"Hamil?" tanya Rendra kaget bukan main saat mendengar hasil pemeriksaan Narumi. Narumi yang sudah kembali sadar dan duduk di samping Rendra, tampak tersenyum lebar mendengarnya. Sementara Rendra, malah terlihat panik.
"Iya, Pak, isteri anda hamil dua minggu, selamat ya," ucap dokter bernama Widya yang duduk di hadapannya dengan senyuman sumringah.
"Gak mungkin!" tegas Rendra, semua menatapnya kaget. "Dia gak boleh hamil, Dokter."
"Mas, apaan sih, bukannya senang malah gak terima gitu." Narumi dibuat malu bukan main mendapati sikap penolakan Rendra di depan sang dokter beserta perawat yang berdiri di sampingnya. Narumi berusaha mencairkan suasana dengan meyakinkan Widya bahwa Rendra hanya becanda. Namun sikap Rendra yang spontan berdiri, membuat semua orang kembali kaget.
"Lakukan segala cara, Dokter, tolong gugurkan kandungannya!"
"Gak, aku gak mau!" tolak Narumi sembari memegang perutnya. "jangan dengarkan dia, Dokter, dia cuma syok!"
Rendra langsung mencengkram kedua lengan Narumi. Tatapannya tajam. Semua adegan itu, seakan seperti film yang langsung disaksikan Widya dan perawat pribadinya.
"Kamu gak minum pil itu?" tanya Rendra.
"Mas, sakit," rintih Narumi.
"Jawab aku!" bentak Rendra. "Kamu sengaja gak minum pil itu, benar kan?"
Narumi menatapnya tajam. "Iya, aku memang udah gak pakai pil itu dua bulan belakangan! Dan semua itu aku lakukan agar bisa punya anak dari kamu, Mas, aku gak mau selamanya gak punya alasan untuk bisa mempertahankan hubungan kita. Aku gak mau kehilangan kamu!!!"
"Licik kamu!" Rendra melepaskan cengkeramannya kasar. "Gugurkan kandungannya, Dokter. Aku gak ingin anak itu lahir!"
"Maaf, Pak, tenang dulu. Saya harap anda dan istri anda bisa mendiskusikannya di luar, saya masih banyak pasien. Kalau pun anda mau menggugurkannya, maaf, saya tidak bisa melakukan itu."
Rendra yang mendengar ucapan Widya, langsung menarik tangan Narumi ke luar dari ruangan dengan gerakan kasar. Semua pasang mata yang menanti giliran di luar, mengarah pada keduanya. Narumi benar-benar dibuat malu bukan main. Bahkan hingga sampai ke parkiran dan masuk ke mobil pun, Rendra terus saja memperlakukannya dengan kasar.
Rendra menutup pintu dari dalam, lantas melampiaskan emosinya dengan memukul kemudi beberapa kali. Narumi dibuat takut bukan main. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun bersama, Narumi baru melihat sisi gelap seorang Rendra. Dan dia benar-benar takut bukan main.
"Ini anak kamu, Mas, kamu gak bisa menghilangkan nyawanya gitu aja," ucap Narumi dengan air mata yang entah mengapa jatuh begitu saja.
"Sudah aku bilang dari awal, aku gak mau punya anak lagi! Dan kamu setuju tentang itu!"
"Tapi aku ingin punya anak dari kamu, Mas!" balas Narumi. "Aku juga ingin seperti Naya yang bisa punya anak."
Rendra kembali memukul kemudi yang untuk ke sekian kalinya, membuat Narumi kaget bukan main.
"Aku harus kembali pada istriku, Narumi, kamu harus gugurkan kandunganmu!"
"Kamu gila, Mas!" bentak Narumi. "Aku ini istrimu juga, dan aku gak mau kamu ninggalin aku demi kembali sama istrimu itu!"
Argh!!! Sial.
Rendra mengumpat.
Narumi menyandarkan tubuhnya, menatap lurus ke kaca depan mobil sembari mengatur napasnya. Dia tidak ingin anak di dalam rahimnya sampai terkena imbasnya. Biar bagaimana pun bagi Narumi, anak itu akan menjadi alasannya mempertahankan Rendra untuk terus menjadi suaminya. Narumi tidak rela jika harus kehilangan Rendra, apa lagi melihatnya kembali bahagia bersama Naya.
"Ceraikan dia, atau nyawa Aisha jadi taruhannya!" ancam Narumi tiba-tiba, Rendra menoleh ke arahnya. "Aku serius, Mas, terserah ... semua keputusan ada di tanganmu. Kalau kamu memilih kembali, maka sepanjang hidup Aisha, aku akan buat dia tidak tenang, tapi kalau kamu mau melihatnya lepas dari genggamanku, maka ceraikan Naya."
Rendra menatapnya tajam. Ancaman Narumi benar-benar membuatnya terjebak. Rendra merasa sudah salah pilih orang bermain, Narumi bahkan tidak seperti yang dia bayangkan.
Narumi sendiri yang berhasil membuat Rendra bungkam, langsung tersenyum penuh kemenangan. Tanpa rasa malu, Narumi mengusap punggung tangan kiri Rendra seolah menggodanya.
"Cintaku, lebih besar dari Naya, Mas, kamu takkan menyesal akan pilihanmu. Percayalah," ucap Narumi setengah berbisik yang malah membuat Rendra untuk pertama kalinya merasa jijik melihat wajah wanita yang selama ini menjadi pilihannya untuk berselingkuh.
***
Naya memegang keningnya. Sudah sejak dua jam lalu, Naya memilih berbaring di kamar sendirian. Tak terlihat Aisha di sana, gadis cantik itu selalu memilih di kamar sang Nenek setiap kali Naya berada di kamar.
Naya merasa tubuhnya tidak enak. Suhu badannya panas, napsu makannya menghilang, bahkan rasa sakit di kepala benar-benar menyerangnya tanpa henti. Naya beruntung saat ini dia sudah lebih baik, rasa sakit di awal yang dia rasakan, perlahan menghilang walau masih tersisa sedikit.
Semua kejadian yang terjadi dalam hidupnya, benar-benar membuat tubuhnya drop. Naya memang sudah mengambil keputusan terbaik untuk bercerai dengan Rendra, namun dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau hati dan tubuhnya sakit bukan main. Naya masih belum bisa menerima apa yang terjadi. Pria yang begitu tulus mencintainya, malah membohonginya mentah-mentah. Dan sakit itu semakin bertambah parah dengan sosok Narumi yang menjadi pengusiknya.
Naya tidak tahu lagi harus apa saat ini. Jika mengingat ucapan Rendra yang mengatakan bahwa pernikahan keduanya dihadiri sang bapak, membuat Naya menyesal karena selama ini mengabaikan sang ibu. Fitnahan bapak membuat Naya percaya bahwa ibulah yang menjadi penyebab runtuhnya hidup Naya dan Narumi. Keinginan besar untuk bisa bersama-sama hingga tua, hancur begitu saja. Namun ternyata semua itu malah terjadi sebaliknya. Bapaklah yang salah, dan Ibu menjadi korban bukan hanya karena perselingkuhan yang dia lakukan, tapi juga dari fitnahannya.
Suara ketukan pintu terdengar. Belum sempat Naya meminta sang pengetuk masuk, pintu malah terbuka dan terlihat Mirna hadir sembari membawakan segelas s**u. Naya berusaha bangkit, duduk bersandar di tempat tidur sembari tersenyum tipis.
"Masih gak enak badan, Nak?" tanya Mirna yang hanya dijawab Naya dengan anggukan pelan. Mirna duduk di samping Naya, memberikan segelas s**u yang dia bawa ke tangan Naya.
"Seharusnya Ibu gak perlu repot-repot seperti ini, tadi makanan, sekarang s**u, Naya benar-benar lagi gak selera makan, Bu."
"Ini bukan dari Ibu, tapi dari Aisha" bisik Mirna sembari tersenyum. Mirna langsung memberikan isyarat bahwa ada Aisha di balik pintu mengintai keduanya. Naya tampak terharu mendengarnya. Semula dia berpikir, Aisha tidak akan pernah memaafkannya. Namun segelas s**u vanila buatan Aisha, membuatnya lega bukan main.
"Lihat susunya, Naya jadi lapar, Bu," ucap Naya lantas langsung meminumnya sampai habis.
"Aisha meminta Ibu untuk tidak ngasih tau kamu kalau dia yang buat," bisik Mirna sembari Naya menghabiskan minumannya. "Gimana, enak?" tanya Mirna dengan suara sedikit lebih keras.
"Enak, Bu, badan Naya jadi segar setelah minum susunya."
"Alhamdulillah."
Terdengar suara pintu ditutup yang menandakan Aisha sudah tidak mendengar pembicaraan keduanya lagi. Mirna tertawa pelan, sedangkan Naya hanya tersenyum haru.
"Dia di dapur sendirian, katanya mau buat s**u untuk Bunda. Dia sampai tahu kalau kamu suka gula satu setengah sendok. Dia bilang kalau Rendra pernah mengajari dia untuk buat s**u saat kamu lagi gak selera makan." Mirna mencoba menceritakan apa yang dia alami di dapur bersama Aisha. "Dia sangat menyayangi kamu, Nak."
Naya menganggukkan kepala. "Naya gak sanggup kalau sampai berpisah dengan Aisha, Bu. Tapi Mas Rendra malah gak mau ngasih hak asuhnya ke Naya."
"Ibu yakin, Aisha akan bersama kamu, Nak. Hakim pasti bisa melihat, mana yang terbaik untuk Aisha. Jangan khawatir ya?"
Naya menganggukkan kepala. Berusaha tetap tegar di hadapan sang ibu mertua yang begitu baik padanya. Naya tidak menyangka, kehilangan sosok sang ibu di masa kecil, tidak membuatnya kekurangan kasih sayang setelah dewasa. Karena kini, ada Mirna yang begitu menyayanginya. Namun meski pun begitu, Naya berjanji pada dirinya sendiri akan mencari ibu kandungnya untuk meminta maaf karena sudah terhasut fitnahan sang Bapak.