marah. Berbeda dengan kondisi kemarin, dia yang mencoba untuk menghadapi aku dengan kesabaran. Kali ini akulah yang kelimpungan. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara agar kemarahannya tidak sampai diketahui ibukku. "Kenapa?" bisik Wildan padaku. Aku menduga , Wildan mempertanyakan itu karena mungkin berpapasan dengan pak Aksara, dan melihat sendiri wajah suamiku itu menunjukkan kekesalan. "Aku nggak tahu." Aku menjawab singkat seraya mengangkat bahu sebagai isyarat bahwa aku tidak mau berbagi cerita dengannya. "Makanya, lain kali hati-hati kalau ngomong. Pasti Mas Aksa tersinggung deh. Biasanya Mbak Runa 'kan kalau bicara kadang suka nggak dipikir dulu." "Hush! Mulai ya, belain orang lain, padahal aku mbakmu sendiri!" Aku menghardik kesal seraya memberikan entakan kecil agar adekk

