1

814 Kata
Banyak yang berubah sejak enam tahun lalu, atau justru semuanya? Entahlah, gadis itu tidak mau mengingat hal-hal konyol maupun yang menyenangkan dimasa lalunya. Karena berdasarkan pengalaman, mengingat kembali adalah kegiatan yang menguras tenaga, juga mampu menghadirkan emosi yang harusnya terkubur rapi. Lampu kamar sengaja dipadamkan agar kali ini ia bisa mendapatkan tidur yang berkualitas seperti kemaren. Dalam keadaan kamar yang gelap, gadis itu memastikan posisi bantalnya sudah pas kemudian mengoleskan lotion anti nyamuk pada tangan dan kakinya. “Lampu itu rusak lagikah?” gumamnya sambil melihat lampu jalan yang terlihat berkedip-kedip dari jendela kamarnya. Cyntia Zahrah benci nyamuk dan sekarang ia sudah aman dari hewan menjijikkan satu itu. Gadis yang sudah berbaring dengan setengah tubuhnya berada di balik selimut tersebut kemudian mengambil hapenya, membuka aplikasi w******p tepatnya satu-satunya kolom chat yang selalu berada paling atas. Cyntia menghela napas gusar, last seen dua belas menit yang lalu namun chat yang ia kirim tadi siang masih belum dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. “Sebenarnya dia maunya apa?” tanya gadis itu pada layar yang menunjukkan wajah seseorang. “Seenggaknya nyalain lampunya. Dan apa lagi yang dia lakuin sampai lo harus ganggu hidup gue? Serius Cin, besok gue harus datang awal, gue ga mau duduk paling depan dengan asdos sok kegantengan yang selalu merasa kalo gue selalu curang! Gue harap sesi konseling kita hari ini ga akan lebih dari lima belas menit.” Ucap teman curhatnya Icin sebal. Ia padahal ingin tidur awal supaya bisa bangun jam tigaan agar bisa belajar lagi. “Lo tau ga kapan terakhir dia buka WA? Dua belas menit yang lalu atau sekarang mungkin empat belas menit yang lalu. Dan dia sama sekali ga read WA gue, lo paham kan sakitnya dimana?” Dari kamarnya disana, Quincy Maharani menatap datar pada salah satu teman baiknya sejak SMA. Sekarang temannya itu malah bersikap seperti cewek paling merana sedunia hanya karena tidak dibalas WA oleh orang yang statusnya pun tidak jelas. Keduanya memang tipe orang tidak jelas sih, makanya cocok. Icin bahkan tidak pernah merasa hidupnya dihantui oleh asdos sok kegantengan yang selalu menyiksanya dari awal perkenalan seperti yang dialami oleh Queen. “Lo mau gue nanyi lagunya si mbak itu? A- a- sakitnya tuh dis-” “Gue maunya Ilham Bentrand peka, itu aja udah,” teriak Icin mengagalkan rencana Queen menyanyi dengan suara merdunya. “Cin, lo serius? Harusnya elo yang peka!” teriak Queen emosi. Kenapa Icin tidak berjodoh saja dengan asdosnya Queen kemudian mereka menghilang saja seperti di telan bumi? Tuhan pasti sangat sayang pada Queen jika semua itu terjadi. “Kenapa jadi gue?” “Memangnya menurut lo apa yang ada di kepala Ilham saat cewek yang sejak SMA, dengan geng gila –tuh kan? Gara-gara elo gue jadi ngejek geng sendiri! –jadi giniloh Icin zeyeng, Ilham sadar seratus persen kalo elo adalah eswe dan-” “Lo pikir Ilham ganteng kesayangan gue tukang mabuk apa? Ya iyalah dia sadar.” “Dengerin dulu atau gue tidur nih? Heran, selalu aja gue harus ngancam lo duluan supaya omongan gue bisa didenger sampai tuntas.” “Maafkan hamba yang mulia ratu,” ejek Icin kemudian meletakkan hapenya di atas meja dengan kamus bahasa Inggris sebagai tumpuan. Padahal tadi bahkan sudah mengatur posisi bantal, yang katanya mau tidur. “Dan sekarang lo terkesan mepet dia banget gitu, Cin. Lo pikir Ilham ga akan curiga? Karena kalo Ilham ganteng kesayangan lo itu ga bodoh, dia pasti mikir lo sengaja deketin dia demi Shakka.” “Dulu gue Cuma ikutan elo! Elo yang sampai sekarang suka sama Shakka Orlando Padmaja si sinting itu. Dan Queen, lo tau banget kalo gue betah sama geng kita karena gue senang temenan sama kalian,” ucap Icin setelah sebelumnya ia membenarkan dalam hati apa yang temannya katakan. “Oh iya, ya? Gue sampai lupa sama siapa yang dulu antusias banget nyetak spanduk ala-ala caleg.” “Itu karena gue terlalu mendalami peran aja, karena dulu kalo kita ngaku suka sama Shakka kesannya mewah aja gitu,” ucap Icin masih berkilah. Queen benar-benar ragu kalau temannya ini tidak pernah menaruh hati pada Shakka. Quincy memicing curiga pada layar hape yang hanya menampakkan mata dan gigi teman baiknya sejak di Bina Bangsa, “atau karena lo udah suka Ilham dari dulu?” “Ckckckck berapa kali harus gue bilang kalo dua tahun lalu saat pertama kali kenal Ilham, dia totally stranger buat gue? Lo sama temen sendiri aja ga perca-” “Aaarrrrrggggg,” Cyntia mengerang karena ternyata kuota nya habis. “Lo liat aja, Ham, ga ada cerita gue ngechat duluan sampe lo bales chat gue,” ucapnya kemudian berbaring ke kanan dan memutuskan untuk tidur. Karena jika kurang tidur, tubuh menjadi tidak fit dan jika tubuh tidak vit akan susah menghadapi Ilham Bentrand. Jadi kesimpulan premis hidup Icin adalah jika ia kurang tidur maka Ilham akan sulit untuk didapatkan. ---------------------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN