"Kamu udah ngajuin resign 'kan, Nduk?"
"Hm, sudah, Buk." Aku menoleh ke arah ibuku sambil mengangguk.
Bisa aku pastikan wajahnya berubah lega begitu mendapat respon dariku.
Selama tiga bulan ini aku memang sering mengeluh. Menumpahkan keluh kesahku tentang pekerjaan di kantor. Atasanku sekarang ganti yang baru dan karakternya sangat berbeda jauh dengan atasanku yang dulu.
Entah kenapa, sosok Pak Ambara selalu menjadi alasan kenapa dulu aku kuat bekerja, sesibuk apapun itu. Keramahan dan sikapnya yang menghormati setiap karyawan membuatku sangat segan padanya.
Namun, kisah-kisah indah pekerjaanku sebagai asisten pribadi terhenti saat pria itu menyerahkan tangguk kepemimpinan itu kepada orang baru. Setelah berjalannya waktu tiga bulan ini aku baru tahu kalau ternyata bos baru bernama pak Aksara itu merupakan keponakan pak Ambara.
"Kalau bukan karena nepotisme, nggak bakalan orang seperti dia jadi bos di perusahaanku," gumamku kesal, setiap kali mengingat namanya.
Setelah melalui pergulatan pemikiran yang panjang, akhirnya aku mau menerima lamaran kekasihku dan menikah. Melepaskan jabatan dari perusahaan dan mau mengalah untuk resign setelahnya.
"Mungkin dengan adanya bosmu itu, kamu jadi bisa mengalah buat resign, Nak. Nggak ngusik kerjaan Arman," ujar ibuku sambil menarik kursi lalu mulai sarapan bersamaku.
"Mungkin," sahutku lesu, agak tidak rela mengakuinya.
Hubungan dengan kekasihku memang mengalami pasang surut. Kami beberapa kali berdebat hanya tentang siapa di antara kami nanti yang mau mengalah untuk resign. Ya, itu terjadi karena kami memang kerja di perusahaan yang sama.
Aturan menegaskan bahwa tidak boleh ada pasangan suami istri berada di dalam satu perusahaan.
Kalau pak Aksa tidak menyebalkan seperti ini, pasti aku belum mau melepaskan gaji dan tunjangan dari perusahaan dengan menerima lamaran Arman.
"Wildan sudah menghubungi ibuk, belum?" tanyaku tentang keberadaan adikku yang sedang mengurus pengiriman kayu yang terkena masalah surat jalan di luar kota. Dia ditemani pakdhe.
Adikku kena tipu orang. Entahlah, uang puluhan juta yang sedianya digunakan untuk membeli bahan kayu berkualitas, sialnya malah digelapkan karyawan kepercayaannya.
Kayu-kayu yang harusnya didapat secara legal, ternyata hasil penebangan liar dan aku tidak paham lagi, alur apa yang kini sedang diperbaiki pakdhe untuk membantu adikku.
Aku tidak punya anggota keluarga selain keluarga pakdhe. Bapakku meninggal akibat serangan jantung sejak aku duduk di kelas tiga SMA. Usaha mebel bapak yang mangkrak selama bertahun-tahun pun mulai dirintis adekku lagi. Ya, setelah anak itu lulus kuliah.
Ibu menjual aset tanah warisan dari kakek sebagai modal usaha. Tapi, ternyata ujian masih saja menghantui keluarga kami.
Hari ini, setelah usaha itu mulai berjalan hampir setahun, ternyata karyawan kepercayaan adekku malah menipu.
"Sudah, Nak. Kayunya ditahan pihak berwajib. Katanya harus pakai tebusan. Kalau tidak, ya kayunya bakal ditahan."
"Kenapa sih, usaha keluarga kita selalu kena tipu ya, Buk."
Aku menghela napas berat, membayangkan serumit apa yang dihadapi adik dan pakdheku yang usianya memang sudah akhir dari masa pensiun.
"Untung kamu mintanya acara nikahan yang sederhana aja, Nduk. Nggak tahu, gimana jadinya, soalnya semua uang tabungan ibu gunakan buat bayar denda."
"Iya, Buk. Runa malah mikirnya gimana bisa beli rumah setelah nikah. Bukan untuk pesta yang sebenarnya cuma diniatkan buat adu gengsi tetangga."
"Makasih ya, Nduk. Sampaikan salam ibuk buat Arman."
"Iya, Buk. Nanti aku salamin. Beberapa hari ini dia sibuk banget. Di kantor aja jarang ketemu," sahutku sambil berdiri lalu salim sama perempuan yang telah melahirkan aku itu sebelum berangkat kerja.
Hanya butuh sabar semingguan, setelah itu aku bakal terbebas dari tekanan kerja pak bos bernama lengkap Aksara Rannu Kusuma itu. Aku mengepalkan tanganku erat-erat, demi bisa menguatkan hati dan pikiran agar fokus.
Ujian yang menimpa adikku tidak boleh memengaruhi rencana pernikahanku yang akan berlangsung minggu depan.
Aku mengendarai motor yang sudah aku modifikasi sedemikian cantiknya. Bangga banget punya kendaraan hasil jerih payahku sendiri. Setelah bertahun-tahun membantu perekonomian keluarga.
Akhirnya, kini saat usiaku sudah menginjak angka tiga puluh tahun, aku bisa yakin untuk menikah.
"Selamat pagi, Runa," sapa Irma, rekan sekantorku saat kami berpasangan di parkiran kantor.
Perempuan itu keluar dari mobil barunya, yang parkir tidak jauh dari motorku.
"Hai Irma," sambutku ramah seperti biasa, karena kami berada di ruangan yang sama sebagai asisten pribadi pak Aksara.
"Sudah siap menghadapi tantangan hari ini?" godanya, sambil mengedipkan sebelah matanya yang berbulu lentik dan lebat.
"Always, Beb. Wajib demi masa depan cerah," sahutku sambil terkekeh.
Perempuan berusia lebih muda dua tahun dariku itu pun ikut terkekeh. Paham guyonan apa yang biasa kami gunakan untuk mencairkan ketegangan.
Kami berjalan berdampingan menuju lobi. Setelah menyapa dua sekuriti yang membukakan pintu untuk kami berdua, selanjutnya meneruskan perjalanan menuju bagian tap absensi.
"Ciehh, calon pengantin kita makin rajin aja," goda salah satu rekan kerja pria, satu bagian dengan calon suamiku sambil menyenggol pundakku.
Aku hanya tersenyum tipis.
Entah kenapa, rasanya begitu tidak nyaman setiap kali ada rekan kerja calon suamiku tiba-tiba berubah sok akrab. Sebagai seorang wanita, aku memang membatasi keakraban dengan rekan kerja pria.
Ya, anggap saja demi menjaga hati pasangan mereka. Selain memang menjaga hati kekasihku sendiri.
"Katanya pengajuan resign kamu belum ditandatangani bos, ya?" tanya pria itu lagi.
Kami bertiga berdiri bersandingan, menunggu pintu lift terbuka.
"Iya." Aku menjawab singkat.
Saat menoleh ke arah Irma dan terlihat teman kerjaku ini cuma diam saja, rasanya aku jadi tidak nyaman mengobrol dengan laki-laki caper di sebelahku ini.
Pintu lift pun terbuka, baru aku mau masuk, ternyata di dalamnya sudah ada bos kami, Aksara.
Kemungkinan besar pria itu sengaja parkir di bagian basement, sehingga naik lift dari sana.
"Selamat pagi, Pak Aksa," sapa Irma riang. Aku sampai membayangkan kalau sebenarnya Irma sudah mulai terpesona dengan ketampanan pak bosku satu ini.
Aku tidak mungkin ikut-ikutan mengidolakan bos menyebalkan satu ini. Selain karena sejak awal memang merepotkan, pria itu lebih muda dariku empat tahun. Aku lebih mengidolakan pria matang seperti mantan bosku yang lama.
Aku menyingkir rikuh saat bersitatap dengan pak Bos. Hatiku tidak menyukainya. Itulah kenapa, aku berinteraksi secukupnya saja dengan beliau.
Untung saja sebagian besar pekerjaan yang melibatkan interaksi langsung dihandel Irma, jadi aku bisa tenang bekerja di bawah tekanannya.
"Meeting jam sembilan sudah disiapkan, Pak," lapor Irma pada pak Bos.
"Siapkan bahan presentasinya di mejaku. Aku akan masuk ruangan meeting agak terlambat," sahut pria itu dingin, tentu saja terasa sangat gatal di telingaku.
Rasanya sia-sia saja bersikap baik, nyatanya pria itu terlalu datar dan beku seperti es batu. Minim ekspresi dan sulit ditebak.
"Baik, Pak," sahut Irma, sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Dia sepertinya pamer karena bisa berbicang santai dengan pak bos. Sangat jauh berbeda denganku.
Setelah pintu lift terbuka, aku dan Irma mempersilahkan pak bos keluar lebih dulu. Kami menyusul di belakangnya, mengekor sampai ke ruangan pria yang akrab di panggil pak Aksa berada.
Meja kerja kami berada di luar pintu ruangan pak bos.
"Varuna!"
Aku dan Irma baru menyusun berkas-berkas yang baru diletakkan karyawan di atas meja pun menoleh berbarengan.
Pak Aksa terlihat menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruangannya, tanpa menoleh ke kami.
Tentu saja, kami berdua saling bersitatap beberapa detik, barulah fokus lagi ke arah pak bos berada.
"Iya, Pak," sahutku kemudian, setelah Irma memberikan kode agar aku lekas menjawab panggilannya.
"Masuk ruangan saya sekarang!"
Setelah mengatakan itu, aku melihat pak Aksa melangkah masuk, membiarkan pintu ruangannya terbuka begitu saja.
Aroma mint lemon khas pengharum ruangannya pun merebak menusuk indera penciumanku.
"Buruan masuk, bawa berkas presentasinya sakalian!" Irma mendorong ringan pundakku, agar aku segera masuk ruangan pak bos.
"Iya, bentar," bisikku sambil pura-pura merapikan kemeja, untuk mengurangi nervous.
Deg-degan aku berjalan meninggalkan mejaku lalu menyusul pak Aksa masuk.
Aku bahkan tidak punya bayangan sedikitpun, kenapa pak bos memanggilku ke ruangannya sepagi ini.