James

3043 Kata
"Harper, kau yakin tidak ikut dengan kami?" Pertanyaan Rose untuk kesekian kalinya dalam beberepa jam terakhir ini, aku menggeleng sebagai jawabannya. Kalau saja ibuku tidak memintaku untuk pulang lebih awal, aku pasti akan bergabung dengan teman-temanku ke pertunjukkan music yang sering di adakan tiap Weekend di taman kota. Menghabiskan malam panjang dengan berteriak gila tanpa Seks panas dan minuman keras yang belum pernah kucicipi sedikitpun. Aku gadis perawan dan aku bangga dengan itu. "Ayolah.. Akan berbeda rasanya tanpa kedatanganmu sebagai gadis pusat di kota ini" Amber mengerling padaku. Tuhan, aku geli melihat teman-temanku bertingkah menjijikan. Menggeleng lagi, "Aku sudah janji dengan ibuku malam ini," Rose dan Amber berhenti merayuku untuk datang, aku sedikit kasihan dengan mereka berdua yang begitu antusias untuk melihat salah satu pertunjukkan Band Indie yang cukup terkenal di kalangan remaja seperti kami. "Kau tidak menyesal?" "Aku lebih menyesal melihat ibuku sedih," Aku tersenyum pada mereka berdua. "Oh, maafkan kami?" Rose tampak menyesal setelah aku mengakuinya. Aku merasa punya ikatan yang lebih dalam dengan ibuku sejak kepergian ayahku beberapa tahun lalu. Hubungan kami yang begitu dekat dan aku sangat memuja ibuku yang berjuang keras demi kelangsungan hidup kami yang tidak murah. Aku akan melakukan apapun demi ibuku untuk membalas semua kebaikkannya salah satunya dengan membuatnya senang dan tidak pernah mengecewakannya. "Bersenang-senanglah," Mereka tersenyum sebelum berbelok ke lorong yang menuju gerbang sekolah kami. Menghela napas. Aku kembali ke kelas sebelum pulang kerumah, ada beberapa buku ku yang sengaja ku tinggal disana hanya untuk melihatnya saja, aku punya perasaan berbeda setiap kali melihatnya tersenyum, tertawa bahkan bertingkah konyol dengan teman-temannya. Dia sudah menjadi orang wajib di sekolah ini yang harus kulihat atau dengar suaranya. Berjalan dengan pelan dan sesekali menjawab atau tersenyum saat orang-orang menyapaku di jalan, mereka yang kukenal dan tidak kukenal bersikap sangat baik selama aku menjadi siswi di sekolah ini. "Ketinggalan sesuatu?" Dia tersenyum saat aku memasukkan buku kedalam ranselku. Dia masih duduk di kursinya, aku tidak tahu apa yang dilakukannya di kelas kosong seperti ini setiap kelas selesai. "Hanya beberapa" "Hmm ..." Dia bersenandung sepelan mungkin. "Aku pergi duluan, Bye" Aku harus cepat keluar dari kelas ini agar emosiku terkontrol. Berada di dekatnya membuatku tidak bisa berpikir jernih. Aku lebih suka melihatnya dari jauh dan mendengar suaranya dari pada berbicara langsung padanya. "Sampai jumpa, Harper Grace," * "Perlu bantuan?" Melihat ibuku yang begitu bersemangat menyiapkan makan malam yang kurasa terlalu berlebihan untuk kita berdua, dia bersenandung dengan beberapa bait lagu yang jelas sangat terkenal pada masa mudanya. Wajahnya tidak pernah berhenti tersenyum sejak aku melihatnya pulang dari sekolah, tertawa bahkan menggoyangkan pinggulnya beberapa kali. Ini kali pertama aku melihat ibuku yang begitu berbeda semenjak kepergian ayahku. "Ini hanya sebentar lagi selesai" Jawabnya tersenyum. Mengangguk. Aku menjauh dari dapur dan mendudukkan pantatku di atas sofa yang menghadap televisi layar datar, mencari siaran yang menarik mataku. "Apa ini akan cukup?" Suara Ibuku dari ruang sebelah. "Kurasa lebih dari cukup untuk kita berdua, Mam" "Harper ..." Aku menoleh untuk melihat Ibuku yang sudah berdiri di ambang ruangan. Wajahnya tampak serius dengan ketegangan yang jelas terlihat di matanya. Ada yang tidak beres. "Ada seseorang yang akan makan malam dengan kita," Aku tidak berhak marah pada ibuku dengan keputusannya yang mulai berkencan dengan seorang pria yang sekarang duduk diantara kami. Pria tersebut tampak memuja ibuku dengan segala pikirannya yang tidak bisa k****a, aku hanya merasa sedikit kecewa dengan ketidakjujuran ibuku soal kencannya yang sudah berlangsung lima bulan lebih. Mungkin dia punya banyak hal yang harus di pertimbangankan yang dimana salah satunya tidak ingin menyakitiku. Maka disinilah aku, mencoba tersenyum saat mereka berdua tertawa membicarakan sesuatu yang tidak kumengerti. "Mau menambah?" Ibuku bertanya, tidak ada ketegangan yang kulihat sekarang dimatanya. "Aku rasa sudah cukup, Mam," Aku tersenyum. Aku rasa sudah cukup berada di meja makan, lebih baik aku mengerjakan tugas dari Ms. Watson yang terkenal gila. "Harper, terima kasih sudah menyambutku" Sebelum aku mengutarakan keinginanku, kencan ibuku sudah membuatku tersenyum secara paksa untuk menjaga kesopanan. "Aku harus menyelesaikan tugasku, bersenang-senanglah" "Terima kasih," Aku bisa mendengar suara ibuku sebelum aku menaikki anak tangga. * "Mam, kau baik-baik saja?" Ibu sedikit gugup bertemu denganku pagi ini. Apa ini menyangkut soal semalam yang dimana teman kencannya tidak pulang? Aku tidak terlalu peduli dengan apa yang mereka lakukan semalaman hanya saja aku sedikit terganggu dengan sikap ibuku yang berbeda pagi ini. "Eh, a-aku baik saja" "Mam, aku oke dengan semua ini, jadi jangan terlalu khawatir" Dia membuka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu namun tidak jadi saat ponselnya berbunyi. Aku tahu siapa yang meneleponnya. "Yaya ... Tidak usah. Aku bisa sendiri ... Sampai nanti" Klik, Ibu tersenyum lagi. "Mam, kita harus berangkat" Aku mengambil ransel yang tergantung di kursi yang ku dudukki. "Jika tidak ingin terlambat" Melirik sekali lagi meja makan yang tampak bersih dengan sisa sarapan kami berdua, berbeda dengan sisa makanan kemarin malam yang tampak berantakan. "Oke," Ibu mengambil kunci mobil dan mantelnya, mengikutiku yang terlebih dahulu masuk ke dalam mobil. Aku lebih suka mendengar suara ibuku yang menceritakan hari anehnya di tempat kerja dari pada suara penyanyi di radio yang terkenal akhir-akhir ini. Aku tidak nyaman dengan semua ini. Dengan rasa bersalah ibuku atau aku yang terlalu kaku untuk pagi ini di meja makan? "Mam-" "Maafkan ibu?" Aku menoleh ke samping untuk melihatnya. Bibir bawahnya bergetar dan kedua tangannya terlalu berlebihan mencekram setir mobil. "Mam, aku tidak marah padamu ...Oke aku sedikit marah tentang lima bulanmu dengan ..." Arghh!! aku bahkan lupa namanya. Apa aku begitu terlukanya dengan kedatangannya di hidup ibuku sampai aku tidak ingin mengingat namanya. "Aku tahu, banyak alasan darimu, Mam." Aku rasa postur tubuh ibuku lebih santai sekarang saat aku sudah mengungkapkan semuanya. "Ibu tidak ingin kau menganggapku tidak setia pada ayahmu" Sial. Aku tidak pernah berpikir kearah sana. "Kau tau? Aku selalu mencintai ayahmu sampai sekarang. Tapi, orang itu tidak pernah menyerah memasuki hidupku dengan semua kebaikkan dan penerimaannya tentang aku selalu cinta ayahmu. . ." Fuckfuckfuckfuckfuck. "Mam, aku tidak tahu kau ... " Tuhan. Aku akan memberikan semua kebahagianku untuk ibuku yang mempunyai cinta suci pada ayahku. "Ya, aku mencintaimu juga" Aku tersenyum lebar untuknya, begitu juga dengan ibuku yang tersenyum penuh bagiku. Aku percaya kalau ibuku akan tetap memberikan setiap senyuman penuh padaku di waktu-waktu yang akan datang meski dia memiliki orang lain dalam hidupnya. * "Bagaimana malammu?" Rose duduk didepanku membawa botol mineral dengan dua apel. Untukku dan dirinya sendiri. "Luar biasa, Harper, mereka keren ..." Rose berbinar-binar menceritakan malam kerennya tadi malam. "Bagaimana denganmu?" Aku tidak ingin menceritakannya pada Rose, namun tetap dia akan tahu dari ibunya yang sahabat ibuku dari SMA. "Kami makan malam ... Bertiga" Wajah Rose mengambang di udara dengan semua pertanyaan yang sedang disusun di otaknya. "Teman kencan ibuku," Dengan begitu bell berbunyi tanda pelajaran pertama akan di mulai. Rose tidak banyak berkomentar dan hanya mengikutiku dengan diam dari samping. "Harper, aku disisimu" Remasan lembut di bahuku cukup membuatku tersenyum saat masuk ke kelas. Rose sudah menjadi sahabat terbaikku sejak kecil. Jadi dia tahu dimana saat harus mendorongku atau menarikku kedalam pelukan. "Thanks," Setelah aku duduk, beberapa teman kelasku muncul dari pintu dengan dia salah satunya. Dia tersenyum sekilas kearahku dan aku tidak bisa berbuat banyak untuk membalasnya, aku bingung dan terkejut menerima kejutan-kejutan yang berhasil membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih dalam waktu dua puluh empat jam terakhir. "Kau oke?" Dia sedikit menunduk. Tuhan ... Jangan biarkan seisi kelas melihat kejadian ini. Aku tidak ingin berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh hanya dengan perlakuan kecilnya yang kebetulan saja. "Tentu" "Baiklah" Ms. Watson datang dengan banyak buku di tangannya. Aku bersyukur dengan kedatangannya hingga tepukan lembut yang kurasakan dari belakang jelas dari Rose, tidak bisa kubalas. "Aku rasa kalian harus menyerahkan tugasnya sekarang!" Suara penuh kebencian dari Ms. Watson mampu membuat beberapa orang mengerang tidak suka. Aku merasa tidak ada dampak berarti pada otakku selama Ms. Watson dan beberapa guru lainnya yang memberikan ilmunya padaku dan teman sekelasku, aku hanya memikirkan kejadian langka yang melibatkan dia. Jujur, kami tidak dekat dan hanya kejadian sore kemarin interaksi kami yang paling mendekati batas normal. "Ayo, aku butuh penjelasan darimu!" Rose menarikku dari dudukku untuk mengikutinya. "Rose, kita sedang belajar" Rose semakin cepat menarikku ke lorong yang menuju kantin sekolah. "Ini jam makan siang, t***l" Dengusnya. Aku tidak menyadari sama sekali kalau kelas sudah berakhir dan sekarang aku berada di kantin, duduk di kursi acak. Aku dan Rose tidak pernah menandai dimana kami harus duduk atau itu harus jadi meja kami, kami berpikir selama tempat itu nyaman dan bersih, maka kami akan duduk. "Apa itu?" Aku takut melihat mata Rose yang menatap tajam padaku, Ia seperti memancarkan sinar X pada wajahku untuk menakutiku. Mengangkat bahu. "Aku tidak tahu" Rose memutar matanya dengan indah didepanku seperti mengejek penuh kesopanan. "Seperti aku percaya" Aku memang tidak tahu harus menjelaskan apa pada Rose soal kejadian langka antara aku dan Mike. "Baiklah Ros, kau mau tahu yang sebenarnya?" Tanyaku padanya. Rose memamerkan gigi putihnya padaku. "Aku tidak ada apa-apa dengan Mike Feltson, dia hanya menyapaku saja" "Begitu ya?" Tanya Rose dengan polos. "Tentu saja. Aneh saja kalau kau berpikir aku dan Mike bertukar ludah di kelas kosong" "Aku percaya." Katanya tersenyum. " Tapi bukannya itu keinginanmu untuk bertukar ludah?" Ada kalanya Rose bisa menyebalkan seperti ini. Dia bisa menebakku yang ingin bertukar ludah dengan Mike sepanjang tahun ini. "Tidak usah berpikir banyak, aku bisa tahu dari wajahmu yang terus mengharapkannya." Sial. Kali ini aku kesal padanya. Aku melempar tatapan kesal padanya yang dibalas dengan cengiran bodohnya. "Apa?" Tanyanya dengan tawa. Rasanya aku ingin mencokel bola mata birunya yang begitu terang setiap kali menemukan hal yang lucu. Menggeleng. "Kau menyebalkan" Aku tersenyum padanya, tertawa bersamanya. "Aku tahu." Jawabnya. * Melihat Ibuku berdandan untuk pria lain rasanya aneh, dulu dia selalu tampil cantik di setiap waktu untuk ayahku. Sekarang melihatnya mengenakan Make Up dan pakaian bagus-yang kurasa baru dibelinya karena aku tidak pernah melihat sebelumnya. Dia cantik. Seperti menyadari ada seseorang yang terus memperhatikannya, Ibu melihatku yang sedang bersandar di ambang pintu kamarnya. "Aku akan sedikit pulang terlambat." Katanya. Dia menyemprotkan sedikit parfum ke beberapa bagian tubuhnya. "Wanginya sedikit berbeda." Ujarku setelah mencium aromanya. Ini bukan parfum miliknya, apa teman kencannya yang memberinya? "Aku tidak ingin wangi kesukaan ayahmu tercium orang lain" Sebelah matanya sedikit mengedip padaku sebelum berdiri dari kursi riasnya untuk merapikan pakaiannya. Aku tidak bisa berkata apa-apa. "Aku harus segera pergi. Harper, periksa semua sudut rumah sebelum masuk kekamarmu." Dia berlalu setelah mencium pipiku. Rasanya ini pertama kali aku sendirian dirumah dalam beberapa tahun, tidak ada hal menarik didalam rumah hanya saja rumahku cukup keren untuk seukuran janda beranak satu. Ayahku meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan, dia meninggalkan sedikit warisan dari tempat bekerjanya dan beberapa uang Asuransi untuk biaya pendidikanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi hingga dua tahun lalu datang beberapa orang yang mengambil sedikit tabungan yang kami milikki, Ibuku tidak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dia hanya mengatakan "Ibu rasa sudah saatnya menggunakan ijasah sarjananya untuk bekerja". Dari sanalah dia bekerja keras untuk kehidupanku yang nyaman. Berjalan ke dapur dan membuka lemari es untuk mengambil buah kesukaanku, Apel. Aku mendengar suara mesin mobil didepan, apa mereka sudah pulang? ... Tungu. Bukannya Ibuku baru berangkat dua jam lalu, apa mereka tidak bercinta? Apa mereka bertengkar ... "Harper ...?" Aku keluar dari dapur dengan menggigit Apel, Ibu tampak baik dan super bahagia. "Apa kalian tidak terlalu cepat untuk pulang?" Ibu meloncat ketempatku dari tempat terakhirnya berdiri. "Kurasa tidak, Harper ... Mack melamarku" Jeritnya. Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kau tidak ... Mar-" "Mam, selamat!" Aku memeluk Ibuku sangat erat untuk membuatnya berhenti bertanya padaku tentang perasaanku. "Terima kasih" Aku ingin mencoba menahan air mataku yang akan jatuh. Aku tidak tahu apa yang kurasakan. "Kapan kalian menikah?" "Secepatnya" Aku tidak tahu maksud dari kata 'Secepatnya' berakhir disini, di kebun belakang rumah Mack yang besar. Hanya butuh waktu dua minggu untuk mewujudkan rencana pernikahan mereka yang tampak sederhana namun terkesan indah. Dengan gaun pengantin sederhana dan jas hitam, mereka resmi menjadi sepasang suami istri yang sangat bahagia. "Ibumu tampak bahagia" Suara dari sampingku. Tentu saja, mereka tidak segan-segan untuk memamerkan kemesraan didepan para tamu. "Kapan aku bisa melihatmu di altar dengan Mike Feltson?" Rose terkekeh. "Rose, kau semakin menyebalkan!" Desisku mengambil minuman yang dibawa para pelayan berkeliling. "Jika aku menikah, aku tidak akan mengundang siapapun!" Dalam sekali tegukan, aku menghabiskan minuman yang rasanya sedikit aneh di lidahku. "Aww, aku merasa tersanjung dengan keinginanmu itu. Harper ... Aku merasa bahagia jika aku tidak di undang olehmu" Aku tahu Rose bercanda. Dia tidak akan serius. Aku ingin pernikahanku menjadi kebahagian semua orang juga. "Lihat saja nanti," Dengan begitu kami tertawa cukup keras, membuat keributan kecil yang cukup diperhatikan tamu sekitar. "Kau yakin?" Aku menoleh pada Rose yang tampak serius. "Soal?" "Kau tahu? Rumahku selalu terbuka untukmu" Rose merangkul pundakku. "Aku khawatir kau bisa membakar rumahmu sendiri" "Sangat lucu, Rose." Kataku berusaha bergeser darinya. Tapi itu sulit. Aku rasa aku akan baik-baik saja dengan tinggal sendiri dirumah untuk beberapa hari kedepan. Well ... Setidaknya ada beberapa barang pecah didapur. "Mereka berencana pergi kemana?" "Ke Asia." Jawabku pendek. Ibuku dan suaminya akan langsung berangkat ke salah satu negara Asia untuk berbulan madu selama beberapa hari. "Dan kau tidak mau ikut dengan mereka?" Apa sih Rose? Apa dia orang bodoh? Tidak ada orang yang ikut pada bulan madu pada pasangan yang yang sudah kesepian selama bertahun-tahun. Kecuali orang itu tidak punya malu. "Eww ... Sangat menjijikan aku ikut dengan pasangan yang sedang dimabuk seks!" "Kau terlalu sentimel sekali, ayolah ... Jangan tunjukkan kita ini masih perawan, setidaknya pura-pura saja kita sudah berhubungan seks dengan pria idaman" Rose sepertinya terlalu berduka dengan status perawan yang masih melekat pada kita berdua. "Kau gila, Rose!" Aku harus segera pergi darinya. "Kau mau kemana?" Rose mengejarku yang berjalan ketempat pasangan baru bahagia. "Ke neraka!" Jawabku tanpa melihatnya. Kupastikan sekarang Rose berhenti ditempat. Dan benar saja, dia berdiri dibelakangku tanpa mengikutiku lagi. Mack tidak pernah melepaskan tangannya dari pinggang Ibuku. Dan aku rasa itu cukup untuk membiarkannya membawa ibuku ke luar negeri menaikki pesawat. Aku tidak tahu apa Ibuku sudah memberitahu Mack tentang sedikit ketakutannya pada pesawat semenjak Ayahku meninggal. "Harper, Ibu sudah mengisi semua kebutuhanmu selama seminggu kedepan" Kami berdua berdiri didalam kamar Mack yang besar dan rapi untuk berganti pakaian. "Ya, Mam" "Kau tidak mau menginap dirumah, Rose? Aku akan lebih tenang meninggalkanmu" Suaranya sedikit ragu. "Mam, aku bisa jaga diri dan tidak usah khawatir" Aku membantu Ibuku melepaskan gaun pengantinnya. "Kalian harus bersenang-senang" "Terima kasih, sayang!" Pelukan terakhir Ibuku yang terasa berbeda dari biasanya-mendalam dan terlalu erat sampai aku sedikit susah bernapas tapi aku tidak akan memberitahunya, karena aku membutuhkan pelukannya. "Sudah saatnya berangkat" Mack berdiri dibelakang kami dengan sorot mata yang teduh. "Berhati-hatilah" Aku tersenyum sebisa mungkin pada mereka. Mack mendekat padaku. "Harper, aku akan menjaga ibumu dan membahagiakan kalian berdua" Bibir Mack mencium rambutku. "Aku mencintai Ibumu" "Terima kasih" Bisikku. Mereka berdua keluar dari kamar ini dengan berpegangan tangan. * Aku tidak pernah membenci sekolah seperti hari ini. Orang-orang menatapku tanpa henti. Aku tahu aku cukup terkenal di kota ini dengan berbagai kisah yang menyertainya. Seperti anak yang di tinggal mati oleh ayahnya karena kecelakaan pesawat, atau menolak pria paling diminati di kota ini, dan sekarang dengan berita baru yang cepat menyebar di kota. Pernikahan Ibuku. Aku merasa semakin terkenal saja. "Apa aku tampil cantik?" Tanyaku spontan pada Amber yang berdiri di depan lokernya. Loker kami saling berdekatan. "Sial, kau selalu cantik, Harper Grace" Amber menutup lokernya dan bersandar. "Semua orang selalu ingin sepertimu, kau tau ... Kau itu cantik, pintar, dan berteman dengan siapa saja. Well ... Termasuk aku yang tidak cantik" "Ini tidak lucu, kau itu cantik!" Bentakku. Amber sedikit menegang. "Kau ini salah satu sahabat terbaikku setelah, Rose." Amber menubrukku cukup keras. "Aku menyayangimu" Bisiknya dalam pelukanku. Pertemenan kami dimulai saat Amber datang sebagai orang baru di kota ini tiga tahun lalu. "Kalian pacaran?" Kami melepaskan diri dan menatap gadis pirang berkacak pinggang di belakang kami. "Sepertinya" Jawabku geli. Rose mengernyit mendengar jawabanku. "Rose, kau tidak cemburu?" Amber mendekat pada Rose. "Tidak, hanya saja aku kesal, Harper, berselingkuh padamu" "Hei. Aku tidak berselingkuh dari siapapun! Kalian pacarku meski tidak bisa memberiku o*****e besar" Aku terkikik malu-malu setelah mengatakannya. Untung saja tidak orang lain yang mendengarnya. "Ew, kau jijik!" Amber merangkul Rose, meninggalkanku yang sedikit bengong. Detik yang lalu mereka berdua memperebutkanku sekarang mereka membuangku begitu saja. Ini tidak adil. "Harper, ayolah kita bisa terlambat" Panggil Amber. Aku tersenyum lalu berlari pada mereka berdua yang menungguku dengan tangan terbuka. Masuk kelas sama saja dengan jatuh didepan banyak orang. Semua mata melihatmu. Aku menghembuskan napas pelan sebelum duduk di tempatku yang dimana akan lebih sering namaku disebut dari hari biasanya. Beberapa teman sekelasku berusaha untuk mencari tahu tentang pernikahan baru Ibuku yang mengguncang kota. Janda Peter Colt, menikah dengn pria kaya yang tidak jelas asal usulnya. Berusaha untuk tidak memperdulikan tatapan dan ratapan sekelas, aku membuka sebuah buku yang sudah kuhapal di luar kepala. Baiklah bersikap tidak peduli akan dunia sekitar selama kau tidak merasa rugi. "Rasanya sedikit aneh melihat orang membaca terbalik" Aku mendengar suara setengah berbisik dari belakang yang mengakibatkan merinding. "Kecuali itu keahliannya" Tawanya begitu merdu terdengar olehku, bahkan aku hanya bisa mendengar suaranya saja didalam kelas ini. "Eh ... Aku tidak ..." Sialan. Aku baru menyadari jika buku Sleeping Beauty yang sudah usang ini terbalik. "Kau ... Sangat lucu" Kekehnya begitu lembut. Dia bilang aku lucu untuk ukurannya. Tapi aku merasa ini tidak sangat lucu melainkan hal terbodoh yang kulakukan di depan anak lelaki yang ku kagumi. * "Lalu aku makan semuanya, kau tidak percaya?" Teriakku pada telepon. "Wow ... Kau patah hati ya?" Jawab dari sana dengan entengnya. "Dengan siapa?" "Maybe, Mike Feltson ... Kau tahu? Dia akhir-akhir ini terlihat menempel pada Victoria" Benar sekali. Seminggu ini Mike selalu terlihat bersama gadis baru itu yang sedang berusaha menyusul popularitasku di sekolah, dia cantik dengan rambut pirang bersinarnya. "Rose ... Aku baik-baik saja, aku hanya ... L-lapar saja" Mungkin hembusan napasku bisa terdengar di ujung telepon sana. "Harper, kau bisa saja tidur denganku sekarang" "Aku tidak apa-apa, Ros." Aku memang cukup baik tinggal sendirian dirumah ini. Tapi aku merasa tidak baik saat melihat Mike dengan gadis lain. "Harper, aku harus memberitahumu soal Mike, dia-" "Sial!" Pintu depan rumahku diketuk cukup keras. "Ada apa?" Tanya Rose khawatir. Duk Duk Duk "Rose, sampai disini. Nanti aku telepon lagi" Duk Duk Duk
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN