menghubunginya lagi, tetapi ternyata teleponnya tidak aktif.
Hampir saja aku banting ponselku, kalau saja tidak ada Budhe yang berjalan di sebelahku.
Perempuan itu tersenyum sangat tulus, terlihat sekali begitu bangga padaku. Aku pun dibuat rikuh, saat dengan lembut tangannya mulai membelai rambutku.
"Nggak nyangka, kamu udah sebesar ini."
"Apa sih, Budhe." Aku tersenyum haru, memberikan balasan berupa genggaman pada tangannya.
"Dulu, waktu ekonomi kami buruk, bahkan sangat buruk, bapakmu yang menghidupi kami, Nduk. Pakdhemu dibantu finansial sampai bisa mendirikan usaha bengkel dan bisa jadi ladang pencaharian sampai sekarang."
Aku mengangguk, paham alur cerita budheku, kenapa sampai sekarang masih jadi garda terdepan dalam kehidupan aku bersama ibukku.
"Bunga terbaik selalu dipetik lebih dulu. Itulah bapakmu."
Aku mengangguk lagi, dan setuju dengan perkataan budheku tentang sebagaimana baiknya bapak dulu semasa hidup. Sampai-sampai kebaikannya sering dimanfaatkan orang, hingga akhirnya usaha mebelnya tutup karena keserakahan karyawannya, setelah bapakku meninggal.
Sudahlah, tidak perlu diingat-ingat lagi. Moga aja jadi ladang amal jariyah untuk bapakku.
"Nak Arman nggak bisa datang?"
Indah, sepupuku yang baru menyebul dari bilik ruangan kerjanya membuat pembicaraan antara aku dan Budhe terhenti.
Aku pun menggeleng, malas untuk membicarakan lagi tentang calonku itu. Rasanya berat dan itu sudah mulai aku rasakan sejak dua bulan setelah kami resmi menetapkan tanggal pernikahan.
"Sabar. Ujian nikah emang nggak main-main. Waktu Budhe mau menikahkan Indah, weleh ... yang ada cuma bertengkar aja mereka berdua ini."
"Iya, Budhe." Aku menerima penghiburan dari budhe. Apa yang dikatakan tadi emang seperti apa adanya Indah dan calonnya dulu.
Aku pun memercayai bahwa ujian kesabaran itu memang nyata adanya. Aku hanya butuh bersabar dan semuanya akan berjalan dengan baik.
Setelah aku selesai mengganti kebaya dengan pakaianku sendiri, aku duduk menunggu Indah selesai merapikan lagi pakaian yang hendak aku kenakan pada acara ijab qobul tiga hari lagi itu.
Dia tampak sesekali melempar senyuman padaku, sebagai isyarat agar aku selalu ceria di hari-hari menjelang pernikahanku.
Ponselku pun bergetar, mode senyap memang sudah aku setting agar tidak mengganggu pekerjaan Indah, sebagai perancang busana pernikahan di lingkungan sekitar kami. Hasil karyanya sangat bagus, dan murah juga bagi kalangan kami.
"Sebentar, ya?" pamitku padanya, izin mengangkat panggilan dari mas Arman.
Aku buru-buru keluar menuju teras. Setelah duduk di salah satu kursi, aku pun mulai menggeser panel hijau dan menempelkan ponselku pada daun telinga.
"Ya, Mas?" sahutku, terdengar biasa saja, agar tidak terdengar ada kemarahan dalam diriku.
"Maaf, tadi ponselku jatuh."
"Terus? Nggak apa-apa, 'kan?" tanyaku, memikirkan, tragedi macam apa yang baru saja menimpa Mas Arman.
"Nggak apa. Untung aja layarnya nggak pecah. Kenapa, Sayang?"
"Ini, aku lagi di rumah Budhe. Kamu diminta dateng buat fitting jas penganten kita."
"Oh, besok aja gimana? Soalnya hari ini ada undangan dari teman-teman SMA, ada pesta nyambut pelepasan masa lajang buat aku sama tiga temenku yang lain."
Pesta lajang? Keningku berkerut, memikirkan bentuk acara macam apa itu. Selugu itu mungkin, sampai-sampai di usiaku ketiga puluh, pesta seperti itu baru aku dengar sekarang.
"Haloo!"
"Iya, aku masih di sini," balasku, setelah mas Arman menganggap hubungan telepon kami terputus.
"Acara buat perpisahan, karena setelah nikah kami nggak boleh ikutan acara seperti itu lagi, Yank."
"Emang acaranya ngapain, sih? Aku boleh ikutan nggak?" tantangku, ingin sekali melihat seperti apa acara kaum lajang dihabiskan.
"Cuma makan-makan sambil karaokean aja kok. Nggak ada perempuan di sini. Asli cuma laki-laki doang. Next, kalau ada acara pengenalan pasangan, aku ajak kamu, ya?"
"Kapan?"
"Setelah kita resmi menikah. Akan diadakan acara pengenalan pasangan, jadi teman-teman yang sudah nikah yang dateng. Laki-laki perempuan, beda ma acara ntar malam yang cuma khusus laki aja."
"Oke, jadi besok kamu ke sini? Sepulang dari kantor, 'kan?" tanyaku untuk memastikan kedatangannya.
"Iya, janji. Besok aku bakal ke sana, barengan kamu pulang kerja. Oke, Sayang?"
"Oke, hati-hati kalau gitu, ya?"
Aku mematikan sambungan telepon begitu selesai pembicaraan.
Terserahlah. Pusing aku memikirkan acara tiga hari lagi, jadi ogah menambahnya dengan pertengkaran lagi.
Aku pamitan pulang pada budhe dan sepupuku. Tidak lupa menyerahkan beberapa donat spesial yang dititipkan ibuk untuk mereka.
Buatan tangan ibukku memang juara. Tidak ada yang sanggup menolak pemberiannya.
Di sepanjang perjalanan aku habiskan waktu mengendarai motor dengan bernyanyi.
Lagu-lagu era tahun 90' mengisi hampir setiap bait lagu yang keluar dari bibirku. Aku tidak menggunakan headphone, murni hafalan yang ada di luar kepalaku.
Ketenangan yang sengaja aku ciptakan tiba-tiba berubah mencekam, kala sebuah motor tanpa sengaja menabrak sekumpulan anak-anak yang baru pulang dari sekolah.
Suara hantaman itu membuat orang-orang yang menunggu lampu menyala hijau menoleh ke arah sebelah. Dua anak ambruk bersama sepedanya, sedangkan pemotor itu panik dan langsung kabur dari sana.
"Woi! Tolong minggir!"
Aku berteriak keras. Mencoba untuk meminta jalan agar bisa melipir mendekati anak-anak itu.
Jalur kendaraan bermotor dan sepeda memang sudah dipisahkan. Pemotor ganas yang kabur tadi memang melanggar dengan mengendarai motornya di dalam jalur khusus sepeda.
Untung saja, mobil yang berada di depan motorku mau mengalah dengan minggir maju, sehingga aku bisa membelah kerumunan kendaraan, sebelum ruwet karena lampu sudah menyala hijau.
"Ya Allah, kalian nggak apa-apa, 'kan, Dek?"
Aku segera turun dari motor lalu menyetandratkan di sebelah sepeda yang ambruk.
Beberapa anak muda segera datang menolong, setelah aku melakukannya lebih dulu. Kemungkinan karena takut tertuduh sebagai penabrak.
Nggak peduli, aku lebih memikirkan bagaimana menolong mereka, alih-alih takut kena fitnah.
"Sakit, Mbak," keluh salah satu dari anak sekolah SD tersebut sambil menangis.
Aku segera menolong untuk bangun, lalu memapahnya kepinggir.
Anak-anak muda yang lainnya segera membantu anak satunya, juga meminggirkan sepeda yang ambruk.
"Kakimu terluka, Dek," ungkapku sambil memberikan pelukan padanya.
"Mbak, anak yang ini sepertinya syok. Mau pingsan!"
"Hah?" Mataku langsung terbelalak, saat menoleh ke arah belakang dan mendapati wajah anak itu memang pucat.
Rasanya ingin memaki-maki pemotor tadi. Sudah seenaknya memakai jalur sepeda, eh malah mencelakai anak orang kayak gini.
Setelah mengembuskan napas demi bisa berpikir agak jernih, aku segera bangkit untuk melihat keadaan sekitar.
Tidak ada satu pun orang dewasa lainnya yang mau membantu. Kesal sendiri melihat minimnya empati dari orang-orang sekitar.
"Baiklah, kita bawa mereka ke rumah sakit," putusku kemudian.
Tidak ada solusi lain, karena salah satu anak sepertinya lukanya cukup serius.
"Tapi, gimana nanti bayarnya, Mbak?"
"Biar urus belakangan. Yang penting ditangani dokter dulu. Ntar sisanya dari kalian tolong ke sekolahan anak ini buat minta bantuan gurunya agar segera menghubungi pihak orang tuanya, ya? Pastikan jadi saksi, kalau yang nabrak tadi kabur."
"Siap, Mbak!"
Aku tersenyum saat melihat anak-anak muda itu antusias diberikan mandat. Namun, saat menyadari bahwa tidak mungkin aku membawa dua anak ini dengan menggunakan motor, di saat bersamaan rasanya ingin menangis saja saking frustasinya.
"Mbak, sakit banget kakiku!" jerit anak lelaki yang ada di hadapanku dan aku pun harus duduk lagi demi bisa menenangkan.
"Sabar, Dek. Aku panggil ambulan dulu, ya?" ucapku, berusaha untuk menghiburnya.
Tanganku gemetaran saat mencoba untuk mengambil ponsel dari dalam tas. Bising kendaraan anak-anak muda yang meninggalkan area itu karena ingin mengabari pihak sekolah membuat hatiku kian gentar saja.
Hanya tinggal aku dan dua pemuda yang menjaga anak satunya tadi agar tetap sadar.
Hingga sentuhan tangan pada pundak nyaris membuat aku terjengkang saking kagetnya, ternyata dia