Bantuin Cowok Medit

1987 Kata
"Ni, kamu nanti pulang agak malem dikit ya." Bagas. Si bos muda pemilik café ini tiba-tiba menghampiriku dan memintaku untuk pulang larut. Eh, salah. Agak malem. Tumben, kenapa ya? "Memangnya kenapa, Mas?" Jangan kaget kalau aku memanggil dia 'Mas' semua karyawan disini memang di perintahkan memanggilnya 'mas', dia tidak mau di panggil bos, katanya sih, dia belum layak mendapatkan panggilan itu, apalagi dipanggil bapak, malah tidak akan mau dia. 'Saya ini masih muda, istri saja belum punya masa dipanggil, Pak.' Bijak banget emang si bos satu ini, dia tuh dermawan, murah senyum, kaya, ganteng, dan satu lagi masih single. Beh! Coba aja aku jadi istrinya sujud syukur dah punya misua kayak dia. "Nanti kamu anterin pesanan ke pelanggan ya, sekitar jam setengah sembilan, sebenarnya tadi saya mau suruh Bayu, tapi dia ada urusan, katanya ibunya sakit, terus juga alamatnya lebih dekat di tempat kamu pulang. Jadi nanti sekalian kamu bisa langsung pulang. Gimana? Lumayan 'kan, bisa pulang cepet dari biasanya. Nanti saya kasih uang tambahan deh. Kamu mau 'kan?" "Mau, Mas. Mau banget." Mendengar kata uang aku langsung menyahut cepat. Gercep banget pokoknya kalau masalah duit. Bagas saja sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuanku. "Ya sudah, tunggu sebentar ya." Aku mengangguk, kemudian Bagas kembali melenggang pergi. Aku mengecek jam yang ada di layar ponsel, ternyata kurang lima belas menit lagi aku mengantar pesanan itu. Tidak lama setelah menscroll ke kanan dan ke kiri menu ponselku, Bagas kembali datang dengan dua kantong kresek berlogo nama café ini. "Itu satunya buat kamu aja, Ni. Hitung-hitung itu tambahan dari saya karena udah ngasih kerjaan yang bukan tugas kamu." Aku memandangi kantong kresek yang ada di tangan ku. Wait!! si Bagas nggak bakal kasih tips tambahan dengan isi kantong kresek ini 'kan? Tadi dia bilang uang kok. Kupingku beneran nggak budek lho. "Tenang, uang tambahan yang saya janjikan ada kok. Itu emang sengaja saya kasih ke kamu buat makan malam, belum makan 'kan, kamu. Biar nanti kalau udah sampai rumah kamu nggak perlu masak-masak lagi." Kok dia bisa tahu sih yang aku pikirin. Tapi emang dasarnya orang dermawan jadi nggak kaget kalau suka berbagi. Eh, tunngu... dari mana Bagas tahu kalau aku belum makan ya? Bodo amat, dah, yang penting dapat makanan gratis, lumayan nggak usah beli, ataupun masak. "Saya beneran boleh langsung pulang nih, Mas?" Bagas mengangguk sambil tersenyum. Duh, senyumnya itu lho, bikin cewek-cewek sampai lupa boker. Manis banget. Calon suaminya siapa sih, dia? Kalau aku tikung di sepertiga malam masih bisa nggak ya? "Ni, jangan bengong. Udah sana buruan anterin!" Aku sampai gelagapan sendiri di tepuk-tepuk Bagas. Ckckck! Melamun tidak tahu tempat, ngehalunya ketinggian lagi. Karena sudah mendapat izin pulang, aku pun langsung segera pergi menuju alamat pelanggan, untuk mengantarkan pesanan. Yes! Akhirnya bisa pulang lebih awal, bisa rebahan bentar sebelum nyelesein revisian aku. Café tempat aku kerja itu kalau malem emang nggak buka sampai larut banget, paling mentok cuma jam sepuluh malam, makanya aku berani ambil sif malam kalau lagi nggak ada duit. "Ini orangnya mana ya? Kok sepi banget sih." Aku celingak-celinguk di jendela yang terbuka sedikit, udah kayak orang mau nyolong aja. "Permisi. Sepeda, eh salah. Mas, Mbak, pesenannya udah dateng." Aku mencoba berteriak, bahkan mengetuk pintu berkali-kali, tapi tetep aja nggak ada jawaban. Apa ini rumah kosong ya? Dan yang pesen adalah sesuatu yang... kalian bisa bayangkan sendiri 'kan, apalagi dari tadi aku mencium bau-bau gosong. Aku mengendus ke arah pintu, mencoba memastikan indra penciuman ku tidak salah. Persis seperti Roy Kiyokci. "Bener, ini bau gosong, idung aku lagi nggak mampet kok." Karena penasaran apa yang sedang terjadi di dalam, akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Bodo amat nanti kalau diamuk warga, lagian kalau ini tanda-tanda kebakaran mereka juga yang bakal susah. "Eh? Nggak di kunci?" Aku mencoba memasuki rumah minimalis ini, hawanya dingin banget, sepi, ditambah lagi bau gosong, udah kayak mau uji nyali aja aku. Tapi ini rumah kok sepi banget, beneran ada orangnya nggak sih. "Permisi, saya mau nganter pesanan- astaghfirullahaladzim." Aku hampir saja terjungkal gara-gara nyandung sesuatu. What? Ini kan kaki orang. Aku mencoba menelusuri kaki tersebut sampai ujung kepala. Daffin? Ini beneran cowok hemat, sinis bin sengak bin medit yang tadi mesen air putih doang di café? Masa iya sih yang pesen makanan ini dia, buat apa coba? Terus kenapa dia tinggal di rumah kontrakan ini, setahuku dia anaknya orang kaya deh. Tanpa mikir lebih lama lagi aku segera mematikan kompor dan memindahkan panci yang hampir gosong itu ke wastafel dan menyiramnya dengan air, hampir aja nih rumah kebakaran gara-gara panci yang tadi di atas kompor udah nggak ada isinya sama sekali, entah dia lagi masak air atau apa, nggak tahu. "Daffin, bangun, Daf. Kamu ngapain tidur di dapur?" Aku menepuk pipi Daffin keras, tapi sang empunya cuma menggeram dengan alis tertaut seperti menahan sakit. "Kamu kenapa, Daf?" "Ban... tuin." "Iya bantuin apa, ngomong yang jelas." Lha iya, Daffin itu minta bantuin apa coba, dalam keadaan begini ngomongnya masih aja di hemat. "Rumah sakit." Rumah sakit? Nih cowok lagi sakit? Ya Allah! Kok dari tadi aku nggak kepikiran gitu sih, padahal udah jelas dia lagi nahan sakit. Bego banget. Aku mengangguk, kemudian memapah Daffin keluar dari rumah. "Kamu ada motor, Daf?" Daffin menyerahkan kunci motor yang ada di sakunya, kemudian menunjuk samping rumah. Nih cowok nggak kuat ngomong kayaknya, tapi di saat sehat juga sama aja sih. Setelah mengeluarkan motor di samping rumah, aku kembali masuk ke dalam untuk mengambil plastik yang berisi makanan. Eman kalau ditinggal, nanti setelah nganterin Daffin aku mau langsung pulang, bodo amat, biar nanti dia di urus keluarganya. Aku pun memapah Daffin dan membantunya naik di atas motor. Nggak usah dijelaskan lebih lebar gimana posisinya, pokoknya susahnya minta ampun, kalian bisa bayangin 'kan, posisinya jadi aku, udah pendek begini di tambah harus mapah Daffin yang tingginya ngalahin tiang listrik, masih untung tuh cowok nggak ambruk ketimpa motor, udah was-was aja aku kalau sampai hal itu terjadi. Setelah memastikan posisinya Daffin oke, aku pun ikut naik ke atas motor. Duh! Ribet banget sumpah. "Daf, pegangan yang kenceng, jangan sampai kamu jatuh. Tapi Awas, pegangannya cuma di perut doang, jangan sampai melipir sampai atas, eh, yang bawah juga!" Bukannya gimana-gimana ya aku bilang kayak gitu, cowok itu pikirannya nggak bakal jauh-jauh dari yang namanya m***m, meskipun dia dalam kondisi sakit sekalipun, jadi lebih baik aku berjaga-jaga dengan menegur Daffin lebih dulu. Setelah memastikan Daffin berkata 'Hmm' aku baru menyalakan mesin motor dan bergegas melesat ke jalanan untuk segera menuju rumah sakit. "Daf, kamu kalau ngremes jangan kenceng-kenceng, dong! Sakit tahu!" Daffin tidak menghiraukan perkataan ku, dia masih saja melakukan hal yang sama, mana dari tadi mulutnya bergumam am-em-am-em terus lagi. Sakit ya sakit, tapi nggak segitunya juga dong. "Daf, jangan di remes terus, geli tau." Daffin masih aja nggak gubris perkataan ku, malah tangannya semakin kuat menekan. "Daffin, kalau kamu masih remes-remes perut aku, aku nggak segan-segan buat lempar kamu ke jalanan!" Setelah ngomong begitu Daffin akhirnya menghentikan kegiatannya, walau sekarang dia ganti mencengkeram pinggiran baju ku. Lagian dia itu cowok, tahan dikit kek sakitnya, kalau dia masih aja ngelakuin tadi yang ada kita berdua masuk rumah sakit, nggak tahu apa kalau dari tadi aku kegelian, mana agak sakit lagi. Sesampainya di rumah sakit, aku membantu Daffin dengan memapahnya kembali. Pria yang ada di sampingku ini masih meringis kesakitan. Dia sebenarnya sakit apa sih? Lagian kalau udah tahu sakit kenapa nggak di rumah aja coba. "Suster bantuin, temen saya mau lahiran!" Daffin yang mendengar perkataan ku langsung melotot tajam, tidak terima mungkin aku katain mau lahiran. Tapi aku nggak perduli, buktinya langsung ada suster yang menghampiri kami. "Mana Mbak temennya?" "Ini Sus." Aku menolehkan kepalaku ke arah Daffin dan dibalas kernyitan bingung oleh suster yang bertanya tadi. Aku nyengir lebar, sambil menahan berat tubuh Daffin. "Maaf Sus, dia dari tadi perutnya kesakitan. Mungkin saja ada sesuatu yang menendang-nendang atau mungkin cacingan. Tolong diperiksa, Sus, kasihan." Suster yang ada didepan ku ini hanya geleng-geleng kepala, kemudian ikut membantu Daffin ke ruang UGD. "Dia kenapa sih, Dok?" Aku mulai kepo sama penyakitnya Daffin, padahal tadi niatnya setelah nganterin dia ke rumah sakit mau langsung pulang, tapi nggak tega lihat dia sendirian. Kasihan anak orang. Saat ini kondisi Daffin jauh lebih baik dari pada tadi. Cuma satu yang masih sama. Nggak banyak bicara. Dia juga udah di perbolehkan pulang nanti. "Nggak apa-apa Mbak, Mas nya ini tadi magh nya kambuh, kayaknya nggak kuat nahan sakit ya. Tadi juga udah di kasih obat pereda, lain kali tolong di perhatikan, jangan sampai telat makan ya. Nanti kalau infusnya udah habis Mbak bisa ke tempat administrasi buat membayar tagihannya, habis itu boleh pulang. Saya permisi dulu." Dokter wanita yang tadi menjelaskan tersenyum, kemudian pamit undur diri. Tatapan ku beralih ke arah Daffin. "Dengerin tuh, Daf. Kamu nggak boleh telat makan." "Hmm." Tanggapan dia cuma hmm doang? Gila ni orang, bilang makasih kek setidaknya. Emang nggak tahu diri sih dia. Nothing akhlak. "Hp kamu mana, Daf?" Aku menyodorkan tanganku ke arah Daffin. "Buat?" "Buat fotoin kamu biar viral. Ya buat hubungin keluarga kamu lah, emangnya aku mau apa bayarin biaya rumah sakit kamu. Nggak ya!" Aku harus memikirkan kedepannya, nggak mau lah kalau harus bayarin biaya administrasi, udah aku tolongin aja masih untung, nggak tahu aja tubuhku hampir remuk memapah dia yang tinggi dan gedenya jauh dari aku. "Nggak usah." "Lho, kok gitu sih, Daf, kamu tuh harus ada yang jagain paling nggak, atau kalau pulang sekarang ada yang jemput kamu." "Aku bisa sendiri." Emang sih, Daffin bisa aja hubungin keluarganya sendiri, tapi aku nggak bakal percaya sama nih orang, lebih baik aku yang melakukan secara langsung. Bukanya apa-apa ya, kalau kata orang 'kan, nolong jangan setengah-setengah, makanya aku mau sekalian tuntasin nolongin dia. Pengecualin buat bayarin administrasi ya tapi, karena aku masih lebih membutuhkan dari pada Daffin. "Bisa sendiri perut kamu cacingan, nggak usah sok iya deh, pura-pura kuat. Tadi aja rumah hampir kebakar gara-gara kamu. Lagian aku nggak bakal percaya gitu aja sama kamu. Udah sini, mana hp kamu!" Aku kembali menyodorkan tangan ku, kali ini di barengi dengan pelototan tajam. Tidak lama setelah itu Daffin menyerahkan hp nya dengan malas. "Lagi pula kamu tuh harus tahu diri, Daf. Udah di tolongin jangan minta yang aneh-aneh. Kamu nggak tahu 'kan, jam istirahatku jadi kepotong gara-gara kamu." Aku kembali menyerahkan benda pipih itu kepada Daffin setelah memberi kabar bahwa putranya sedang sekarat dan kejang-kejang di sini. "Nggak tanya." Eh, bambwank, nylekit banget omongannya. Iya sih dia nggak tanya, tapi nggak perlu di perjelas juga dong. Emang nggak ada akhlak manusia satu ini, apa perlu aku beliin akhlak biar adem dikit kalau ngomong. "Terserah kamu, lah. Oh iya, makanan yang kamu pesen tadi aku tinggal di meja makan, jadi kamu jangan salahin aku ya, kalau bilang belum nganterin." "Makanan apa?" 'Makanan kucing, Daf' Pakai tanya lagi dia, emang sakit magh bisa bikin orang amnesia apa. "Ya makanan yang kamu pesen di café tempat aku kerja tadi. Masa kamu lupa sih." "Aku nggak pesan." Ha? Nggak pesan? Serius? Jangan-jangan aku salah alamat lagi, atau Daffin mau ngeprank aku ya? Oh, tidak bisa, Nini Adriani tidak semudah itu di kerjain. Aku pun mengeluarkan ponsel ku dan membacakan alamat yang tadi di kasih sama Bagas, untung aja sempet aku catet di ponsel. "Bener 'kan, alamatnya? Kamu nggak usah ngerjain aku deh, Daf. Nggak mempan!" Aku memperlihatkan alamat yang tertera di hp ke arah Daffin. "Hmm, tapi bukan aku." Aku cuma berdecak, ya udah lah terserah, yang penting kewajibanku sudah selesai, saatnya aku pulang dan istirahat. "Aku mau pulang aja, Daf, udah malem, nanti kamu tunggu aja orang tua kamu." Daffin hanya mengangguk dan bergumam 'Hmm' baru kemudian aku langsung keluar dari ruangan dia setelah menyambar kantong plastik yang tadi aku geletakkan di atas nakas. Saat dalam perjalanan meninggalkan rumah sakit, aku tidak sengaja hampir di tabrak oleh sepasang suami istri yang berjalan terburu, sekilas ku perhatikan wajahnya agak mirip Daffin. Tapi aku nggak perduli, nggak kenal soalnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN