Bab 2

1051 Kata
"Apa yang kalian lakukan? Jika ingin melakukan Zina silahkan jauhi pesantren ini," tuduh Lelaki yang mengenakan koko coklat krem di hadapannya. Maira jelas marah, "Siapa yang zina, siapa yang maksiat? Orang lagi bantuin rapihin jilbab kok dikatain zina. Situ waras?" Lelaki itu sedikit tersentak ketika wanita dihadapannya membalas dengan suara yang sedikit keras. Lelaki itu juga merasa sedikit malu karena sadar, kalau orang yang berhadapan dengannya ini bukan lelaki melainkan wanita. "Anda perempuan?" Maira mendengus, sudah dia duga. Pasti memang salah paham. Maklum tampilan Maira memang seperti lelaki. Mengenakan kemeja biru laut, lalu melapisinya dengan rompi hitam dan mengenakan jeans hitam. Maira bahkan menyembunyikan rambutnya dibalik topi. "Iya," jawab Maira singkat. Titin yang baru sadar siapa lelaki yang menegur mereka, segera maju untuk menengahi agar tidak terjadi perdebatan. "Maaf, ini sepupu saya gus. Dia baru datang berkunjung, tampangnya memang seperti lelaki. Jadi harap maklum hmm ... Kalau begitu kami pamit dulu ya." Lelaki menggeleng pelan, "Maafkan saya juga karena asal main tuduh. Walau begitu saya tidak bisa tidak salah paham dengan penampilannya yang menyerupai laki-laki. Saya berharap semoga anda bisa kembali ke jalan yang benar, permisi." Maira sedikit tersinggung, walau apa yang dikatakan oleh lelaki tadi benar. Ingin marah, tapi Maira tidak bisa. Karena itu hanya pendapat dari lelaki tersebut. Tatapannya bahkan berubah datar dan tegas ketika mengetahui fakta, kalau orang yang dia tegur merupakan wanita yang berdandan menyerupai laki-laki. Maira menghela nafas pelan, kemudian menarik tangan Titin untuk kembali. Dia juga gak tau, kenapa dia bisa merasa sangat tertohok alias tersindir karena ucapan lelaki tadi. "Non, kenapa diem aja? Pasti karena ucapan Gus Renjuna ya?" Maira segera menoleh kearah Titin, "Gus Renjuna, oh jadi nama laki-laki sok tau tadi Gus Renjuna?" Titin mengangguk, sembari menuntun jalan kepada Maira. Titin menceritakan sedikit yang dia ketahui tentang Gus Renjuna. Lelaki yang tadi menuduh dan menyindir, Maira. "Dia putra bungsu dari Kiyai Mursyidi dan Umi salamah. Dengar-dengar dia baru pulang dari kuliah di Mesir sana. Orangnya memang judes dan galak, Titin punya teman dia orang pesantren sana, dia bilang. Gus Renjuna itu orangnya sangat tegas dan berwibawa." Maira mendengus pelan, "Berwibawa dari mana? Yang ada dia malah kelihatan Jutek terus judes. Aduh, emang ya orang alim suka banget asal main tuduh." Titin menggeleng pelan, "Buka gitu Non, bukan karena main tuduh. Niat Gus Renjuna memang baik kok, cuma ya agak bikin kesel aja." Maira mengendikan bahunya acuh kemudian menghilangkan bayangan kejadian tadi. Walau begitu, dia masih mengingat dengan jelas bagaimana wajah dan perawakannya. "Ganteng sih, tapi judes banget. Mana alim, gak cocok deh kayanya ajak pelaminan," gumam Maira pelan. Setelah sholat isya tadi, Maira duduk di depan rumah Titin. Rencananya dia mau pulang ke rumah sekarang, tapi lagi nungguin Titin. Masih kebayang kejadian tadi siang. Hatinya jadi mencelos, sedikit membenarkan apa yang dikatakan oleh Gus Renjuna. Pantas saja kena tuduh, pakaian Maira seperti laki-laki, mana dia posisinya membelakangi Gus Renjuna, wajar saja dia dikira lelaki. "Non!" Panggil Titin yang sudah keluar dan sekarang sedang berdiri diambang pintu bersama dengan sang Ibu. "Non, kayanya hari ini Titin gak bisa pulang ikut non deh. Soalnya si Bapak masih sakit, nona pulang duluan aja." Maira merenggut, "Yah, tau gitu tadi aku pulang aja. Yaudah, kalau gitu. Terus kamu pulangnya kapan?" "Insya Allah lusa non, kasihan Ibu sendirian." Maira melirik Ibu Titin, yang saat ini meminta izin melalui tatapan matanya. Maira dengan berat hati mengizinkan, toh juga kasihan kalau Titin tidak menemani ibunya merawat sang Ayah. *** Maira melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia tidak ingin terlalu terburu dalam meninggalkan kampung halaman dari pembantunya itu. Jalanannya memang tidak seterang jalanan kota. Mengingat disini jarak rumah penduduk cukup panjang, dan kadang terhadang oleh Kebun sepetak yang berisi banyak tanaman. Ditengah perjalanan Maira malah tidak sengaja melihat seorang lelaki sedang menggeret motor tuanya. Dari belakang, Maira sedikit familiar dengan lelaki tersebut. Maira menepikan mobilnya kemudian membuka jendela mobil. Dilihatnya Gus Renjuna yang ternyata sedang menggeret motor bututnya. "Halo." Lelaki itu refleks menoleh dengan kernyitan di dahinya. "Iya?" "Tadi siang kamu menuduh saya, sepertinya sekarang sudah lupa." "Oh, maaf saya tidak begitu melihat anda dengan jelas karena lampu disini redup." Maira tersenyum tipis, "Kamu sepertinya memerlukan bantuan." Gus Renjuna sedikit menjauh ketika Maira hendak turun dari mobil. Agak tidak sopan bagi Maira untuk duduk di mobil, sementara dia melihat Gus Renjuna dari atas. "Bersyukur kalau anda mau membantu, kalau tidak. Ya saya juga tidak masalah." Maira mengangguk paham. Orang di depannya ini kalau bicara suka sekali menyindir dengan halus. Kenapa mulutnya seperti cabai, yang pedas dan panas. "Bagaimana kalau saya antar anda ke bengkel terdekat." "Boleh, Terimakasih atas bantuannya," jawab Gus Renjuna dengan cepat, bahkan wajahnya masih saja datar. Maira menggeleng dengan ekspresi bingung. Kenapa orang di depannya ini tidak ada rasa jaim sedikitpun? Beruntung Maira tidak terlalu tersinggung dengan ucapannya. Saat Maira hendak naik, Gus Renjuna berucap, "Nona, sepertinya anda duduk di belakang saja. Biar saya yang mengemudikan mobilnya." Maira tidak mengatakan apapun melainkan menuruti apa yang diinginkan Gus Renjuna. Selama mereka berinteraksi tidak sekalipun Maira pernah melihat tatapan Gus Renjuna padanya. Lelaki itu selalu menatap kearah lain. Mungkin karena tampilan Maira yang sudah berubah. Karena sekarang dia membiarkan rambut pendeknya tergerai, kemudian tidak mengenakan rompi hitam, melainkan kemeja polos berwarna tosca. "Terimakasih sudah membantu," ucap Gus Renjuna ketika Motornya berhasil diangkut oleh bengkel. Jarak bengkelnya cukup jauh, mengingat mereka harus keluar dari desa dulu. "Sama-sama," balas Maira cepat, dia hendak masuk kedalam mobil namun suara Gus Renjuna membuat langkahnya terhenti. "Malam-malam seperti ini, anda mau pergi kemana?" Tanya Gus Renjuna, walau begitu tatapannya masih mengarah ke tempat lain. "Pulang." "Anda bukan orang sini?" Maira mengangguk, "Bukan, saya tinggal jauh dari sini. Lebih tepatnya di pusat kota." "Baik, hati-hati dijalan. Jika memang berjodoh, semoga kita bisa bertemu kembali." Maira mengernyit ketika mendengar ucapan dari Gus Renjuna. Dia segera masuk dan memilih mengabaikan. Tanpa Maira ketahui, Gus Renjuna menatap mobil yang dikendarai oleh Maira semakin menjauh. Akhirnya Maira sampai di rumah. Walaupun bokongnya sedikit lelah karena terus-terusan duduk, dia bisa bernafas lega. Melihat pemandangan rumah yang sepi dan gelap. Maklum, dia tinggal sendiri dirumah sebesar ini. Rumah yang katanya rumah keluarga, namun hanya ditinggali oleh dirinya seorang. Maira menyalakan lampu setelah menekan tombol saklar. Bahkan suasana rumah terasa horor ketika Maira baru menyalakan lampunya. "Punya saudara gak guna, adeknya malah ditinggal sendirian," keluhnya kemudian duduk bersandar dengan gusar di sofa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN