"Bukankah menyenangkan bisa mandi bersama seorang raja, hm?"
Alexa menutup matanya dengan rapat. Ketika ia membuka mata, ia membuang muka, menatap nanar pakaiannya yang tercampakan di atas tanah karena ulah Arthur yang membuangnya begitu saja. Kedua tangan Athea menyilang di depan tubuhnya, menutupi sepasang aset paling berharganya yang terlanjur dicuri pandang oleh Arthur. Kedua kakinya juga berlutut, berusaha menutupi bagian tubuhnya di bawah air dari tatapan lapar Arthur.
Satu hal di pertemuan pertama Alexa dengan karakter ini adalah, pria m***m. Pantas saja dia mati konyol, itu karena pikiran Arthur sendiri dipenuhi dengan nafsu terhadap protagonis wanita yang nyatanya malah menumbalkannya pada protagonis pria. Menyesal, sungguh menyesal Alexa pernah bersimpati pada tokoh antagonis ini. Faktanya, wajah Arthur–meski terlihat tampan dan mempesona– tetapi penuh dengan jebakan buaya. Alexa berani bertaruh, pria ini adalah predator wanita. Hanya saja, mungkin di versi novel kurang lengkap dijelaskan tentang kebusukannya karena novel hanya menceritakan protagonis.
"Jangan menatapku seperti itu." Wajah nakal Arthur tiba-tiba berubah dingin.
Perubahan ekspresi wajah pria itu membuat bulu kuduk Alexa ikut meremang. Entah mengapa, tiba-tiba atmosfer ruangan itu juga berubah. Temperatur di sekitarnya tiba-tiba menjadi rendah. Bahkan, air panas kini seolah menjadi es yang membuat tubuh Alexa menggigil. Tatapan nakal khas buaya itu juga berubah menjadi tajam.
Tidak. Perubahan wajahnya terlalu ekstrem. Di satu sisi, pria itu membuat Alexa jengah karena kenakalannya. Namun, di sisi lain, pria itu seolah sedang menindasnya. Mengapa seorang pria bisa memiliki dua sisi yang sangat berseberangan seperti ini?
Tiba-tiba di tengah acara berpikir kerasnya, tangan Arthur bergerak mengambil sebuah handuk putih lalu menaruhnya di sisi bak mandi. Dengan tatapan malasnya, pria itu berkata dengan suara berat nan rendah.
"Pakai dan pergi ke sana!" titahnya seraya menunjuk sebuah pintu dengan isyarat dagu. "Ambilkan aku handuk yang baru!"
Otak Alexa blank lagi. Pada akhirnya, yang mampu keluar dari mulutnya hanyalah satu kata tak bermakna.
"Hah?"
Tanpa senyum, tatapan menusuk Arthur kembali jatuh ke manik legamnya.
"Apa kurang jelas? Ambilkan aku handuk! Jangan bermain drama lagi, aku lelah meladenimu."
Alexa terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya ia bergegas mengambil handuk itu dan melilitkannya ke tubuh polosnya. Alexa segera turun dari bak mandi. Begitu ia nyaris melangkahkan kaki, pria itu kembali mengeluarkan suara beratnya.
"Jangan kabur dan cepat ambilkan aku handuk yang baru!"
Entah bagaimana cara pria itu menyihir tubuh Alexa. Yang jelas, arah langkah kaki Alexa segera berubah, ia berjalan begitu saja menuju ruangan yang ditunjuk Arthur tadi. Mata Alexa sempat membelalak ketika menatap betapa indah dan elegannya seisi ruangan camp itu. Sangat mewah. Benar-benar selera seorang raja.
Alexa segera menyadarkan dirinya untuk segera mengambil handuk untuk Arthur. Kakinya segera melangkah kembali ke tempat pemandian. Selama berjalan, Alexa tak berani mengangkat wajahnya, ia terus menunduk hingga di sisi bak mandi. Tangan mungilnya mengulurkan handuk yang diminta Arthur. Tanpa sepatah kata, pria itu mengambilnya.
Samar-samar Alexa mendengar gemericik air ketika sekilas dari ekor matanya menangkap si pria bangkit. Arthur sudah melilitkan handuk ke tubuhnya. Pria itu turun dari bak mandi, berdiri tepat di depan Alexa. Refleks, Alexa dibuat mendongak, berikut matanya berserobok dengan sepasang manik elang.
"Mandilah lalu susul aku ke sana." Sambil menunjuk ruangan di mana Alexa mengambil handuk. Setelah berkata demikian, Arthur segera berjalan pergi meninggalkan Alexa sendirian. Suara gesekan besi penyambung tirai mengakhiri pertemuan mereka ketika tubuh Arthur turut menghilang di balik tirai.
"Huft!"
Lutut Alexa langsung lemas. Wanita itu sontak langsung terduduk seraya mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
***
Alexa datang menemui Arthur dengan handuk melilit tubuhnya. Ia berjalan ragu ketika melihat Arthur sedang duduk di balik meja kerja dengan tumpukan kertas yang menggunung. Wajah tegas pria itu tampak sangat serius membaca setiap susunan kalimat di atas kertas. Bahkan, sampai beberapa menit Alexa masih berdiri dalam diam di seberang meja, pria itu masih tak menyadari.
"Ehem!" Alexa berdeham. Caranya itu ampuh membuat wajah Arthur mendongak.
"Ambillah baju yang kau mau di almari." Setelah berkata demikian, Arthur kembali bersikap acuh.
Hati Alexa sempat mencelus. Antara tidak percaya dan bingung. Namun, ia memilih tak ambil pusing. Wanita itu segera membuka almari dan memilah baju di sana. Sayangnya, di dalam almari pria itu tak ada pakaian untuk wanita. Jelas, karena dia seorang pria. Hal yang tadi juga sempat terbesit mengapa pria itu menyuruhnya mengambil pakaian yang ia mau.
Namun, setelah waktu berlalu dan Alexa hanya membalik-balikkan baju di gantungan, atensi Arthur kembali terangkat. Bukan tanpa sebab, perhatiannya terpusat pada Alexa karena wanita itu menimbulkan suara berisik dari gesekan gantungan bajunya. Itu sangat mengganggu konsentrasinya.
"Bisakah kau diam?"
Suara bariton itu membuat Alexa terperanjat. Wanita itu menoleh, mengedipkan mata beberapa kali tanpa alasan.
"A-aku tidak menemukan pakaian wanita."
Mendengar cicitan Alexa itu, Arthur dibuat memejamkan mata beberapa saat. Lantas pria itu bangkit dan berjalan mendekati Alexa. Tampak wajah wanita itu langsung berubah seperti kepiting rebus ketika menatap kedatangan Arthur. Tanpa banyak kata, Arthur segera mengambil satu set jubah mewah dengan kain beludru dan sutra, lalu segera menutup almarinya.
Tanpa izin pula, pria itu melepas handuk yang melilit tubuh polos Alexa hingga nyaris membuat wanita itu memekik. Dengan gerakan sigap, Arthur langsung memakaikan jubah yang ia ambil ke tubuh Alexa. Gerakannya itu sangat cepat, tetapi refleks Alexa juga tak kalah cepat.
Plak!
Tiba-tiba satu tamparan sukses mendarat di wajah Arthur. Tak hanya Arthur yang terkejut, kedua mata Alexa pun dibuat membelalak atas perbuatan tangannya. Dengan tangan bergetar, ia segera menarik diri menjauhi Arthur.
"I-itu tadi tidak sengaja."
Arthur menghela napas panjang nan berat. Jelas ia kesal pada Alexa, tetapi tidak mau ambil pusing. Pria itu segera berbalik dan kembali ke meja kerjanya.
"Tu-tunggu!" Alexa menyusul Arthur yang sudah duduk sempurna di balik meja kerjanya. Wanita itu berdiri di seberang meja. "Tentang tadi itu, aku benar-benar bukan Athea. Kau tahu, ini memang sulit dipercaya, tapi aku benar-benar bukan orang sini. Jadi, bisakah kau membantuku pulang."
"Aku akan mengantarmu pulang setelah kita menikah."
"Me-menikah?"
Alexa kembali ingin memprotes, tetapi Arthur buru-buru berjalan mendekatinya. Tangan Arthur terangkat seolah hendak menyerang, Alexa hendak melawan, tetapi sebelum tangannya bergerak, salah satu tangan Arthur yang bebas telah lebih dulu menahan kedua pergelangan tangannya. Tubuh Alexa memaku, menanti rasa sakit yang mungkin dijatuhkan Arthur.
Bug!
Sedetik kemudian, pandangan Alexa menjadi gelap. Tubuhnya limbung, tetapi tangan kekar Arthur segera mengambil alih tubuh kecilnya. Pria itu menggendong Alexa, lalu membaringkannya di atas ranjang. Pria itu terdiam sejenak, atensinya menatap wajah jelita yang tak sadarkan diri itu. Perlahan, seulas senyum terbit di wajahnya.
Arthur memejamkan matanya, wajahnya mendekat lalu menjatuhkan kecupan di atas kening Alexa. Kecupan lembut, hangat dan dalam penuh perasaan. Perlahan, ditatapnya wajah ayu nan damai itu beberapa saat.
'Mencintai Yang Mulia adalah kebahagiaan bagiku. Saya tidak ada rasa penyesalan.'
Perlahan suara lembut dalam kepala Arthur membuat ingatannya melambung pada mimpi-mimpi yang menemani lelapnya.
'Aku berjanji, akan mencintaimu lebih tulus di ke hidupan berikutnya, Ratuku.'
Suara berat yang terasa familiar itu kembali bergema di kepala Arthur. Suara yang sering muncul di mimpinya di saat bersamaan ketika ia memimpikan sosok wanita bersimbah darah meregang nyawa. Wajah samar, tetapi masih mampu Arthur ingat. Wanita itu adalah Athea. Wanita pertama yang membuatnya terpesona dari mimpi. Yang membuat Arthur mencari-carinya. Meski ia tak tahu Athea ratu dari negara mana, tetapi kecantikannya membuat Arthur tak mampu berpaling dari mimpinya. Selain karena keelokan parasnya meski terkotori darah dan tanah, tetapi juga ketegarannya. Arthur tidak tahu Athea ratu di mana atau dari kerajaan mana, yang jelas dalam mimpinya, ia melihat Athea yang begitu kokoh. Maka dari itu, ia terpesona oleh ketegarannya. Arthur membutuhkan wanita kuat dalam pemerintahannya.
Apalagi setelah beberapa kali bertemu Athea dalam ketidaksengajaan. Tingkah Athea yang suka berkelana, sangat kontras dengan karakteristik seorang putri pada umumnya. Maka dari itu, Arthur tidak meragukan mimpinya. Ia yakin, mimpi seorang kaisar sepertinya adalah petunjuk langit.
"Aku tidak tahu apa itu cinta. Tapi aku tahu ambisi untuk memilikimu sangat luar biasa."