Hangat. Itu yang Lucia rasakan ketika Ian menyentuh wajahnya. Padahal cuaca di sini cukup sejuk tapi pria ini tidak tampak kedinginan. Jujur saja, kehangatan sederhana ini cukup menyenangkan.
Ian tiba-tiba berdiri di belakang Lucia yang kebingungan. Kedua tangannya memegang masing-masing tangan kecil wanita cantik itu dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Di dalam pelukannya, dia menyadari betapa kecilnya sosok cantik ini jika disandingkan dengan tubuhnya yang besar.
“Dengan begini kamu akan lebih hangat sampai kita mendapatkan meja kosong.”
Lucia melirik ke belakang. “Tapi, bukannya Mas Ian lebih kedinginan dibandingkanku?” Pria ini hanya mengenakan kaos tipis.
“Aku tidak pernah kedinginan.”
Ucapan itu dikatakan dengan ringan namun, bagi Lucia terdengar angkuh. Kesan itu membuat dia hampir saja tertawa setelah menyadari ucapannya bukanlah kebohongan.
Lucia tidak sengaja memiringkan kepalanya dan sisi kanan pipinya bersentuhan langsung dengan lengan Ian. Dan benar saja, lengan Ian tidak dingin. Itu juga hangat. Lucia sekarang beralih ke tangannya, kedua telapak tangan Ian lebih hangat. Karena hal itu membuat tangannya berangsur-angsur ikut menghangat.
Tangan Lucia dengan berani menggenggam ibu jari Ian dan pria besar yang tidak berkomentar apa pun semakin mengeratkan genggamannya pada telapak tangan Lucia. Dia tanpa sadar menyandarkan kepalanya yang sebelumnya tegang ke dadanya Ian.
Sentuhan fisik yang mereka lakukan, mendengarkan suara detak jantung Ian, tidak membicarakan apa pun, dan hanya menatap hujan yang mulai gerimis di depan mereka membuat dia merasa nyaman dan ingin berlama-lama seperti itu. Dia tidak pernah menyangka, jika pelukan dari orang yang lebih besar darinya akan senyaman ini.
Kapan terakhir kali dia rileks? Ah, dia ingat .... Saat dia tertidur dalam pelukan ibunya yang sakit-sakitan.
“Sebelumnya aku hanya mendengar dari ibumu saja. Sekarang, aku ingin mendengar darimu langsung tanpa adanya paksaan .... Apa kamu serius ingin menikahiku? Kita tidak saling mengenal. Apa kamu tidak khawatir?” tanya Ian tiba-tiba membuat Lucia menunduk.
Dia kemudian mengangguk samar. Dan biarpun begitu, Ian masih bisa memahaminya.
“Ya, tanpa adanya paksaan dari siapa pun,” jawab Lucia dengan lembut. “Mas Ian juga tidak mengenalku, kan? Kita bisa saling mengenal satu sama lain ketika menjalani pernikahan nantinya.”
Tanpa Lucia sadari, Ian seketika tersenyum samar. Dan pelukan itu semakin erat menyebabkan dia juga tersenyum.
“Senang mendengarnya.”
Dia hendak menutup mata dengan suasana hati senang, namun keinginannya seketika terhenti karena Ian merusak momen tersebut.
“Sudah ada meja kosong. Ayo.”
Merasa terganggu, senyuman Lucia menghilang seketika dan menjadi cemberut.
Kenapa bisa ada meja kosong di waktu yang tidak tepat?
Karena tempat itu masih ramai dan hanya beberapa orang saja yang nekat menerobos hujan rintik-rintik, Ian tidak melepaskan tangan Lucia saat mereka berjalan melewati kerumunan orang.
Begitu mereka duduk dan memesan makanan, tidak ada lagi sentuhan dan pelukan. Dan Lucia berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi kesalnya secara gamblang.
***
Selepas makan, mereka memutuskan untuk pulang mengingat hari sudah cukup larut.
Berhenti di depan rumah yang besar, Ian bertanya. “Ayahmu sudah pulang?”
Lucia memandangi sebuah jendela tertutup gorden di lantai dasar yang masih terang sebelum mengangguk. “Ingin menemui Papa sekarang? Dia berada di ruang kerjanya.”
“Hmm. Aku ingin membahas pernikahan kita.”
Kata pernikahan kita sontak saja membuat Lucia menatapnya cepat. Sebelum Ian mencoba melepaskan seat belt, dia menyentuh tangan keras pria itu. Tentu saja Ian langsung menatapnya kaget. Tidak pernah terlintas bayangan tentang Lucia yang mengambil langkah lebih awal untuk menyentuhnya.
“Mungkin ini terdengar aneh, tapi jika bisa pernikahan kita diadakan secepatnya.”
Ya, itu memang aneh untuk Ian. Mereka belum memiliki perasaan satu sama lain, tidak juga mengenal lebih dalam satu sama lain. Ini hanya sebuah perjodohan walaupun Nadin tidak memaksanya. Begitu juga keluarga Lucia, dia yakin para orang tua memberi mereka waktu untuk saling mengenal lebih dulu. Bukannya langsung dinikahkan. Tapi kenapa wanita ini ingin sekali menikah secepatnya?
Ian menatap Lucia beberapa detik seperti menjadi kebiasaannya ketika memindai orang dengan matanya. Dan wanita itu tampak berharap alih-alih gugup atau takut dengan tatapan tanpa ekspresi yang ia buat.
Ian tidak ambil pusing dengan pertanyaannya sendiri sebelumnya. Dia menyimpan semua kebingungannya ke belakang setelah melihat wajah penuh harap Lucia. Dia kemudian mengangguk singkat. “Akan kusampaikan pada ayahmu.”
Jawaban itu membuat Lucia tersenyum lebar. Senyuman yang indah dan hidup hingga Ian seketika tertegun.
Sekarang di yakin, dia memang pria lurus.
***
“Dipercepat, ya ....”
Lukman menuangkan brendi ke dalam dua gelas lalu membawanya ke meja tamu di ruang kerjanya. Dia meletakkan satu untuk orang yang duduk di depannya, yaitu Ian, lalu satu lagi tetap ia pegang.
Dia kemudian menyandarkan tubuh dan lengannya di sandaran sofa, menyilangkan kakinya, lalu mengangguk ringan. “Oke. Aku juga ingin seperti itu. Tapi, apa kau sudah membicarakan ini dengan putriku?”
Ian mengangguk singkat. “Mungkin ini sangat mendadak, tapi saya pikir Minggu depan cukup baik. Besok saya akan kembali ke markas untuk mengajukan dokumen perizinan jika Anda tidak mempermasalahkannya.”
Lukman mengangguk lambat dan lama. Dia kemudian menatap Lucia yang duduk di single sofa yang letaknya di antara sofa panjang mereka. “Jika Cia kami tidak masalah dengan tanggal pernikahan yang cepat, aku juga tidak akan mempermasalahkannya.”
Lucia tersenyum tipis tidak sampai ke mata pada ayahnya. Seolah meyakinkan bahwa memang benar dia pun setuju.
Sedangkan Ian melirik Lucia dalam diam dengan tatapan hanya Tuhan yang tahu. Maka dari itu Lukman tidak bisa mengasumsikan apa yang tengah pria itu pikirkan.
“Baiklah, untuk acara pernikahan nanti aku akan menyiapkan dana—”
“Maaf menyela, Om Lukman, tapi seluruh biaya serahkan pada saya,” sela Ian setelah menatap Lukman dengan sikap yang sangat tenang.
Lukman menatapnya sejenak sebelum kembali mengangguk. Dia melirik anaknya yang sama tenangnya seperti Ian, wanita itu duduk manis masih mempertahankan senyuman tipis. “Oke.”
“Besok malam saya akan kemari lagi untuk membahas mengenai ini lebih lanjut bersama ibu saya.” Ian meneguk habis brendi dalam sekali minum. Kemudian berdiri, “Karena sudah larut, saya akan pamit sekarang.”
Setelah itu dia menatap Lucia sebentar ketika Lukman ikutan berdiri. Sebelum anak perempuannya bisa berdiri, dia segera menghentikannya.
“Tetap di sini, Cia. Kita akan mengobrol sebentar.”
“Baik, Pa.” Mengangguk patuh, Lucia hanya bisa melihat Ian dan Lukman keluar dari ruangan tersebut.
***
Meletakkan daging rusa di atas piring anaknya, Adeline tersenyum penuh kasih. “Venison steak, kesukaanmu.”
Zion menatap steik yang menggunggah selera di hadapannya. Daging yang merah, ada cairan merah tapi bukan darah yang berasal dari mioglobin adalah kesukaannya.
Melihat Zion yang masih bergeming, Adeline berbicara dengan lembut, “Aku dengar kamu mengurung diri seharian ini dan sama sekali belum menyentuh makanan. Apa kamu sakit, Sayang? Mama akan menghubungi dokter keluarga kita untuk mengecek kondisimu.”
Tidak menjawab ibunya, Zion mulai memegang garpu dan pisau. Namun itu sudah cukup membuat Adeline menghilangkan kekhawatirannya sedikit.
Zion memotong daging tanpa ekspresi ketika dia bertanya, “Apa kamu membutuhkan wanita? Mama akan mencarikan yang terbaik untukmu. Bagaimana dengan anak pejabat—”
“Bukankah Mama harus menyesali perbuatan Mama karena telah membohongiku?”
Adeline langsung membeku begitu juga senyumannya. “... Ya?”
Dengan bunyi yang ngilu saat pria itu menggesek pisau ke piring padahal dagingnya sudah terpotong membuat Adeline merasa tidak nyaman.
Zion menatap ibunya dingin. “Aku tahu jika Mama yang mengusulkan perjodohan ini. Bukan Lukman. Jadi, kenapa Mama berbohong?”