4.4: Four

1000 Kata
Beberapa orang terlihat berdiri di setiap sudut rumah dengan sigapnya. Pakaian mereka nampak rapi dengan setelan jas masing-masing menambah kesan angkuh dan juga agak menakutkan. Di tengah ruangan ada meja panjang dengan kursi besar dan megah di depannya. Dengan di titik tengah meja ada lilin besar yang begitu cantik dijadikan cahaya untuk menerangi ruangan megah itu. Berbagai hidangan juga sudah tersaji di atasnya. Seseorang keluar dari salah satu pintu kamar membuat mereka sontak mengangguk sopan menyambut wanita yang sudah beruban itu. Wanita dengan dress panjang motif bunga sakura itu terlihat melangkah ringan menuju meja yang tersedia. Beberapa pelayannya mendekat dan langsung menarik kursi miliknya membuat wanita tua itu mendudukan diri dengan gaya elegannya. Salah satu diantara mereka mendekat dengan berdiri tenang di sampingnya. Walau remaja itu berulang kali melirik beberapa pria berbadan besar yang menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Jadi gimana, mereka sudah bertemu?" Ujarnya dengan meraih piring makanannya dan juga garpu di samping kanan piring. "Iya, Syahid yang awalnya mau pergi jadi ragu sendiri." Balas remaja itu dengan suara rendahnya masih menatap wanita parubaya itu yang sudah menyantap makan malamnya. Wanita yang tidak lain adalah Clara itu terkekeh pelan dengan bahagianya sembari kembali mengunyah makanannya dengan elegan. "Emang anak itu paling lemah kalau berkaitan dengan bundanya. Makanya saya sangat bersemangat menjalankan rencana ini, apalagi bisa memanfaatkan kepolosan Daniel." Katanya dengan kembali tersenyum lebar, "Daniel itu keras kepala, pemberontak, gak pernah nurut kalau dinasehatin. Makanya cara ini sangat ampuh untuknya, selain bisa mengembalikan Daniel kesini juga bisa melancarkan bisnis saya." Tambahnya masih antusias dengan mendongak kecil melirik remaja yang masih berseragam di sampingnya. "Iya." Clara meraih gelas minumnya dan menenggaknya habis lalu mengangkat tangannya pelan membuat salah satu pelayannya membersihkan tangannya dengan handuk kecil dan juga air hangat. "Tetap pantau keadaan Daniel ya, kalau ada apa-apa langsung laporkan ke saya." Titahnya dengan tersenyum samar membuat pemuda itu mengangguk pelan, "oh iya, nama kamu Adam apa ya. Saya rada lupa soalnya." Ujar Clara dengan mengernyitkan dahinya bingung. "Adam Maulana." Balas remaja itu dengan mengerjap samar membuat Clara menganggukan kepalanya pelan. "Oke Adam, kalau sampai Daniel masih kekeuh dan tetap pada pendiriannya. Lakukan sesuai yang sudah direncanakan, sentuh dua adiknya dan buat Daniel tidak bisa berkutik lagi." "Baik." ********** Syahid masih mematung di tempatnya memandang wanita berambut panjang gelombang itu yang baru saja memperkenalkan diri sebagai CEO baru di agensinya. Memperkenalkan diri dengan naman yang sama persis dengan nama bundanya waktu kecil. Pemuda itu mengerjapkan matanya pelan dengan mencoba berulang kali menampar pipinya kuat sampai Vania di sebelahnya tersentak kaget karena kelakuannya. Syahid menelan salivanya kasar dengan masih tidak berkedip memandang wanita bernama Alisa itu. Pemuda itu masih bingung dengan apa yang terjadi. Nalarnya masih belum bisa menerima kenyataan yang terjadi sekarang. Seseorang yang meninggal bisa hidup kembali dan kini duduk di hadapannya. Atau sosok yang ia lihat sekarang hanya terlihat mirip saja. Namun, Syahid yakin seyakin-yakinnya kalau wanita di depannya ini adalah bundanya. Karena Syahid bisa merasakan perasaan hangat saat menatap kelopak mata teduh wanita anggun di depannya ini. "Bagaimana keadaan kamu akhir-akhir ini?" Tanya wanita bernama Alisa itu dengan tersenyum manis sembari menulis sesuatu pada dokumennya. "Kenapa kamu bisa jadi model di perusahaan kami? Sekolahmu bagaimana?" Tambah wanita itu lagi masih memandang Syahid tenang. "Saya gak sekolah." "Ah. Jadi kamu keluar dari sekolah cuma buat jadi model?" Tutur Alisa dengan tersenyum penuh arti. "Bukan." Balasnya dengan masih menatap wujud yang sama persis dengan bundanya itu. "Terus kenapa, bisakah kamu jelaskan alasannya?" Katanya dengan mendekat dan mendudukan diri di sofa depan Syahid dan juga Vania yang masih menatapnya bingung. "Sekolah gak jamin kebahagiaan keluarga saya." Ujar Syahid tegas membuat Alisa terdiam dengan menatap pemuda itu tenang. "Emang keluarga kamu, kenapa?" "Maaf sebelumnya, bu Alisa. Tapi, bukannya kita kesini buat bahas masalah perpanjang kontrak ya. Kenapa jadi bahas masalah keluarganya Syahid?" Kata Vania berusaha tertawa hambar agar lebih mencairkan suasana tegang antara dua orang itu. "Oke. Sorry kalau kamu ngerasa terbebani dengan pertanyaan saya, tapi kalau saya boleh kasih saran, sepahit apapun hidup kamu. Kamu gak boleh seenaknya keluar dari sekolah dan mentingin profesi kamu sekarang. Menjadi model gak akan bisa jamin masa depan kamu kelak," ujar Alisa telak membuat Syahid merasa tertampar dan kini baru sadar. Kalau wanita di hadapannya ini bukanlah bundanya melainkan salah satu boneka Omanya. Syahid yakin. Bundanya tidak akan pernah mengatakan ucapan menyakitkan seperti itu apalagi untuk anak-anaknya. Bundanya adalah sosok ibu yang sangat sayang akan anak-anaknya. Tidak pernah membedakan mana anak sulung ataupun bungsu. Kasih sayangnya sama rata. Syahid beranjak berdiri dengan menatap Alisa tajam. "Saya out dari agensi ini." Ujarnya lalu melangkah pergi membuat Vania sontak mengekori walau menyempatkan berpamitan pada role modelnya itu. Alis terdiam dengan tersenyum miring. "Ternyata beneran keras kepala," _______ Beberapa tahanan tengah tidur siang di sel masing-masih. Ada juga yang duduk membaca buku ataupun duduk melamun merenungi semua kesalahannya selama ini. Diantara mereka ada wajah tampan dengan raut lelahnya yang seperti kurang tidur. Walaupun begitu pria itu masih tetap menjadi visual diantara para tahanan lainnya. Sel dibuka pelan membuat pria itu mendongak kecil menatap petugas. "Azzam Reswara, ada yang ingin bertemu." Ujar polisi yang bertugas membuat Azzam sontak beranjak berdiri. Pria itu melangkah ringan dengan perasaan anehnya. Dua tahun terakhir ini tidak ada yang datang membesuknya apalagi membawakannya makanan seperti teman-temannya. Yang datang terakhir kali itu Syaqila dan Syahir. Setelah itu kedua anaknya sama seklai tidak pernah menampakan diri. Azzam paham. Azzam berusaha mengerti. Kedua anaknya memang sepatutnya menjauh darinya kini karena dirinya sudah banyak mengecewakan keluarga termasuk anak-anaknya. Tapi, sejujurnya Azzam berharap dua anak kembarnya datang membesuknya. Seandainya anak sulungnya juga masih hidup. Akan menyenangkan kalau bersama-sama dengan mereka. Azzam melangkah tenang lalu mendudukan diri di depan wanita yang kini sudah duduk dengan merunduk pelan tanpa melihat kearahnya. Azzam mengerjap samar sama sekali tidak mengenali orang di hadapannya kini. "Maaf, ibu siapa ya?" Ujar Azzam pelan membuat sosok cantik itu mengangkat wajah dan sontak tersenyum samar membuat Azzam membeku ditempatnya dan berusaha meyakinkan penglihatannya. "A-Alisa?" Sosok itu tersenyum lalu berdehem pelan sembari mengutarakan sesuatu. "Long time no see, mas Azzam."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN