Bisa-bisanya pak Aksara bertingkah sesantai itu, padahal jelas-jelas aku sudah menunjukkan betapa tidak nyamannya aku satu ruangan dengannya. Apakah nantinya dia bisa berperan sebagai suami? Mampukan aku memperlakukannya selayaknya teman hidup, tidak selayaknya antara bos dan asisten pribadinya? Sejak di gedung akad nikah tadi, aku masih saja memperlakukannya seperti bos. Padahal jelas aku resign agar bisa bebas darinya. Bagaimana mungkin, sekarang kami malah ada di dalam satu kamar begini? "Aku harus menyiapkan baju ganti, sebelum pak Aksara keluar dari kamar mandi," gegasku sambil bangkit. Aku membolak-balikkan pakaian, memilih tersopan untuk digunakan di acara syukuran nanti sore. Ini mungkin ide saudara ibuku. Karena sebagian dari mereka yang tua-tua memang tidak diajak ke gedung

