Edward tersenyum cerah. “Ayo.”
“O-oi! Lepaskan tanganku!”
Mr. Smith benar-benar pergi tanpa sadar jika yang berada di balik tubuh Edward Hoover adalah seorang Drystan Levin. Drystan tidak begitu hapal dengan orang-orang di kepolisian, dan ia sendiri juga yakin tak semua anggotanya tahu tentang identitasnya usai campur tangan Darren. Tapi tetap saja, adrenalinnya memuncak hebat tiap kali ia melihat orang-orang dengan seragam polisi mendekat.
Edward menarik lengan Drystan, memaksanya ikut meski Drystan terus memberontak sepanjang jalan. Beberapa orang di jalanan Upper East Side memandangi mereka aneh, dan Edward sama sekali tak menggubris dan terus menyeretnya. Drystan bisa saja memanggil orang-orang yang menjaganya di area ini, tapi membuat keributan bukanlah hal yang baik. Darren adalah manusia kaku sejati, ia akan sangat marah dan menghukumnya jika sampai Drystan membuatnya susah. Drystan ingin sekali melawan, tapi merasakan betapa kuatnya cengkraman Edward dan fakta bahwa ia tak kuasa melepaskan diri membuatnya khawatir.
Ia mengutuk posisinya saat ini. Upper East Side selalu ramai, dan itu pula lah yang membuatnya tak bisa bergerak bebas. Sekadar menarik pistol saja pasti akan menimbulkan keributan, apalagi menembak kepala Edward di sini.
“Apa yang ingin kau lakukan? Jika kau memang sangat ingin menyerahkanku ke kantor polisi, kenapa tidak kau serahkan saja aku kepada polisi yang barusan?”
Edward berhenti. “Siapa yang bilang kalau aku mau menyerahkanmu ke kantor polisi?”
“Hah?”
“Sepertinya kau memang sangat anti dengan polisi ya?”
Drystan menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak menghardik pria di hadapannya. Perkataannya selalu saja menimbulkan kekesalan Drystan. Dia benar-benar aneh dan menyebalkan. Seandainya Drystan tahu identitasnya yang sebenarnya, maka ia bisa dengan mudah membuatnya tak lagi mengganggu. Masalahnya, sampai sekarang bawahan Kakaknya belum juga memberikan apa yang Drystan minta. Kehidupannya sudah riskan sejak ia memulai pekerjaan ini, makanya ia selalu butuh informasi secara cepat demi mengamankan diri. Drystan harus berusaha keras menahan hasrat untuk membunuh pria itu secepat kilat saking kesalnya.
Setelah sekian lama ia selalu lolos dari orang-orang asing yang tahu identitas aslinya, tiba-tiba ada seorang pria menyebalkan yang terus-terusan merecokinya. Drystan curiga jika dia bagian dari kepolisian melihat lengkapnya dokumen tentang ia juga fakta bahwa Edward Hoover mengenal Mr. Smith yang merupakan anggota kepolisian setempat.
Drystan menarik lengannya, meski tetap tak lepas dari genggaman Edward. Pria di hadapannya berhenti dengan sebelas alis naik. “Ada apa?”
“Kau tanya? Lepaskan aku, sialan!”
“Ikut aku. Aku tidak akan membawamu ke kantor polisi kok, tenang saja.”
Drystan menggeleng keras. “Aku tidak mengenalmu, lepas!”
Edward menghela napas. “Namaku Edward Hoover, salam kenal Drystan Levin.”
Kedua bola mata Drystan melotot tajam, giginya bergemeletuk. Menyebut nama aslinya adalah larangan di tempat umum, dan seorang pria asing tiba-tiba dengan santainya menyebut namanya. Ketakutan Drystan mungkin berlebihan, namun semua itu beralasan.
Edward sepertinya juga tidak peduli dengan protes yang dilayangkan Drystan dan terus saja membawa pemuda itu bersamanya. Sepanjang jalan Drystan mengucapkan sumpah serapah yang tak terkira jumlahnya, dan sialnya Edward hanya menyeringai geli melihat tingkah Drystan.
Keduanya sampai di salah satu rumah masih di kawasan Upper East Side. Agak ujung mirip dengan posisi rumah Drystan yang berada di sisi belawanan. Setelah membuka kunci dan pintu, Edward menarik Drystan masuk dan menuntunnya untuk duduk di sofa ruang tamu. Drystan menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut.
“Untuk apa kau membawaku ke rumahmu?”
Edward kembali tersenyum. Drystan mendengus, senyuman Edward benar-benar membuatnya kesal entah karena apa.
Edward mengambil beberapa dokumen dari sebuah rak di ruang tamu dan meletakkannya di hadapan Drystan. Drystan melirik dokumen-dokumen itu dan membelalak.
“Ini….”
“Pembunuhan seorang gadis belia yang baru saja terjadi. Sepertinya dibunuh lalu diperkosa, atau diperkosa sampai mati?”
Drystan meremat ujung pakaiannya. “Menjijikkan.” Gumamnya tanpa sadar.
Edward menaikkan sebelah alisnya dan kembali tersenyum tipis. “Benar, gadis yang malang.”
“Lalu apa hubungannya denganku? Ku pikir catatan kriminal seperti ini tidak boleh ditunjukkan secara asal kepada orang asing.”
“k*****t yang tega melakukan hal seperti itu kepada seorang gadis kecil pastilah sangat mengerikan. Bukankah kau benci kekerasan kepada anak-anak?”
Kedua bola mata Drystan melebar. “Apa sebenarnya tujuanmu?”
“Polisi sedang mengusut kasus ini, tapi aku tidak yakin apakah akan cepat tuntas. Setiap hari selalu banyak laporan kriminal entah kejadian ringan atau yang berat seperti ini. Laporan-laporan itu harus mengantre untuk ditangani. Beberapa polisi terkadang juga meremehkan hal-hal seperti ini atau malah kadang salah menangkap pelaku.” Edward menarik sebatang rokok kemudian terkekeh. “Sulit untuk mempercayai mereka bukan?”
Drystan menyeringai. “Wah, wah, aku tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari seseorang yang bahkan sangat akrab dengan seorang polisi.”
Edward mengerti jika Drystan tengah menyindir. “Berteman dan sopan santun itu beda, Drystan.”
“Seperti aku peduli saja.”
Edward menghela napas, ia melepaskan dasinya dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Penampilan yang tidak pernah dilihat Drystan sebelumnya. Bahkan, rambut pirangnya yang selalu tampak rapi ke belakang sekarang jatuh menutupi dahi. Edward tampak….
“Kau tertarik melihatku?” seru Edward geli.
Drystan melotot tak terima. “Kau!!!” Drystan berdiri, mengayunkan kepalan tangannya dengan penuh amarah. Edward terbahak senang, menahan pergelangan tangan Drystan sebelum kepalannya menyentuh wajah.
“Tenanglah Drystan, kenapa kau gampang sekali marah, astaga.”
Drystan meronta, menarik-narik tangannya. Ia berusaha menendang Edward meski terus saja gagal. Pria itu memiliki perawakan tubuh yang lebih besar dan lebih tinggi dari Drystan, telapak tangannya saja terasa lebih besar. Drystan kesulitan melawan jika dengan tangan kosong. Sebersit keinginan untuk menusuk pria itu dengan jarum andalannya muncul, tapi Edward Hoover tidak ada masalah apapun dengannya selain kelakuannya yang membuat kesal setengah mati. Drystan tidak bisa membunuh orang sembarangan hanya dengan alasan; orang itu sangatlah mengganggu.
“Harusnya kau tanya dirimu, kenapa aku bisa marah hanya dengan melihat wajahmu!”
“Tapi aku cukup menarik untuk dilihat ‘kan? Um…. Iya! Iya! Aku tidak akan menggodamu lagi.” Edward melepaskan Drystan yang menggigit lengannya. “Sudah, ayo kembali ke topik.”
Aneh karena Drystan menuruti apa yang dikatakan Edward dan kembali duduk diam. Ia menyilangkan kedua lengannya di depan d**a dengan wajah menekuk kesal, tanpa ia tahu bahwa Edward terus-terusan menyeringai geli melihat tingkah Drystan.
Edward menunduk di hadapan Drystan, dengan kedua mata menatap lurus kepada Drystan, raut geli dan menyebalkannya hilang, berganti menjadi raut wajah serius yang—entah mengapa—membuat Drystan reflek memundurkan kepalanya.
“A—pa?” Drystan benci mengakui. Ia benci ketika sadar dirinya merasa terintimidasi. Menghadapi seorang pria bukan hal baru baginya. Tak perlu kekerasan. Drystan hanya perlu menyunggingkan senyum seduktif dan pandangan nakal miliknya dan pria itu akan tergoda. Tapi Edward bahkan sama sekali tak tergoda melihatnya.
Edward mengusap rambut pirang keriting Drystan. “Tegang? Lucu sekali.” Ia menjauhkan wajahnya sembari tertawa geli.
Wajah Drystan merah padam, campuran antara kesal dan malu. Ia merasa terhina. Dadanya terasa bergemuruh karena banyaknya tampungan kemarahan. Drystan tidak mengerti, kenapa pria ini bisa membuatnya sampai sekesal ini.
“Aku pergi.”
“Loh? Drystan! Aku belum—“
Drystan dengan cepat menggebrak meja dan mendorong tubuh Edward dengan keras.
“Jangan sebut namaku, sialan.” Drystan menekan tubuh Edward yang terbaring di atas sofa, membuat pria itu diam tak berkutik.
“Aku sudah bosan dengan kelakuanmu, setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.” Drystan keluar dengan membanting pintu.
Edward tersenyum, menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari-jarinya. Ia meraba lehernya yang sempat dicekik oleh Drystan.
“He, menarik.” Gumamnya pelan.
Ѡ