-happyreading-
Tiiiitttttttt.....
Suara mesin itu, berhasil membuat tubuh semua orang yang berada di ruangan itu menegang. Suara itu cukup kencang hingga dapat terdengar oleh Rival dan Ririn yang sedari tadi berdiri di depan pintu ruang ICU itu.
Dokter pun langsung keluar dan memberitahukan kabar yang mampu membuat kaki mereka semua lemas. Stephani sudah pasrah, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menangis. Sedangkan Rival, ia langsung masuk ke ruangan itu dengan wajah yang sangat merah menahan kesal. Kesal kenapa adiknya bisa menjadi selemah itu dan tidak mau berjuang untuk bangun?
BRAK!!
"DEK BANGUN DEK, LO KENAPA JADI LEMAH SIH DEK? BANGUN AYA!" teriak Rival sambil mendekati brankar Aya. Bocah laki-laki itu peduli dengan tatapan perawat yang ada di dalam ruangan itu.
Air matanya langsung menetes saat melihat kondisi adik kesayangannya. Ia langsung menggenggam tangan mungil adiknya yang sudah terasa dingin. Rival mendekatkan kepalanya ke telinga Aya dan langsung berbisik.
"Dek bangun, jangan lemah! Lo kuat, gue tau itu. Jangan tinggalin Abang, Mamah, sama Papah dek, cukup kak Jeni yang pergi, lo jangan!," bisik Rival tepat di telinga Aya.
Suara tangis pilu Stephani semakin terdengar saat mendengar kalimat bisikkan putranya. Sedangkan Ririn, ia hanya berdoa kepada tuhan untuk memberikan mukjizat pada Aya. Randy pun langsung berjalan ke arah Rival yang sedari tadi terus bergumam kepada adiknya itu. Ia memeluk Rival untuk menyalurkan kekuatan.
"Dek gue mohon bangun, jangan tinggalin gue," pinta Rival memohon.
Ia masih terus menggenggam tangan Aya, hingga ia merasakan tangan jari-jari Aya bergerak dan melihat airmata yang keluar dari mata Aya.
"DOK, AYA BERGERAK DOK, DIA JUGA NANGIS," teriak Rival polos.
Dokter pun langsung mendekat ke brankar Aya, dan memeriksa keadaan Aya. Betapa terkejutnya ia, saat mendengar jantung Aya yang kembali berdetak. Dengan cepat, ia langsung memasakan selang oksigen ke hidung Aya. Ia tersenyum saat mendengar suara detak jantung Aya sudah normal.
"Masyaallah, kalian harus bersyukur atas mukzizat yang Allah berikan untuk Aya. Dia sudah melewati masa kritisnya. Tapi, dia masih koma dan kita hanya tinggal menunggu dia sadar," jelas sang dokter sambil tersenyum tipis.
Mendengar penjelasan dokter itu, seketika mereka semua menghembuskan nafas lega. Suara isakan Rival dan Stephani sudah tidak terdengar lagi.
>~
Satu minggu sudah berlalu, kini Aya sudah terbangun dari komanya. Namun, yang membuat Aya bingung adalah ia tidak pernah melihat Jeni. Saat ditanya keadaan Jeni pun tidak ada yang mau menjawab dan langsung mengalihkan pembicaraan.
"Mah, kak Jeni gimana? Dia ga papa kan Mah?," tanyanya sambil menerima suapan dari Mamahnya.
Mendengar pertanyaan Aya, Stephanie hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Ia belum bisa memberitahukan Aya apa yang terjadi sebenarnya karna kondisi Aya belum stabil.
"Udah kamu jangan terlalu banyak pikiran dulu, habis makan kamu minum obat ya," jawab Stephani mengalihkan pembicaraan.
Mendengar jawaban mamahnya itu, Aya hanya mendengus kasar. Mamahnya selalu saja begitu, mengalihkan pembicaraan. Meskipun baru be umur 10 tahun, Aya mengetahui hal itu.
Setelah makan, Aya pun langsung meminum obat kemudian kembali tertidur. Karena efek samping dari obat yang Aya minum membuatnya tertidur lagi padahal, ia baru saja bangun tidur.
>~
Kini Aya sedang berada di depan gundukan tanah yang masih basah. Ya, dia sekarang berada di makam kakaknya. Setelah ia mendengar penjelasan mamahnya, ia langsung bergegas ke makam Jeni menggunakan ojek. Ia memang sudah keluar dari rumah sakit sejak 3 hari yang lalu, kondisinya juga sudah pulih.
Aya tak hentinya menangis terisak-isak sambil memeluk nisan kakaknya itu. Ia sangat merasa bersalah karena tidak bisa menolong kakaknya.
"Hikss.. kak Aya minta maaf, Aya ga bisa nolongin kakak," gumam Aya sambil terisak.
Aya mendongak saat merasakan bahunya di sentuh seseorang. Ia menolehkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ternyata Rival.
"Udah dek, kita pulang ya, udah sore." ucap Rival sambil mengusap belakang Aya.
Aya hanya mengangguk untuk merespon ucapan Rival. Langit sudah mulai gelap karena pukul sudah menunjukkan jam 6 sore.
Kepalanya juga terasa pusing karena sejujurnya, ia phobia terhadap kuburan dan pocong tapi, ia melawan rasa takutnya untuk menemui kakaknya.
Entah kenapa, ia sangat takut dengan pocong dan semua yang berhubungan dengan pocong seperti kuburan, kain putih dan jenazah. Ia sangat takut saat melihat jenazah seseorang yang sudah dikafani karena menurutnya, jenazah itu seperti pocong.
Apasih menyeramkan pocong itu? Padahal menurut author pocong itu setan yang paling imut. Bagaimana tidak? Ia dibungkus seperti permen kesukaan author. Hehe apasi garing....
Sesampainya mereka berdua di rumah, mereka di sambut dengan kehadiran kedua orang tuanya yang sedang bertengkar di ruang keluarga. Saat melihat siapa yang datang Reky langsung berjalan mendekati mereka dengan wajah yang merah padam. Dengan suara yang cukup keras, Reky membentak Aya.
"PUAS KAMU HAH?!," bentak Reky
"Pu-puas apa Pah?," tanya Aya sambil menunduk takut.
"PUAS KAMU SUDAH MEMBUAT KAKAK KAMU PERGI MENINGGALKAN KITA?!," tanya Reky dengan nada yang cukup tinggi
"Mak-maksud Papah?," tanya Aya yang tak berani menatap Papahnya itu.
"KAMU TANYA MAKSUD SAYA APA? PASTI ITU ULAH KAMU KAN? KAMU YANG MEMBUAT KAKAK KAMU PERGI? DASAR ANAK GA TAU DIRI KAMU!," teriaknya sambil menunjuk Aya yang sudah menangis terisak-isak.
Melihat itu, Rival pun langsung berjalan mendekati Aya, dan langsung memeluk Aya. Ia menatap Papahnya, dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
"Pah dengerin penjelasan Mamah dulu Pah," ucap Stephani yang sudah berada di samping Reky.
"Pah Aya ga salah! Dengerin penjelasan mamah dulu!," ucap Aya yang sudah berani menatap Papahnya.
Tapi, bukan Reky jika ia mau menuruti ucapan orang. Ia malah langsung pergi meninggalkan mereka, membanting pintu cukup keras sehingga membuat mereka yang berada di ruang keluarga terlonjak kaget.
"Sabar ya dek, kita jelasin nanti sama Papah. Papah pasti capek karena baru balik." jelas Stephani yang hanya diangguki oleh Aya.
>~
Sejak kejadian itu, Aya menjadi cuek. Ia berubah 180 derajat. Ia sekarang menjadi sedikit bandel. Ia tidak mau mendengar omongan orang lain.Sedangkan Reky, ia pun berubah kepada Aya. Pria itu ketus dan dingin kepada Aya. Ia juga masih belum tau kronologis sebenarnya karena setiap Stephani ingin menjelaskan ia selalu menghindar dan mengalihkan pembicaraan.
Mereka sudah pasrah, tidak ada yang bisa membantah Reky. Aya juga sudah terbiasa di perlakukan seperti itu oleh Papahnya. Yang ia bisa lakukan adalah menunggu. Menunggu Papah mau mendengarkan penjelasan Mamahnya dan bisa menerimanya kembali.
*Flashback Off
Hujan sudah mulai reda, Aya mulai mendongak menatap langit yang bewarna ke abu-abuan.
"Kak, Aya pulang ya, hujannya udah reda." pamit Aya seakan berbicara dengan Jeni.
Dengan tubuh yang basah kuyub, Aya berdiri meninggalkan pemakaman. Ia langsung menaiki motor dan mengendarai motornya menuju ke tempat favoritnya.
Tak jauh dari sana, seorang pria paruh baya melihat dan mendengarkan apa yang Aya lakukan dan bicarakan. Ia merasa menyesal, bagaimana bisa ia menyalahkan putrinya sendiri? Ya, pria itu adalah Reky.
"Maafkan Papah nak," lirihnya. Ia hanya belum ikhlaas menerima kepergian putri sulungnya.
Setelah mendengar ucapan Aya tadi, Reky langsung meminta penjelasan Stephani. Akhirnya, Stephanie pun langsung menjelaskan cerita yang sebenarnya pada Reky. Mendegar penjelasan Stephani, tubuh Reky melemas. Ia sangat menyesali perbuatannya dan akhirnya ia pun langsung mengejar Aya.
Setelah mengetahui tujuan Aya kemana, ia pun langsung bersembunyi di balik pohon dan mendengar setiap kata yang keluar dari mulut putrinya itu.
Saat mendengar omongan putrinya, hati Reky seperti di tusuk ribuan jarum. Sungguh, betapa bodohnya ia selama ini? Ia sangat tidak tega melihat putrinya kehujanan tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.
Saat melihat Aya berdiri dan meninggalkan pemakaman, Reky pun langsung pergi dari tempat itu dan pulang menuju rumahnya tanpa mau membututi Aya lagi. Karena, ia ingin memberikan Aya waktu untuk menenangkan diri.