dengan daging. Lima belas menit kemudian, masakannya selesai dan nasinya pun sudah matang. Rendra dengan lahap menghabiskan masakannya ia cukup kelaparan.
Rendra bersenandung senang sembari mencuci peralatan makanan dan masakannya setelah selesai. Sedari kecil, ia sudah terbiasa untuk tidak meninggalkan barang atau objek apapun terlihat kotor di dekatnya. Itulah mengapa, meski mengantuk, ia tetap mencuci piring dan peralatan memasaknya dahulu.
Selesai membereskan dapur, Rendra membuka pintu kamar tidurnya. Ia menutup semua jendela, mematikan lampu, dan menonaktifkan ponselnya untuk beberapa jam ke depan. Mengempaskan dirinya ke atas kasur, Rendra berusaha mencari posisi ternyaman sebelum akhirnya ia mulai memasuki dunia mimpi.
***
Kedua bola mata Hani fokus menatap layar komputer di depannya. Alisnya berkerut. Rambutnya yang lurus-gelombang tampak jatuh menutupi kedua sisi wajahnya. Tampak ia sedang berkonsentrasi penuh. Tangan kiri berada di atas kursor dan tangan kanan aktif menggerak-gerakkan kursor komputer.
“Astaga, Hani! Apa susahnya game Pinball hingga alismu berkerut seperti itu?!” seru temannya seprofesinya, Mona, yang baru saja datang dari dapur dengan segelas kopi. Ia menghampiri Hani karena penasaran hal apa yang membuat Hani tampak serius.
Dipergoki temannya, Hani hanya tersenyum lebar. Tidak tampak rasa penyesalan di wajahnya. Hani kembali bermain Pinball. Mona hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berjalan ke meja kerjanya, yang berhadap-hadapan dengan Hani.
Ruangan tersebut cukup kecil sehingga hanya ada mereka berdua. Itu pun sudah cukup sesak dengan adanya meja, kursi, dan peralatan pekerjaan mereka lainnya.
“Apa proyekmu sudah selesai?” tanya Mona.
“Hm, aku sudah menyerahkan tugasku ke Leo tadi pagi.” jawab Hani, tidak mengalihkan pandangannya dari game Pinball di layar komputernya. Leo adalah pengembang web dalam tim proyek Hani tersebut.
Mona hanya bisa menghela napas berat. Ia melihat layar komputernya yang penuh dengan konsep desain dan berbagai macam file lain milik kliennya yang harus diselesaikan dalam tenggat waktu lima hari lagi. Berbanding terbalik dengan Hani di depannya yang sedang bermain permainan bola ping pong.
Ya, bola ping pong atau Pinball, bagi Mona sama saja.
Hani tertawa melihat Mona yang tampak seperti mengasihani kondisinya sendiri.
“Tenang saja, tidak lama lagi aku akan berada di posisimu. Kemarin aku beruntung mendapatkan klien yang tidak rewel, Mona.” jelas Hani.
Mona meliriknya dan bertanya, “Apa kau sudah mendapatkan klien baru?”
Hani mengangguk. “Aku sudah melihat drafnya. Seorang pengusaha startup.”
Mona bersiul mendengar jawaban Hani. “Semoga beruntung, Hani.”
Bukan tanpa alasan Mona mengatakan hal itu. Ada desas-desus, jika klienmu adalah pengusaha startup, bersiap-siaplah revisi konsep dan gonta-ganti desain. Pengusaha startup biasanya cukup rewel dan pemilih, karena yang mereka diskusikan adalah langkah awal mengembangkan bisnis mereka.
Hani hanya membalas dengan ucapan terima kasih, lalu kembali fokus bermain Pinball. Bagi Hani, selama ada waktu luang, ia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Contohnya dengan bermain game seperti sekarang ini.
Bekerja sebagai desainer grafis di sebuah branding agency bisa dibilang merupakan pekerjaan yang menguras otak dan tenaga. Ia dan timnya harus berdiskusi dengan klien akan konsep brand yang mereka inginkan, membuat perencanaan, dan mengelola penerapan branding strategies yang paling cocok untuk kliennya. Tidak lupa desainer grafis harus membuat visualisasi dari iklan tersebut dengan deadline yang mepet karena banyaknya hal yang harus dikerjakan.
Itulah mengapa kebanyakan desainer grafis di sebuah branding agency bekerja dalam tim. Tim yang lengkap biasanya terdiri dari desainer grafis, copywriter, fotografer, penata, ilustrator, account executive, pengembang web, dan spesialis pemasaran. Namun jumlah personil dalam sebuah tim tidaklah tetap, disesuaikan dengan beban pekerjaan.
“Kapan kau akan mulai mengerjakan proyek selanjutnya?” tanya Mona.
“Besok pagi.”
“Cepat sekali. Kau tidak ada niat mengambil proyek freelance atau mengambil jeda dulu setelah proyek kemarin?”
“Minggu lalu kenalanku menanyakan apakah aku mau mengerjakan proyek freelance sebuah kafe. Aku belum sempat menjawabnya karena sibuk dengan deadline,”
Hani diam sesaat karena permainan Pinball di depannya, lalu lanjut menjelaskan, “Tetapi sepertinya proyek tersebut sudah diambil orang lain sebab kenalanku itu tidak menghubungiku lagi.”
Mona mengangguk mengerti mendengar penjelasan Hani. Setelah itu keduanya terdiam karena sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mungkin hanya Mona yang bekerja, karena Hani masih asyik bermain Pinball.
Beberapa jam berlalu dan tahu-tahu, langit di luar sana sudah berubah dari biru menjadi oranye. Waktu kerja sudah berakhir. Hani menggeliat usai tidur cukup pulas. Ya, setelah bermain Pinball selama beberapa jam, Hani melanjutkan waktu senggangnya hari itu dengan tidur.
Hani menatap Mona yang masih tampak fokus bekerja di depannya. “Mona, kau lembur?”
Mona hanya mengangguk dengan ekspresi serius terpasang di wajahnya. Sepertinya Mona sedang fokus dengan pekerjaannya. Hani mengerti akan hal tersebut, kemudian mulai membereskan meja dan barangnya, bersiap-siap untuk pulang.
“Mona, aku pulang duluan. Oh ya, jangan sungkan mengambil stok makananku. Ambil saja kalau kau mau.” Tukas Hani dengan tas selempang di bahunya.
“Eum, terima kasih. Hati-hati di jalan.” Jawab Mona namun tak melepaskan pandangannya dari layar komputer di depannya.
Jakarta sore tampak sangat hidup di mata Hani. Langit oranye, lampu di gedung yang mulai menyala, dan orang-orang yang sibuk bergerak ke sana-sini. Bus yang ditumpangi Hani pun tampak disesaki penumpang. Melihat dari penampilannya, kebanyakan dari mereka adalah pekerja kantoran yang baru pulang kerja, sama seperti Hani.
Dengan earphone di telinganya dan berpegangan pada gantungan tangan di atasnya, Hani sibuk memikirkan makanan apa yang akan menjadi santapannya malam ini. Sebuah menu makanan melintas di kepalanya dan membuatnya mengerang dalam hati.
‘Haaa… Aku ingin makan Lotek khas Bandung.’ gumam Hani dalam hati. Tak memungkin bagi dirinya untuk ke Bandung saat ini, Hani akhirnya memutuskan untuk berpuas diri dengan karedok, olahan yang mirip lotek, yang berada di dekat apartemennya.
Benci mengakuinya, tetapi, aku ingin ke Bandung.