Terikat dan berlinangan air mata, dengan seorang pria yang ia benci tengah berada di atasnya, mengurungnya. Dua hal yang dibenci Lucia karena dia tampak rentan dan tidak berdaya.
“Bukankah aku sudah bilang? Sejauh apa pun kamu pergi …,” Pria itu mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Lucia hingga dia bergidik dan membeku. Tidak bisa bergerak dan juga memalingkan wajahnya. “aku akan membawamu kembali.”
Dan tepat saat itu juga Lucia membuka matanya dalam keadaan tercekat. Keringat di pelipisnya bercucuran dan dia bisa merasakan degup jantungnya yang berpacu kencang. Tulang selangkanya menonjol kaku ketika dia mencoba bernapas. Dia menatap langit-langit tinggi ruangan yang tidak asing dan menyadarkannya akan satu hal, ini masih kamarnya.
Suara burung berkicau di luar menyebabkannya secara naluriah menoleh. Untuk beberapa saat, dia terdiam sejenak untuk memahami bahwa yang tadi hanyalah sebuah mimpi.
Dengan begitu Lucia memejamkan mata sebentar untuk mengatur napasnya dan mulai menjadi santai. Dia kemudian bergerak duduk di pinggir tempat tidur ketika mendengar suara wanita tua.
“Kamu sudah bangun.”
Lucia pun menoleh.
***
Milda, wanita paruh baya yang sudah menjadi pelayan keluarga Ameesh terlama tengah merapikan tempat tidur Lucia. Sambil bekerja, dia memperhatikan tuannya yang tengah berdiri memandang ke luar jendela sambil bersedekap di depan dadanya.
Lucia Ophelia Ameesh, nama yang cantik dan lembut sesuai dengan orangnya.
Dia tahu jika Lucia dalam suasana hati yang buruk. “Tadi malam kamu mimpi buruk lagi?”
Mimpi yang mengerikan lebih tepatnya. “Hmm.”
Sudah beberapa hari ini Lucia selalu mendapatkan mimpi yang sama sampai-sampai susah untuknya berkonsentrasi. Dan berakhir gelisah sendiri dan terlalu banyak berpikir.
“Sebuah mimpi tidak selalu menjadi kenyataan. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu, Cia.”
Yah, itu memang benar. Dan Lucia tersenyum kecil setelah menghembuskan napas cepat. “Terima kasih, Milda.”
Dari tempat tidur, Milda tersenyum.
Tepat setelah itu pintu didobrak kasar dari luar. Belum sempat Lucia membalikkan tubuhnya dengan sempurna, seseorang masuk dengan langkah lebar dan cepat menghampirinya. Hanya dengan lima langkah, pria itu sudah berada di depannya dan segera mencengkeram kedua rahangnya dengan sebelah tangannya yang kasar.
Zion. Kakak tiri Lucia yang terpaut usia 5 tahun dengannya, pria yang memiliki obsesi gila dan kebetulan juga pria yang ada di dalam mimpinya, sedang menatapnya tajam. “Kamu pasti menyukai pria itu, kan?”
Lucia tidak menjawab karena tidak ingin semakin memperparah suasana hati Zion yang buruk. Namun tidak mungkin dia tidak bertanya-tanya, pria mana lagi yang membuat seorang Zion kesal? Jika diingat-ingat lagi, akhir-akhir ini Lucia tidak bertemu dengan pria mana pun.
“Kamu pikir aku akan membiarkanmu? Tidak, Cia. Aku akan membuatmu tetap terkurung di rumah ini. Jadi, tolak pertunangan itu.”
Pertunangan? Apakah lamaran lainnya datang pagi ini? Kali ini pria tua mana lagi yang didapat ibu tirinya?
Dan kenapa kali ini cengkeraman pria ini sangat menyakitkan? Rasanya benar-benar sakit, namun Lucia mempertahankan sikap tenangnya. Tapi jika ini terus berlangsung cukup lama, Lucia takut dia tidak bisa menahan lebih lama.
“JAWAB, LUCIA!” raungan kemarahan Zion kali ini membuat Lucia memejamkan mata dan sedikit berjengit.
Bahkan Milda yang agak jauh dari mereka sampai melompat ketakutan dari tempatnya berdiri seraya menyentuh dadanya. Dia secara naluriah melihat tangan Lucia yang terkepal di sisi tubuhnya, dan tangan itu sedikit gemetar.
“Z-Zion, Pak Lukman ingin bertemu Lucia,” Milda berusaha agar suaranya tidak bergetar ketika menyelanya.
“Kau berani—” Zion menoleh ke belakang dengan kesal.
Sebelum dia bisa memarahi Milda, Lucia segera berbicara dengan suara lembutnya yang indah, “Kakak, wajahmu pucat. Apa kamu sakit? Tolong jaga kondisi tubuhmu.”
Kekhawatiran ditambah panggilan kakak dari Lucia untuknya membuat Zion sedikit menurunkan amarahnya. Tambahan lainnya lagi Milda berusaha melindungi Lucia. Tidak, lebih tepatnya Milda sedang berusaha menarik kesadaran Zion dari amarahnya. Namun biarpun begitu dia tetap masih kesal dan berdecih.
“Ingat apa yang aku katakan. Tolak pertunangan kali ini!” memberikan perintah kuat, Zion kemudian keluar dari kamar Lucia.
“Kamu tidak apa-apa?” Milda yang khawatir bergegas menghampirinya lalu melihat tempat yang dicengkeram Zion dengan kuat. “Ya Tuhan, ini meninggalkan bekas. Sebentar ….”
Karena ulah Zion pagi ini, mereka akan sedikit terlambat menemui Lukman. Milda membantu Lucia menutupi bekas di kulit wajahnya. Itu pasti menyakitkan namun Lucia tidak menunjukkan rasa sakitnya selain hanya tersenyum tipis membuat dia menjadi prihatin.
“Tidak seperti dia biasanya. Kenapa kali ini dia lebih marah?” gumam Milda bingung masih sedih.
Kakak tirinya memang selalu marah di depan Lucia. Marah dan mengumpat tidak jelas namun tidak pernah sampai berteriak seperti tadi. Dia pun mencengkeram wajah Lucia, salah satu tempat yang pria itu sukai. Zion yang Lucia kenal pasti menghancurkan barang di sekelilingnya daripada menyakiti Lucia karena dia tahu kulit Lucia mudah meninggalkan bekas. Dan dia tidak suka barang kesayangannya lecet atau kotor.
“Ada yang melamarku lagi? Kenapa aku tidak tahu?”
Milda menatapnya. “Saya sudah mengatakannya sebelum kamu mandi tadi, Cia. Pak Lukman juga baru mengatakannya pagi ini dan menyuruhmu segera menemuinya jika sudah bangun.”
Ah … pantas saja. Saat itu Lucia masih mengatur pikiran dan perasaannya yang kacau. Walau hanya mimpi, rasanya sungguh membuatnya hampir hilang kewarasan dan ingin bunuh diri.
Tunggu dulu, jadi kemarahannya kali ini karena sebuah perjodohan? Zion tidak pernah marah dengan perjodohan sebelum-sebelumnya. Mengapa kali ini berbeda? Biasanya, pria itu akan mengejek sambil merendahkannya karena semua mantan calon yang dijodohkan ibu tirinya adalah seorang pria berumur 40-an. Zion hanya akan marah jika Lucia bertegur sapa dengan pria muda. Bahkan jika ada pria yang melirik Lucia sangat lama walaupun Lucia tidak membalas, dia akan memarahinya.
Kalau begitu dengan kedatangan Zion ke kamarnya sepagi ini dan sikapnya yang berbeda, menandakan pria itu sudah tahu siapa yang melamar Lucia. Lalu, pria seperti apa yang sampai membuat Zion murka sepagi ini?
Dengan amat perlahan Lucia mengangkat sudut bibirnya ke atas. Well, dia jadi penasaran.
***
Berdiri di depan sebuah pintu ruang kerja Lukman, Lucia bisa mendengar suara obrolan samar di dalamnya.
“Cia—”
Wanita itu mengangkat tangannya menghentikan Milda berbicara.
“Selama ini aku mencari orang-orang terbaik yang mampu menghidupi Lucia kita, mereka kaya raya tapi kamu bilang mereka terlalu tua untuknya. Lalu, sekarang apa lagi?”
“Sayang, rumor buruk tentangnya sedikit menggangguku. Bagaimana jika pernikahan mereka nanti tidak bahagia? Aku tidak akan mempunyai wajah ketika mengunjungi makam Shannon kelak.”
Adeline, wanita cantik berumur 52 tahun yang terlihat awet muda itu bergerak duduk di pangkuan Lukman. “Ayolah, Sayang. Itu hanya rumor, belum tentu benar. Lagi pula dia anak mendiang temanmu, umurnya tidak terlalu tua dibandingkan calon-calon terdahulu. Dia seorang marinir. Sudah pasti dia dapat diandalkan dalam menjaga Lucia. Dan jika ini tentang ekonomi, kita akan membantunya. Buat Lucia kita menerima perjodohan ini sebelum usianya semakin tua, oke?”
“Ya, aku tahu. Baik untuk menjodohkannya dengan anak temanku. Tapi, jika rumor itu benar—”
Di luar, Lucia dengan sengaja mengetuk pintu dan mengganggu obrolan mereka sebelum masuk. Milda kemudian menutup pintu kembali dari luar dan memberi keluarga itu privasi. Lucia melihat ayahnya yang sudah sangat rapi dengan pakaian kerja dan sebuah cerutu tebal di tangan kanannya. Kemudian menatap wanita yang bergerak turun dari pangkuan Lukman. Dia melirik Lucia sejenak sebelum berbisik pendek pada suaminya.
Lukman membersihkan tenggorokannya lalu memanggil anaknya, “Oh, Cia. Kemarilah duduk. Ada yang ingin Papa bicarakan.”
Saat ini Lucia sudah duduk berseberangan dengan Adeline dan Lukman.
Saat ini Adeline menatapnya dengan senyuman misterius. Lucia tidak menampik jika ekspresi ibu tirinya sedikit mengusiknya.
Apa lagi yang sedang wanita ini rencanakan?
Lukman menyerahkan sebuah foto seorang pria yang menggunakan seragam tentaranya di atas meja. “Dua hari yang lalu, Papa bertemu dengan istri teman lama Papa saat kami mampir ke toko kue. Dia mengatakan bahwa anak laki-lakinya sedang mencari pasangan.”
Lucia menatap foto tersebut sambil mendengarkan ayahnya.
“Namanya Ian Andreas, seorang marinir. Usianya masih 35 tahun, jadi umur kalian tidak terpaut jauh. Kami akan makan malam bersama besok malam. Dan ... kami ingin kamu juga ikut. Bagaimana?”
Ian Andreas, ya? Dia memiliki kulit yang sedikit gelap, mata yang tajam, bahunya lebar, gagah, dan berada di usia matangnya. Wajahnya di foto tampak tegas dan menakutkan, akan tetapi itu malah menambah kharisma pada pria ini. Yah, tidak buruk. Lucia menarik kesimpulan cepat alasan kemarahan Zion.
Namun dia menjadi bingung sekarang. Kenapa Adeline ingin Lukman menjodohkannya dengan Ian? Padahal, pria di foto tersebut bukan dari koneksinya.
Dengan kerutan halus di antara alisnya yang rapi, Lucia menatap Adeline. Wanita itu masih tersenyum dengan perilaku yang sangat tenang.
Lucia kemudian menatap serius foto di tangannya. Apakah itu hanya gertakan semata saja? Adeline hanya ingin menggoyahkan mentalnya?
Melihat anaknya yang tidak menanggapi cukup lama, Lukman berkata cepat, “Tapi jika kamu masih tidak setuju, Papa tidak akan memaksamu.”
“Sayang,” bisik Adeline seolah memperingati suaminya itu. Kemudian menatap Lucia. “Jika kamu tidak mau, aku akan memberikan pilihan lainnya. Ada Mr. Chen, pengusaha teknologi. Usianya hanya berjarak 20 tahun darimu. Dia orang yang dihormati di ibu kota. Dia teman kecilku dari kota asal kami.”
Oh, tidak lagi dengan para pria tua ....
Lucia memejamkan matanya dan bersiap mengikuti arus. Dia berharap dia tidak akan menyesali keputusannya jika ternyata ini adalah kesalahan.
“... Baik, Pa.”
Balasan singkat itu membuat Adeline tersenyum lebar sedangkan Lukman hanya mengangguk pelan sambil menutup bibirnya rapat.
Keluar dari ruang kerja Lukman, suasana hatinya buruk kembali ketika dia berjalan di lorong luas dan sepi tersebut. “Rumor apa yang muncul tentangnya?”
Milda yang membuntutinya menjawab gugup, “Dia pria yang kasar dan ringan tangan. Tidak peduli itu pria atau wanita, dia memperlakukan semua orang sama kasarnya.”
Langkah kaki Lucia berhenti seketika.
“Maafkan saya yang baru mendapatkan informasi ini. Saya menguping obrolan pelayan pribadi Adeline saat kamu masih di ruangan tadi.”
Menatap ke luar jendela besar, Lucia membuang napas panjang.
Jadi, dia akan makan malam dengan pria kasar ini besok?
“Hanya itu saja rumor tentangnya, kan?” Lucia menunggu namun tidak mendengar jawaban, jadi dia menoleh ke belakang melihat Milda yang menunduk. “Katakan segalanya.”