Rendra menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Keanu sudah mendengkur di sofa ruang tengah. Rendra curiga sahabatnya itu datang hanya untuk minum wine miliknya karena saat mereka sampai di apartemen, Keanu langsung membuka kulkas koleksi wine.
“Rendra, kita minum ini ya?” tanya Keanu seraya mengangkat botol wine dengan tulisan ‘1947’ di depannya.
Rendra tertawa saat mengingat kembali bagaimana Keanu dengan mata berbinarnya meminta izin untuk membuka salah satu botol wine kesukaan Rendra. Rendra yang memang pada dasarnya lemah dengan permintaan dari teman pun mengangguk mengizinkan.
Selang satu jam kemudian, Keanu sudah terkapar di sofa ruang tamunya. Meninggalkan Rendra duduk termangu di pantry dapur.
“Dasar! Padahal dia sendiri tadi yang berkata jika besok ada penerbangan dan tidak akan minum sampai mabuk.” maki Rendra dengan nada geli terhadap Keanu.
Rendra menuangkan wine ke gelasnya lalu menyesapnya secara perlahan. Minuman itu menghangatkan tenggorokan dan tubuhnya, meninggalkan sedikit rasa manis di lidahnya.
“Hmmm…” desis Rendra mengecap baik-baik rasa wine di lidahnya. Bersamaan dengan itu, ingatan Rendra kembali melayang ke percakapannya dengan Keanu beberapa jam lalu. Tepatnya, ketika mereka berdua membahas Hani.
Rendra sudah memastikan dengan penglihatan dan pendengarannya sendiri jika Hani memang menolak bertemu dengannya. Keanu tidak mengatakan secara gamblang alasan mengapa Hani menolaknya dan berkelit dengan alasan Hani memang sedang ingin sendiri.
Ingin rasanya Rendra percaya dengan perkataan Keanu itu, tetapi instingnya mengatakan ada alasan lain di balik penolakan terhadap dirinya itu.
Ada hal lain yang tidak dikatakan oleh Keanu.
Rendra sudah mencoba melempar pertanyaan ‘pancingan’ dengan harapan ia bisa mendapatkan sesuatu dari sahabatnya itu, tetapi Keanu –menurut Rendra– menutup mulutnya rapat-rapat.
Melihat Keanu seperti itu, Rendra pun mengurungkan niatnya untuk mengorek-ngorek jawaban dari Keanu lebih jauh lagi. Rendra bisa melihat air muka Keanu langsung berubah menjadi lega saat dirinya tidak bertanya-tanya lagi. Reaksi Keanu itu semakin menyakinkan Rendra jika dugaannya benar. Ada hal lain yang disembunyikan oleh Keanu soal Hani.
“Jika Keanu sudah sampai seperti itu, aku harus menghormatinya.” gumam Rendra.
Kedua bola mata Rendra melihat lampu fluoresen yang tergantung di atasnya dengan pandangan menerawang. Jari telunjuknya mengetuk meja dingin pantry dengan ritme perlahan. Wajah manis Hani dengan rambut lurus gelombangnya pun menghampiri Rendra.
Ia mengingat kembali saat pertama kali bertemu Hani dengan balutan dress terusan berwarna putih di sisi kafe di Malang. Ia ingat bertanya-tanya dalam hati apakah Hani saat itu tidak bosan karena datang seorang diri. Lalu, tahu-tahu, perempuan itu mengejutkannya dengan menggambar makanan mereka.
Juga saat ia terpaku melihat senyum manis Hani untuk pertama kalinya. Tetapi saat itu Rendra memilih untuk tidak menghiraukan rasa itu.
Rendra baru yakin kalau ia benar-benar jatuh terpikat kepada Hani saat mereka bertemu lagi di Bandung. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan Hani lagi. Dipikirnya pertemuan di Malang saat itu hanya seperti angin lalu saja. Tiba-tiba, Hani datang dengan salah satu sahabat baiknya.
“Benar-benar…” gumam Rendra menggeleng-gelengkan kepalanya.
Malam itu, Hani memikat Rendra dengan senyum, tawa, ekspresi, dan suaranya saat berbicara. Oh, dan jangan lupakan rambutnya yang ikut bergoyang saat Hani bergerak. Rendra beberapa kali harus menahan diri untuk tidak menyentuh rambut bergoyang yang tampak menggemaskan di matanya itu.
Rendra mengembuskan napas panjang. Jari-jarinya menyisir rambutnya. Sudah lama sejak ia tertarik dengan seseorang dan ingin mengenalnya lebih jauh, sayangnya, orang itu menutup pintu perkenalan itu.
Sejujurnya, Rendra tidak merasa sakit hati atau apapun itu karena ajakannya ditolak oleh Hani. Toh, ia juga hanya merasa tertarik kepada Hani. Hanya saja, ia rasanya belum siap jika harus berpisah dengan senyum manis milik Hani itu secepat ini.
Ada sesuatu dalam diri Hani yang membuatnya merasakan sensas-sensasi yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya.
“Tidak, aku harus melupakannya.” bisik Rendra kepada dirinya sendiri. Hatinya beradu dengan ego.
Rendra gusar. Tidak biasanya ia seperti ini.
Ia menelan wine yang tersisa dalam sekali teguk. Menuangkannya lagi dari botol ke gelasnya, lalu menenggaknya lagi. Hal itu terus diulanginya, sampai kepalanya terasa berdenyut dan tak ingat dengan Hani.
Orang bilang, apa yang dilakukan Rendra adalah tindakan ‘Menelan kesedihan dengan alkohol.’.
Malam itu, ia menghabiskan satu botol wine dan tiga kaleng bir seorang diri.