Bab 1: Bangkrut = Sugar Daddy

1714 Kata
*** Sudah dua kali Maggie bolak-balik memutari meja di hadapan ayahnya yang duduk dengan raut muka putus asa. Peristiwa pemecatan sang ayah membuat Maggie khawatir akan hidup mewah yang dia jalani selama ini. Wanita itu menatap serius kukunya yang cantik. Dia membayangkan betapa jelek kuku itu jika tiga minggu saja kuku itu tak dirawat. Dengan kasar Maggie mengempaskan pantatnya duduk di atas sofa. "Dad dipecat?" Maggie menanyakan pertanyaan itu sekali lagi. Seperti sebuah mimpi buruk yang tak pernah diharapakan gadis itu mampir ke dalam hidupnya. Kenapa harus dia yang mengalami itu? Maggie melanjutkan, "Lalu bagaimana denganku? Aku tidak bisa hidup miskin, Dad. Bagaimana dengan kehidupan mewahku? Ini sangat berat bagiku, Dad!" Maggie tidak memiliki ide. Masih sulit baginya untuk meninggalkan semua kemewahan yang pernah ia capai. Seminggu sekali dia mengecat rambut di hair salon dan menata kuku di nail salon. Maggie pusing harus bagaimana lagi. Hanya ayahnya sumber penghasilan Maggie. Dia hanyalah wanita berumur dua puluh tahun yang manja dan suka berfoya-foya. Tanpa keahlian. Tidak, kecantikan adalah satu-satunya daya pikat yang ia miliki. Wanita itu mengambil majalah Vogue di depannya. Melihat betapa cantiknya Kendall Jenner di cover majalah itu. Kendall Jenner sedang memakai gaun dari Armani serta sepatu hak tinggi dari Stuart Weitzman. Bagaimana lagi Maggie bisa mendapatkan kemewahan seperti yang Kendall miliki? Haruskah dia mencuri? Tidak! sangat bukan perilaku kaum sosialita. "Dad tidak bekerja lagi, Maggie. Kau harus mengerti kondisi Dad. Ini bukan keinginan Dad juga," kata Philip mengingatkan. Lelaki bernama lengkap Phillip Gomez mengubah posisi duduknya. Berusaha menenangkan putrinya. Dia bekerja di salah satu perusahaan investasi berisiko dan Philip ditipu. Kini segalanya lenyap dalam sekejap mata. Philip menatap fokus ke anak perempuan satu-satunya. Kasihan juga melihat gadis muda itu harus hidup miskin. Maggie membuang kasar majalah yang ada di tangannya ke lantai. Dia meremas kasar rambut pirang keemasan yang selalu membuat mata pria terpana. Rambut hasil cat setiap satu kali seminggu. Kini hiasan kepalanya itu tidak ada artinya. "Tidak bisa, Dad. Ini masalah pola hidup, ini adalah masalah gaya hidup. Bagaimana dengan rambut dan kuku milikku? Semua perempuan seusiaku seperti ini," sela Maggie. Dia tak mau kalah. Dia masih menuntut haknya sebagai anak gadis seorang Phillip Gomez. Sampai sang ayah mulai berpikir sembari matanya tetap memandangi anak perempuannya. Lelaki itu menghela napas. "Dad punya solusi untukmu. Tapi ini menyangkut harga dirimu. Dad tidak yakin kamu akan setuju." Phillip mengatakan dengan nada sedikit rendah. Dia tidak ingin putrinya menderita tanpa harta. Kemewahan adalah kebahagiaan Maggie dan kini dia sudah tidak bisa memberikan hal itu pada putrinya. "Apa itu?" Maggie penasaran. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan ayahnya. Dia yang tadi berdiri memilih duduk kembali di atas sofa berwarna merah jambu di ruang tamu itu. Warna sofa yang sangat disukai Maggie. Pink adalah warna kesukaan semua cewek. Bukan cuma perempuan bahkan lelaki juga. Jeffre Star seorang pria, Youtuber kecantikan Amerika mengklaim dia telah mengoleksi setengah pink di dunia. Philip meneguk bir di gelasnya. "Ingat dengan Sam?" Pria yang selalu mengejar-ngejar Maggie. Bagaimana Maggie bisa melupakan pria itu? Ayahnya selalu bercerita tentang Sam, tetapi Maggie tidak pernah mau mendengarkan. "Sam ingin menjadikanmu kekasih. Dia bersedia membiayai kehidupan mewahmu itu. Asal kamu mau hidup bersama dia." Maggie menggeleng tidak percaya. Sam mungkin seusia dengan ayahnya? Itu sungguh ide buruk. Membayangkan ia harus berkencan dengan lelaki tua. "Sugar Daddy?" Teman-teman Maggie yang kurang mampu memang punya Sugar Daddy, seorang pengusaha tua yang mau membiayai gadis yang lebih muda. Maggie tak pernah berpikir mau menjadi Sugar Baby, sebutan untuk pasangan Sugar Daddy. "Teman Dad? Berapa usia dia? Jangan bilang Dad menjualku padanya? Aku bukan w**************n, Dad," tegas Maggie. Dia tidak menyangka ayahnya menjerumuskan dia dalam jurang kenistaan. Bagaimana bisa Maggie kencan dengan pria tua? Maggie memegangi kepalanya yang terasa pening. Kalau tidak diterima dia bakal hidup miskin. Kalau diterima Maggie akan akan malu. "Sam masih muda, Maggie. Dia berumur 34 tahun. Dia adalah pria mapan. Punya bisnis di Hollywood, dia punya akses untuk bertemu artis besar. Hidupmu akan bahagia jika bersamanya. Dia tidak setua yang kau bayangkan." Phillip meyakinkan putrinya. Lelaki itu terpaksa menawarkan ide konyol untuk putrinya yang manja. Maggie berpikir sejenak. Berapa pun usia lelaki itu sepertinya tidak masalah, yang penting hidup mewah wanita itu terpenuhi. Semua orang yang punya bisnis di Hollywood pasti kaya raya dan tujuh generasi pun tak akan bangkrut. Hidup Maggie pasti bahagia meski dia harus menjalani hidup yang sedikit jalang. Maggie menatap langit-langit dengan cat berwarna putih di ruang tamu itu. Dia harus mengambil keputusan tepat. Masa depan menunggu dirinya. Kuku dan rambutnya harus tetap terjaga dan terawat. Wanita itu mengembuskan napas. Dia harus mengambil keputusan. Mungkin Sam bisa memberikan kebahagiaan untuknya. Perlahan ia menatap mata biru milik ayahnya. Dengan terpaksa ia menuruti saran ayahnya. Harus, atau kalau tidak ia akan menyesal. "Aku tahu ini gila." Maggie tidak kuasa mengatakan apa yang dia putuskan. Namun pada akhirnya dia ucapkan juga, "Aku setuju. Lagipula tak ada gunanya hidup tanpa harta." Maggie pasrah. Wanita dengan nama lengkap Margareth Elsa Gomez itu kembali membuka majalah Vogue yang tadi sempat dia buang di lantai. Phillip tersenyum lega, di matanya Sam adalah lelaki baik dan mapan. Maggie pasti bahagia jika hidup bersama lelaki itu. *** "Caffe luxxe, Montana Ave. Sekitar 17:00." Phillip memberitahukan alamat pada putrinya. Dia menyebutkan tempat dan waktu mereka untuk bertemu. Siang tadi Sam sudah membujuk lelaki itu. Ralat, sudah sering sekali Sam membujuknya untuk hal seperti ini. Sam adalah rekan kerja Philip sebelum dipecat. Dia mengenal Sam sebagai pengusaha yang terkenal ahli di dunia hiburan. Lelaki yang nyaris sempurna. Namun sayangnya belum punya kekasih. Sam terpesona pada Maggie saat bertemu dengan Phillip di sebuah pusat perbelanjaan tanpa sengaja. Siapa yang tidak jatuh cinta pada Maggie yang rajin merawat tubuh. Rambut lurus, tinggi tanpa ada lemak di tubuh, serta kulit coklat keemasan. Maggie menjalani hidup layaknya selebriti Hollywood. Maggie mengangguk pasrah, kini hidupnya sama seperti kumpulan setengah gadis murah kota yang berjuang karena tidak punya uang. Selalu uang dan uang yang menjadi masalah dalam hidup. Pasrah, Maggie masuk ke dalam kamarnya. Mungkin hari ini dia harus mengakhiri kebebasannya dan memulai hidup baru sebagai Sugar Baby seorang pengusaha bernama Sam. *** Sore hari, kini Maggie duduk menanti kedatangan pangeran kaya raya bernama Sam. Bukan pangeran tapi mungkin tuan besar atau pun bosnya. Gaun bermerek Donatella Versace melekat di tubuhnya, Lipkit berwarna merah cerah membuat bibir Maggie merona, kalung emas putih memajang di lehernya, ditambah lagi dengan heels setinggi enam senti bermerek Jimmy Choo di kaki jenjangnya. Maggie meletakkan tas bermerek Louis Vouitton miliknya di atas meja dengan anggun. Inilah sisa kemewahan yang terkahir dari ayahnya. Hampir sepuluh menit dia menunggu, sampai pria bernama Sam itu datang. Lelaki itu tersenyum padanya. "Maaf, Aku datang terlambat. Aku sangat sibuk, jadi baru bisa meluangkan waktu sekarang," kata Sam lalu mengambil duduk di depan Maggie. Lelaki itu memanggil pelayan kafe dan memesan Americanno untuknya sedangkan Maggie memesan Espresso. Caffe Luxxe terkenal lewat Espressonya yang nikmat. Salah satu Cafe terbaik di Santa Monica. Maggie menyeringai ke arah lelaki yang sedang memakai pakaian ala James Bond di depannya itu. "Aku tidak pandai berbasa-basi. Tapi lupakan soal keterlambatanmu itu." Maggie berucap sedikit dengan nada angkuh. Dia tidak mau memperpanjang masalah. Dia memerhatikan Sam dan pria itu tidak buruk. Tidak seperti yang dia bayangkan. Hari ini Maggie sudah menyerahkan hidupnya pada lelaki itu. Lagipula muka lelaki itu lumayan, tidak jelek sama sekali. Tubuh pria itu atletis, pasti rajin berolahraga, mata Sam berwarna hitam pekat seperti kopi, dan kulitnya yang sedikit berbintik di bagian pipi dan hidung. "Kau sedikit sombong, tidak seperti yang aku bayangkan," komentar Sam. Dia tersenyum saat mengatakan itu, memastikan dia sedang bercanda. Maggie meringis. Dia bertutur, "Kesombongan adalah bagian dari kecantikan." Maggie begitu pandai berbicara. Dia tidak percaya bisa se-lantang itu di hadapan Sam. "Kukira begitu. Karena itulah aku pilih dirimu. Kamu tahu? laki-laki selalu memandang fisik seseorang." Sam memperhatikan Maggie dan ada sedikit senyuman di sudut bibirnya. Sang pelayan datang dan membawakan pesanan mereka. Sam masih melirik Maggie dengan tatapan kagum. Wanita itu laksana dewi Afrodit, sangat cantik dan memukau. Dia mengeluarkan surat perjanjian dan menyodorkan pada Maggie. Tampak Wanita itu mengambil kertas perjanjian itu dan membacanya. Ada tiga poin penting yang masih dia ingat. Tubuhnya adalah milik lelaki itu, tak ada anak dalam hubungan mereka, dan Maggie bisa meminta apa pun pada Sam. Harta Sam adalah milik Maggie. Wanita itu tertawa kecil saat membacanya. "Serius? Kau membeli tubuhku dengan hartamu?" Sam tidak menjawab dan tetap memperhatikan Maggie. Kendati tergelak, Maggie tetap setuju, tak ada hal yang merugikan dirinya. Ada harta dan tak ada anak, sebenarnya itu adalah perjanjian yang baik. Semua gadis seperti Maggie tak butuh anak se-muda usianya. Dua puluh tahun adalah masa paling menyenangkan bagi anak gadis. "Baiklah, aku setuju," seru Maggie sambil menandatangani surat perjanjian tersebut di atas tulisan Margareth Elsa Gomez. "Aku tidak tahu pebisnis sepertimu punya pemikiran cerdas. Aku jatuh hati pada surat perjanjian buatanmu." Sam tersenyum bahagia. Akhirnya dia bisa memiliki wanita yang bernama Maggie itu. Meski harus dalam proses negosiasi. Keduanya kembali mengobrol basa-basi sekadar mengenal satu sama lain. "Jadi kamu sudah tahu tugasmu, bukan? Mulai malam ini kamu akan menjadi milikku dan kita akan tinggal di apartemenku. Aku anggap kau wanita dewasa dan mengerti apa yang harus kau lakukan," kata Sam pada wanita itu. Maggie meneguk Espresso di depannya. Malam ini ia akan menjalani kehidupan barunya sebagai Sugar Baby seorang perjaka tampan. "Oke, aku tahu. Kau tidak perlu mendikteku seolah aku gadis yang baru saja mengalami menstruasi sore ini," ujar Maggie blak-blakan. Kondisi ekonomi ayahnya membuat Maggie harus terjun ke dalam dunia yang cukup rendah dan kotor. Apalagi yang bisa dia lakukan kecuali pasrah. Hidup itu penuh perjuangan. Harga diri penting tapi hidup sengsara itu menyusahkan. Selagi ada solusi kenapa ia harus mempersulit keadaannya? Sam bangkit--memutari meja dan menatap sensual ke arah Maggie. Gairah panas memancar di mata hitamnya. Maggie bergeming, memejamkan mata. Dia membiarkan Sam meraba kulit kakinya, menyentuhnya sampai ke bagian paha. Maggie menahan napas saat sesuatu menyengat kulitnya. Dia menyukai sentuhan lelaki itu. Maggie hendak protes tapi urung ketika Sam berkata, "Jika kau berpikir kita akan melakukan itu di sini maka lupakan. Aku punya hotel di Santa Monica. Tak jauh dari sini. Ikutlah karena kau adalah milikku sekarang." Maggie terpukau. Lelaki itu sangat kaya. Dia bahkan punya hotel di Santa Monica. "Oh, Kau sangat kaya!" seru Maggie.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN