we used to be strangers

1127 Kata
Bandung, 12 Februari 2022 Sore itu aku melangkah sambil merasakan runtuhnya duniaku. Betapa hancurnya seluruh rasa yang pernah lewat sangat nyata hingga desir peredaran darahku terasa sekujur tubuh. Langkah kecilku terus bertambah, menuju eskalator turun ke lantai underground, lalu setengah berlari ke lobby dan keluar karena ojek online pesananku sudah tiba. Earphone-ku terus mengalunkan lagu yang fit-in-to his vibes. Mengingatkanku pada segelintir momen-momen kecil yang tak banyak dan tak panjang namun istimewa. Bogor, 17 Desember 2021 “Kalau kamu, kenapa suka sama silat, Len?” “Hmm… seru, Kang. Selain bikin imun tubuh jadi bagus, aku punya pelarian terbaik kalau lagi ngerasa kacau. Aku gak perlu ngancurin barang-barang rumah tapi semua energiku tersalurkan. Kang Raihan sendiri, suka olahraga apa?” tanyaku balik. “Nothing special. Tapi kalau soal olahraga beladiri, sebetulnya aku udah pernah ikut kung fu sama wushu. Kalau pencak silat kayak kamu belum pernah. Kira-kira perbedaannya apa, sih?” Begitulah percakapan kami berdua melalui video call. Aku Leana Charissa. Seseorang yang sejak 17 menit lalu berbicara denganku adalah Kang Raihan Agishtama, kakak tingkatku di kampus yang sama, namun dengan jurusan yang berbeda. Kami pertama kenal karena sebuah event kampus yang menampilkan sebuah drama musikal. Aku dan Kang Raihan sama-sama menjadi figuran, saling sapa, dan berkenalan. Tahun ini merupakan tahun pertamaku memasuki dunia perkuliahan, ditempa dengan berbagai tugas ospek dan kejutan-kejutan baru di bidang akademik. Meski begitu, seperti yang sudah kusebutkan barusan, bahwa aku tetap membutuhkan kegiatan non-akademis yang lebih ‘seni’ dan ‘olahraga’. Kebanyakan mahasiswa-mahasiswa baru sepertiku masih berada dalam masa observasi. Dunia perkuliahan dan sekolah cukup berbeda, memiliki fleksibilitas dan jangkauan yang lebih besar ketimbang dulu ketika masih menjadi siswa. Hal ini mempengaruhi berbagai kegiatan seperti drama musikal ini yang pada akhirnya merekrut lebih banyak mahasiswa yang berada di angkatan atasku. Akan tetapi, beradaptasi dengan cepat bukan suatu kesulitan untukku. Justru, ada banyak sekali topik pembicaraan yang bisa digunakan ketika mengobrol dengan orang baru, terutama kakak tingkat yang ditemui di event-event kampus seperti ini. Apalagi yang berasal dari jurusan atau fakultas lain. "Eh, La, gue mau nanya deh," panggil Kang Raihan. "Apa tuh?" "Bener gak, sih, katanya kalau kucing gak pernah kedengeran suaranya kayak mendengkur gitu artinya dia gak pernah ngerasa bahagia?" Aku tertawa pelan. Mana ada aku pernah diajari yang seperti ini di kelas? "Kayaknya mitos, deh, kang. Malah yang pernah aku denger waktu praktikum, kalau ada suara kayak gitu bisa jadi ciri-ciri kucingnya lagi sakit," jawabku. "Emangnya kenapa?" "Gue pernah denger aja, sih, kata orang kayak gitu. Soalnya kucing gue di rumah juga gak pernah kedengeran suara kayak gitu." "Bagus, dong. Kalo bersuara begitu malah takutnya lagi flu kucingnya." Kang Raihan lucu banget. Dia ikut tertawa pelan setelah mendengar jawabanku. Lagipula aku sendiri tidak tahu pasti seperti apa suara-suara yang timbul pada kucing yang sedang bahagia, dan apakah suara yang dideskripsikan Kang Raihan tadi adalah salah satu tanda bahagianya seekor kucing atau bukan. Aku cukup menjelaskan saja seperti apa isi pikiranku dan logikanya sebagai mahasiswa baru kedokteran hewan. Lagian aku 'kan masih maba. Belum jadi dokter hewan, begitu pikirku. Setelah obrolan itu selesai, kami memulai evaluasi pementasan drama musikal secara keseluruhan. Aku tidak terlalu ingat apa isi evaluasinya karena pandangan dan perasaanku tidak bisa lepas dari sosok di sebelahku. Obrolan ringan barusan seharusnya bisa berlanjut. But I don't know why I feel like I'm too stunned to speak more with him. Rasanya seperti mengagumi dia dalam sunyi sangatlah nyaman dan sempurna. Masa bodoh dengan kata orang yang bilang, "Jangan pernah berurusan dengan anak teknik. Pakarnya ghosting." Aku pikir, biarlah di-ghosting oleh orang se-mengagumkan ini. Wajar jika dia sibuk karena dia sangat cerdas, pintar, aktif, dan berkarisma. Pemikiran yang selintas terdengar menyesatkan, tapi aku benar-benar tidak peduli. Perasaan dalam diriku kembali berdebar dan lupa dengan sosok lama yang pernah kupuja selama 2,5 tahun ke belakang. Sosok yang menjadi alasan kenapa aku menjadi sangat ingin meninggalkan kota asal tempat tinggalku ini, ke kota yang kata orang sangat-sangat nyaman dan memiliki jutaan kenangan. Kota yang dulu menjadi saksi utama dari langkah pertama perjuangan ibuku untuk bisa bertahan hidup, kemudian menemukan kembali cintanya. Bu, sepertinya ini giliranku. Bedanya dari kisahku dengan kisahmu, aku sudah mulai menuliskannya, bu. Semoga tulisan ini benar-benar selesai sampai ke akhir yang bahagia. Bandung, 14 Februari 2022 Jadwal kuliahku semester ini baru keluar. Besok adalah hari pertama memasuki semester baru, blok baru. Angkatanku adalah yang pertama menggunakan sistem blok, agak menyusahkan kehidupan karena sulit untuk meminta bantuan kakak tingkat, tapi masa studi S1 ini akan menjadi lebih singkat, katanya. Tiap semester akan ada 2 blok, untuk semester ini adalah blok Hematoimmunology System (HIS) dan Dermatomusculoskeletal System (DMS). Ada berbagai macam isu mengenai kurikulum baru ini. Tapi agaknya tidak terlalu penting bagi perkembangan cerita ini. Intinya, begitulah sistem perkuliahanku. Waktunya fleksibel dan durasi kelas cenderung sedikit, tapi akan ada sangat banyak wkatu pribadi yang terbuang demi mempelajari materi yang harus dikuasai sebelum kelas dimulai. Ponselku berdering terus-menerus. Ada banyak sekali kabar dengan konteks yang beragam. Pusing, kumatikan handphone setelah menyusun seluruh buku referensi kuliah ke dalam laptop lalu menghabiskan waktu dengan tidur dan menonton serial yang belum kuselesaikan. Hari terakhir liburanku amat damai hingga satu kalimat dari ibuku terdengar memanggil dari lantai bawah, yaitu ruang tamu. "Kay, turun sini! Ada Karim datang mampir!" Astaga, kapan masa lalu akan berhenti hadir dan mencampuri urusan masa kini? Protesku dalam hati. ****** “Baik, lho, Karim dari dulu. Kenapa gak sama dia aja sih, Kay?” tanya Ibu setelah menutupkan pintu gerbang. Karim baru saja pergi dan Ibu menanyakan pertanyaan yang sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya. “Ya karena Kayla terlambat, bu. Mau gimana lagi?” “Kalau terlambat itu minta maaf dan perbaiki diri. Dari dulu waktu zaman masih sekolah pun biasanya begitu kan? Datangi guru, salim, mengaku terlambat, meminta maaf dan menerima hukuman. Kenapa gak lakukan pola yang sama ke sesama manusia?” ucap Ibu sambil berjalan kembali ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang sambil menanggapi ucapannya. “Sudah semua, bu. Hukumannya itu ya aku sekarang gak bisa punya hubungan lebih dari teman dengan Karim. Hubungan kita akan terus sama seperti ketika ketemu di SMA. Ibu gak perlu lah terus terbayang-bayang soal Karim. Kay tau ibu sangat suka dengan Karim, tapi perasaan orang lain itu bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan. Biarlah saja dia jalan dengan perempuan lain. Kay juga tidak keberatan sebagai teman baiknya.” Ibu menghela napas berat. “Susah bicara denganmu. Padahal seluruh isyaratnya sudah jelas. Kamu selalu tidak mau mengerti.” Aku mengernyit. Isyarat apa maksudnya? Jelas kabarnya Karim akan tunangan 2 bulan lagi. Kabar itu sudah terdengar sejak pekan lalu tapi kenapa Ibu masih saja berharap yang sama? Aku menggelengkan kepala. Sekali lagi tidak habis pikir dengan isi kepala ibuku. Ketika memasuki kamar, perhatianku teralihkan oleh notifikasi yang masuk dari ponselku. Sebuah pesan singkat dari Kang Raihan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN