"Bukankah kau bilang ingin mentraktirku, Ash? Mengapa kau malah membawaku ke kebun?"
Alexa tak dapat berkata-kata lagi ketika mereka kini sedang menunduk bersembunyi di balik semak-semak, mengendap seperti pencuri. Namun, Asher seolah tak menghiraukan ucapan Alexa. Pria itu malah menatap Alexa dan menempelkan telunjuk di bibirnya seraya mengeluarkan suara desisan seperti ular, isyarat untuk diam.
"Kau cabut kol ini dan beberapa rempah di sekitar sini. Jangan sampai mengeluarkan suara berisik, mengerti?"
Alexa mengerutkan kening tak paham. "Tapi mengapa kita harus melakukan ini? Kita 'kan bisa pergi ke rumah makan."
Asher memutar bola mata malas. "Dengan rambut hitam itu?" ejek Asher melirik helaian rambut Alexa. "Yang ada kita ditangkap para prajurit itu bersama. Sudahlah, kau patuhi saja perkataanku."
Setelah berkata demikian, Asher segera bangkit dan berjalan mengendap menjauh.
"Asher, kau mau ke mana?!" pekik Alexa tertahan. Kedua matanya membelalak kebingungan.
"Sst! Cepat lakukan tugasmu!"
Pada akhirnya, Alexa hanya bisa pasrah seraya mencabut kol tak jauh darinya. Ia juga mencabut beberapa bawang merah, bawang putih, dan bawang bombai. Ketika ia berdiri sejenak, Alexa melihat cabai merah yang begitu banyak siap panen. Senyum Alexa merekah, ia langsung mengambil cabai itu agak banyak lalu menyimpannya di saku jubah yang ia kenakan.
Agaknya kegiatan menyenangkan itu terusik ketika terdengar suara keributan dan pekikan ayam dari seberang. Wajah Alexa menoleh ke asal suara, wanita itu terhenyak ketika melihat Asher berlarian sambil menenteng seekor ayam dikejar seorang wanita tua berbadan gemuk yang menentang sapu ke udara.
"Hei, ayo cepat lari!" teriak Asher.
Alexa membelalakkan mata panik, ia segera memungut sayuran yang ia petik. Beberapa buah cabai dan bawang berjatuhan. Keduanya berlari bersama, tanpa sadar tertawa di sela pelarian yang sangat konyol itu.
Entah berapa jauh dan berapa lama langkah kaki mereka mengayun. Kini Alexa menatap sebuah rumah kayu kumuh yang tampak tua. Tempat itu tampak tidak terawat, beberapa genting tampak sudah merosot berjatuhan, bahkan dipenuhi sarang laba-laba yang menggantung nyaris di setiap inchi. Kondisinya benar-benar seperti rumah hantu di film horor yang biasa Alexa tonton. Mengerikan.
"Ayo masuk!" ajak Asher lebih dulu masuk ke dalam.
Alexa terdiam cukup lama, bahkan sampai Asher menghilang ia masih di sana. Pertanyaan mulai muncul di kepalanya. Mengapa Asher membawanya ke tengah hutan dan rumah tua bernuansa horor ini?
"Kenapa kau berdiri saja di sana? Cepat masuk dan bantu aku memasak!"
Asher memanggil Alexa. Wanita itu terhenyak, meski ragu tetap memasuki rumah tua itu. Tempat itu tidak terlalu luas, di dalamnya dipenuhi tumpukan jerami dan kayu kering. Sedikit masuk lagi dan melewati sebuah pintu, menampakkan penampilan dapur yang terlihat sebelas dua belas dari penampilan fisik rumah ini.
"Cuci sayurannya di belakang, aku sudah menimbakan air di sana."
Alexa dengan gerakan kaku mematuhi perintah Asher. Di bagian belakang memang ada sebuah sumur tua yang dipenuhi lumut dan dedaunan. Tempat itu memang murni telah ditinggalkan. Setelah melakukan tugasnya, Alexa segera membawa kembali sayuran itu ke dalam. Di sana ia bisa melihat Asher yang sedang meniup tungku untuk menghidupkan api.
Alexa duduk di sebelahnya. "Omong-omong, tadi kau menyalakan api dengan apa?"
"Dengan apa?" kekeh Asher merasa lucu dengan pertanyaan Alexa. "Dengan kekuatan sihir napas naga. Bukankah itu menakjubkan?"
Wajah Alexa dibuat sukses melongo. "Benarkah?"
Pasalnya, dalam novel The Rebel, selain dunia yang disetting di tempat fiksi, tidak ada keajaiban seperti sihir. Apakah dia tersasar ke novel lain lagi?
"Astaga, lihatlah wajahmu! Apakah kau percaya begitu saja?"
"Hah?"
Ekspresi polos Alexa yang terbengong itu membuat tawa Asher meledak. Pria itu tertawa terpingkal-pingkal seraya menunjuk wajah Alexa.
"Astaga, kau harus melihat betapa bodohnya wajah ini!"
Mendengar itu, Alexa hanya bisa mendengkus kesal. "Dasar menyebalkan! Aku 'kan hanya bertanya!"
"Haha ... astaga, Nona. Sikapmu ini seperti tuan putri yang tidak pernah ke dapur saja!"
"Kata siapa?! Aku tidak seperti itu! Itu karena dapur yang kita gunakan berbeda!"
Mungkin kejujuran Alexa terdengar seperti elakan. Asher, dalam kepalanya tahu jelas identintas Alexa yang bukan berasal dari keluarga biasa. Sedangkan Alexa, dia memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Pasalnya, di abad 21, jika di dapur ia tinggal menyalakan api dengan kompor. Namun, di sini jelas pematik api otomatis belum ditemukan. Di novel pun tidak dijelaskan tentang alat itu, makanya Alexa penasaran.
Kini wajah Alexa sempurna merengut. Barulah setelah itu Asher melempar sepasang batu kecil ke arahnya.
"Namanya batu api, digunakan untuk pematik api, Tuan Putri. Haha ... astaga! Mana ada tuan putri seperti ini?!"
'Oo ... ternyata pakai batu api.'
Meski rasa penasaran Alexa terobati, tetapi ejekan tawa Asher itu tetap membuatnya kesal. Alexa semakin merengut, tetapi ia tetap memungut batu itu dan sedikit menjaga jarak. Tingkat penasarannya semakin mencuat, Alexa mengambil beberapa jerami lalu mencoba menggesekkan batu itu. Jangan salah, Alexa juga pernah mempraktikkannya ketika ekstra kulikuler Pramuka dulu saat sekolah. Hanya saja, ternyata praktiknya tidak semudah teori. Alexa sudah memukulkan dua batu itu, memang muncul percikan, tetapi tidak sampai membakar jerami itu. Alexa semakin mengeraskan pukulannya, tetapi hasilnya tetap nihil. Hingga puncak kekesalannya, Alexa mempercepat ritmenya hingga akhirnya usahanya berhasil. Muncul api membakar jerami itu dan spontan Alexa memekik kegirangan.
"Hei, Asher! Lihat, aku bisa menyalakan api!"
Namun, Asher yang posisinya sedang memunggunginya hanya tersenyum tipis. Alih-alih memuji atas keberhasilan Alexa, pria itu justru malah mencibirnya.
"Lihatlah tingkahmu, Nona. Kau seperti tuan putri yang manja, sungguh."
Alexa kembali mencebik kesal. Namun, kekesalannya pada Asher tidak bertahan lama karena ketika ia kembali menatap jeraminya yang terbakar, ternyata apinya sudah merambat hampir mengenai tumpukan jerami di sebelahnya. Alexa yang panik segera bangkit dan menginjak api itu, tak lupa dilengkapi dengan pekikan heboh seorang wanita.
"Asher!! Bagaimana ini?! Apinya! Api!!"
Mendengar kehebohan Alexa, barulah Asher menoleh. Kedua mata pria itu membelalak ketika melihat beberapa tumpukan jerami mulai terbakar.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Astaga! Berhenti bertanya apa yang kulakukan! Sekarang, cari cara untuk mematikan api ini! Astaga! Apakah kita akan terpanggang?!" Alexa semakin panik.
Asher menghela napas sejenak lalu berlari keluar, Alexa yang melihat Asher seolah hendak menyelamatkan diri sendiri segera menyusul pria itu. Namun, gerakannya terhenti ketika sampai di depan pintu, sebuah guyuran air membuat Alexa basah kuyup.
Asher yang melihat Alexa basah kuyup, menahan tawa dan berlagak pura-pura kesal. "Apa yang kau lakukan? Mau dimandikan, huh?"
"Asher!! Kau menyebalkan!"
Alexa segera keluar dan memperhatikan Asher dalam diam mematikan kobaran api dengan mudahnya. Setelah berhasil mematikan api yang dibuat Alexa, Asher segera melempar senyum mengejek pada Alexa.
"Karya yang hebat, Nona. Kau hampir memanggang kita."
Alexa merasa kesal, tetapi ketika ia hendak mengikuti Asher masuk, pria itu malah membalikkan badan di depan pintu, membuat akses masuk terhambat.
"Karena semua ini disebabkan olehmu, diam di luar sampai bajumu kering!"
Meski kesal, tetapi Alexa tetap menurut. Meski ketika di luar, mulutnya tak henti-hentinya menggerutu. Sesekali Alexa menggerutu kesal karena aroma masakan Asher yang tercium sampai ke luar itu membuat cacing-cacing di perut Alexa semakin meronta. Namun, alih-alih memuji, Alexa malah mencibir masakan Asher.
Setelah waktu bergulir cukup lama, akhirnya baju Alexa cukup kering dan Asher sudah menyelesaikan masakannya. Ayam bakar ditambah sayuran di atasnya. Hidangan yang membuat Alexa nyaris ngiler.
"Ayo makan! Jangan sungkan, mulut wanita memang suka mengutuk sesuatu yang mereka suka. Jadi, kemarilah jangan malu-malu!"
Sialan, Asher mengejeknya.
Meski masih menjaga gengsi, pada akhirnya Alexa tetap duduk di sebelah Asher. Pria itu memotongkan paha ayam untuknya. Awalnya Alexa masih sok menjaga image, tetapi setelah satu gigitan daging di mulutnya, Alexa langsung kehilangan kendali diri. Wanita itu segera makan dengan lahap. Hal itu membuat Asher tersenyum kecil.
"Hati-hati makannya."
Sesaat, Alexa terlalu fokus pada makanannya, sehingga tak menyadari Asher menabur bubuk misterius di makanan itu. Selanjutnya, Asher memakan potongan paha lain yang belum terkena serbuk taburannya.
"Ah ... sepertinya aku sudah cukup kenyang. Mungkin pertemuan kita sampai di sini, Nona. Aku akan pergi lagi mengelana lagi. Jika ada kesempatan, semoga kita dipertemukan kembali."
Asher bangkit, Alexa mendongak dengan beberapa bumbu menempel di mulutnya. Wanita itu menaikkan alisnya heran.
"Kau mau ke mana?"
"Tentu saja pergi berkelana ke seluruh dunia!" Asher menjawab dengan mantap. "Oh, jangan memohon ikut, ya. Hari ini saja kau cukup menjadi beban."
Mendengar kalimat terakhir Asher, Alexa tak kuasa untuk kembali mendengkus kesal. "Iya-iya! Pergilah yang jauh sana!"
"Haha ... baik. Jangan lupa, kau masih berhutang traktir makan padaku!"
"Traktir makan apanya? Kau mengajakku mencuri."
"Tetap saja, jika tanpaku, kau mungkin sudah kelaparan di dalam penjara."
"Hish! Cepat pergilah sana! Kau membuat nafsu makanku menghilang, tahu!"
"Baiklah, aku pergi!" Asher segera berjalan keluar. "Sampai jumpa, Nona Pematik api!"
Alexa mendengkus kesal dengan julukan yang diberikan Asher. Namun, setelah semua benar-benar hening, entah mengapa ada sebuah perasaan aneh hanyut dalam dirinya. Alexa sedih, sekarang dia sendirian di tempat antah berantah. Namun, ia tetap memakan ayam masakan Asher hingga kandas tersisa tulang belulangnya saja.
Setelah ayam porsi besar itu habis, Alexa duduk menyandarkan punggungnya di tumpukan jerami. Wanita itu menguap, setelah makan banyak dan kenyang, ia merasa mengantuk.
"Baiklah, aku akan tidur sebentar."
Tak butuh waktu lama hingga alam mimpi menjemput kesadaran Alexa. Tak lama setelah ia tertidur, Asher kembali masuk dengan senyum miring yang mengembang. Pria itu berjongkok di sisi Alexa, mengamati wajah Alexa yang tampak begitu menawan.
"Tidak tahu apakah aku rela mengembalikan wanita cantik ini kepada Kaisar. Selera pria itu cukup tinggi juga. Hm ... sayangnya, aku membenci semua miliknya kecuali aku bisa merebutnya."
Tatapan hangat Asher seketika berubah dingin dan tajam.