Tiga

1777 Kata
Central Tower, gedung pencakar langit yang berada di bilangan Jakarta dengan jumlah lantai sebanyak tiga puluh dan dihuni oleh ribuan karyawan dari berbagai perusahaan. Gedung milik swasta ini memang menyewakan lantainya kepada perusahaan kecil, menengah sampai perusahaan besar yang belum mempunyai gedung operasional tersendiri. Jadi meskipun satu gedung, namun banyak diantara para penghuninya yang tidak saling mengenal karena berasal dari perusahaan yang berbeda. Alena sendiri yang bekerja sebagai tim audit, lebih sering menghabiskan waktu kerja di luar, dibanding dengan di Central Tower jadi meskipun dia pernah beberapa kali berpapasan dengan Rafa, dia tak terlalu mengenalnya, lagi pula Tommy, mantan suaminya hanya sesekali membicarakan teman-teman kerjanya saat mereka masih berstatus suami – istri kala itu. Mobil yang dikendarai Rafa keluar dari basement menuju pintu gerbang yang berada sekitar seratus meter dari gedung utama. Mendung kembali menggelayuti awan, akhir-akhir ini cuaca memang sudah memasuki musim penghujan. Setelah men-tap kartu ID parkirnya pada mesin secure parking. Mobil itupun melesat, meninggalkan tempat kerja mereka menuju rumah sakit. Tak banyak pembicaraan selama mereka di mobil, Alena terlalu berkutat dengan pemikiran mengenai masa depannya nanti. Sesungguhnya dia masih trauma menikah, tak ingin gagal untuk kedua kalinya. Tapi dia tak bisa mengelak, dia membutuhkan uang itu untuk operasi ayahnya. Dia juga ingin berusaha melupakan Tommy mantan suaminya yang terkadang masih singgah dalam ingatannya. Takut! Alena takut jatuh cinta lagi, karena takut ditinggalkan seperti yang terjadi dengannya. Dia tak mau anaknya nanti terluka lagi. Semua pikiran berkecamuk dalam otaknya, sesekali menarik napas gusar dan pelan. Menggeleng untuk mengenyahkan bayangan kelam yang mengganggunya. “Depan belok kanan,” ucap Alena pada Rafa yang masih memegang stir kemudi. Rafa membelokkan mobilnya menuju jalan khusus ke rumah sakit, terlepas dari jalan besar dan mengerem mobil itu dengan mendadak, hingga bunyi decit rem dan entakan tubuh Alena yang membentur kursi terdengar berbarengan. “Ada apa?” tanya Alena kaget. “Kenapa enggak bilang dirawat di rumah sakit ini?” Rafa memicingkan mata, menoleh pada Alena dan memberikan tatapan tajam. Alena beringsut, jelas wajah Rafa menunjukkan ketidak sukaan pada Alena. “Te-terus?” Rafa mengusap wajahnya dengan kasar, menempelkan keningnya di stir kemudi. “Ini tempat Dinda menghembuskan napas terakhir.” Sekuat tenaga dia melawan pikirannya, namun tetap tak mampu, dia bahkan ingin menangis lagi. “Maaf ... mas saya enggak tahu kalau ... .” “Ya udah enggak apa-apa,” potong Rafa, kembali melajukan mobilnya. “Kalau enggak, saya sendiri aja ke dalamnya nanti.” “Enggak apa-apa. Oke?” Rafa tak ingin di bantah. Alena hanya meremas sabuk pengaman yang menempel di tubuhnya. Dia mengangguk dan sesekali memperhatikan rahang Rafa yang mengeras. *** Rafa berjalan cepat menuju ruang administrasi, bahkan dia tak menoleh ke kanan atau kiri, tujuannya hanya satu, membayar biaya operasi itu dan langsung pulang menyiapkan pernikahannya dengan wanita yang berbeda. Dia harus tetap sibuk, agar tak berlarut-larut dalam kehancuran karena ditinggal oleh sang kekasih. Dia tak mau ibunya sampai jatuh sakit lagi karena dia yang gagal menikah. Rafa masuk ke dalam ruang administrasi diekori oleh Alena. Setelah mengutarakan maksud dan tujuannya, seorang karyawan bagian administrasi langsung menyerahkan dokumen untuk di tanda tangani Alena. Rafa men-transfer sejumlah uang untuk deposit biaya operasi dan perawatan ayah Alena. Setelah menyelesaikan administrasi, dia pun bergegas pergi dari situ, bau rumah sakit mengingatkannya akan kepergian Dinda, wanita yang sangat dicintainya. Alena masuk ke dalam ruang rawat ayahnya setelah sempat berbincang dengan dokter tadi, sesuai rencana, besok pagi ayah akan segera di operasi. Nanti setelah operasi berjalan lancar, maka dia akan menceritakan perihal dirinya yang akan menikah dengan Rafa sekaligus mengenalkan pria itu. Meskipun Alena tak yakin apakah Rafa ingin kembali ke rumah sakit, mengingat calon istrinya meninggal di sini, di tempat yang sama dengan ayahnya dirawat. Lain halnya dengan Rafa, pria itu segera mengunjungi tempat percetakan undangan. Disana telah menunggu salah satu temannya yang memang mempunyai jasa percetakan undangan. Rafa merombak total undangan pernikahannya dari nama mempelai dan juga orangtua mempelai, dia bahkan merubah desainnya, karena tak mungkin menggunakan desain yang sama dimana terpampang fotonya dengan Dinda. Rafa melanjutkan kesibukan hari ini dengan menuju tempat wedding organizer, mereka bahkan kaget ketika Rafa bilang pernikahan tetap berjalan namun tidak dengan mempelai yang sama tentu saja. Karena itu dia pun merubah set pernikahannya kelak, tadinya beberapa foto dirinya dan Dinda akan menghiasi beberapa sudut tempat resepsi dan video singkat perjalanan kisah cinta mereka yang akan diputar pun terpaksa di batalkan. Termasuk merubah warna pink kesukaan Dinda menjadi warna putih saja agar natural. Kesibukkan, setidaknya membuat dia tak sempat menangis, ya menangisi kepergian Dinda. Sempat berkunjung ke keluarga Dinda dan mengatakan bahwa pernikahan akan tetap berlangsung dengan wanita lain. Tentu keluarga Dinda agak keberatan terutama kakak Dinda yang sepantar dengan Rafa, dia bahkan menampar Rafa karena merasa Rafa telah menghianati adiknya. Makam adiknya yang belum kering, tapi Rafa malah nekat melanjutkan pernikahan. Ibu Dinda kembali jatuh pingsan. Rafa hanya bergeming, setelah kemarahan mereka reda, Rafa baru menjelaskan kalau orangtuanya pun sama terpukulnya dengan mereka, bahkan ibunya sampai masuk rumah sakit. Dia tak mau ibunya tertekan melihat dirinya yang terpuruk jadi dia ingin melanjutkan semuanya, meski tanpa restu keluarga Dinda. Ayah Dinda seolah paham, dia pun menyetujuinya meskipun semua wanita di rumah itu membenci keputusan ayah Dinda yang tetap membiarkan Rafa melaksanakan resepsi pernikahan. Lain halnya dengan orangtua Rafa, ibu Rafa tampak senang melihat anaknya tak berlarut dalam kesedihan seperti yang dialami kakaknya. Dia tak sabar untuk bertemu dengan calon istri dari anaknya itu. *** Seminggu setelah operasi, kondisi ayah Alena yang sudah mulai pulih dan diperbolehkan pulang oleh dokter. Keluarga Rafa datang melamar secara resmi pada keluarga Alena. Alena menjelaskan pada keluarganya sebelumnya, kalau dia telah lama mengenal Rafa dan bersedia menikah dengan lelaki itu menggantikan mendiang kekasihnya yang telah meninggal seminggu lalu. Awalnya ayah Alena sempat keberatan, tapi Alena berhasil meyakinkan keluarganya tentang itu. Dia berjanji akan menjalani pernikahan yang bahagia kali ini. Ibu Alena hanya terdiam, dia tahu pasti ada satu hal yang membuat Alena mau menikah dengan Rafa. Yang ibu Alena tahu, Alena merupakan tipikal wanita yang sulit jatuh cinta, namun jika sudah cinta pada seorang pria, wanita itu akan susah melupakannya. Seperti pada mantan suaminya, ibunya sangat tahu bahwa sampai kini pun Alena masih mencintainya meski lelaki itu sering menyakitinya. Dia berharap Alena kali ini tidak salah pilih lelaki. Dia menginginkan kali ini kali kedua sekaligus terakhir pernikahan putrinya, meskipun sebagai ibu dia mampu melihat bahwa saat ini mata Rafa terasa mati tak bersinar layaknya calon pengantin lain. Entahlah? Toh pernikahan pertama Alena yang katanya dengan cinta itu pun bisa kandas di tengah jalan. Meninggalkan dua anak pula. Pada awalnya semua orang kaget dengan keputusan Rafa yang tetap menikah, mereka berfikir Rafa tak jadi menikah. Termasuk Tomy yang sangat syok sampai berkali-kali memastikan pada Rafa bahwa wanita yang akan dinikahi rekan kerjanya itu adalah Alena, mantan istrinya. Setelah Rafa menunjukkan foto saat dia melamar Alena, barulah Tomy percaya. Dan entah mengapa hatinya menyisakan sedikit perih melihat mantan istrinya akan menempuh hidup baru? *** Detik berganti begitu pula jam yang terus berputar hingga ke hari pernikahan yang sangat meriah, tak ada yang dikurangi dari pesta itu sama sekali. Semua berjalan lancar dan normal, hanya tatapan para tamu undangan yang memandang aneh pada dua insan diatas sana, karena kondisi ayah Alena yang belum pulih sepenuhnya. Pria itu bersama ibu Alena hanya menemani saat akad nikah. Dan saat Resepsi Alena seorang diri, bahkan kedua anaknya pun diajak oleh sang ibu pulang kerumah. Beruntung kedua orangtua Rafa nampak menyambutnya, ibu Rafa berdiri disamping Alena sementara Ayah Rafa disamping putranya. Beberapa teman dekat Rafa tampak tersenyum simpati pada Rafa, tentu mereka tahu Rafa melakukan ini karena terpaksa dan pasti karena suatu alasan yang penting. Mereka tahu cinta Rafa pada Dinda terlalu besar. Yang tak mungkin dengan mudah menggantikannya seperti ini. Keluarga mendiang Dinda memilih tak menghadiri acara yang pasti akan menyakiti hati mereka. Maka mereka memutuskan untuk pergi berlibur, jauh dari hiruk pikuk kota Jakarta. Terlalu sakit mengingat peristiwa ini, dimana putrinya yang harusnya berbahagia, kini justru berada di liang lahat. Sendirian dan mungkin kedinginan. Acara berakhir pukul empat sore, setelah mengantar Alena ke kamar hotel. Rafa langsung pergi meninggalkan Alena. Alena membuka gaun pernikahan indahnya dengan kesedihan. Kehidupan barunya dimulai kini. *** Rafa memarkirkan mobilnya di depan sebuah tempat pemakaman umum. Mengeluarkan se-bucket bunga Lili putih yang sangat cantik, mendung menyambutnya. Dia mengenakan kemeja hitam dan celana bahan berwarna hitam, juga kacamata hitam yang membingkai matanya yang sipit. Tangan sebelahnya dimasukkan saku, sementara tangan yang satunya menggenggam bunga itu. berjalan gontai di tengah jalan setapak pemakaman yang tampak terawat itu. Tetes gerimis menambah syahdu sore ini. Langit tampak kelabu dan angin dingin sesekali bertiup melewatinya. Langkah Rafa berhenti pada sebuah makam yang tampak masih baru, belum ditumbuhi rumput hijau seperti yang lain. Tanah merah itu tampak masih menggunung, juga batu Nisan yang seolah baru saja terpasang. Tersenyum getir, Rafa berjongkok depan nisan itu. Membuka kacamata dan meletakkan bucket bunga lili tepat di depan nisan bertuliskan Adinda Khairani. “Hai jelek,” sapa Rafa mengusap batu nisan itu. Jelek adalah panggilan sayang Rafa pada wanita itu karena semua juga tahu bahwa Dinda termasuk wanita yang sangat cantik. “Ngapain sendirian disana? Nggak kangen sama aku?” Rafa mulai menunduk, hidungnya memerah tampak menahan haru. “Hari ini harusnya merupakan hari yang paling bahagia bagi kita. Kamu tahu? Aku tetap menikah hari ini ... lihat cincin ini? Aku menikahi wanita yang nggak aku kenal sepenuhnya. Kamu tahu kan aku sayang banget sama ibu, tapi ... aku rasa itu bukan alasan utama aku.” Rafa mengangkat wajahnya. “Lihat! Aku egois kan? Aku takut sendirian, aku takut ... aku takut ingin menyusul kamu, dan membuat kamu sedih. Lihat aku sakit aja kamu nangis. Apalagi kalau aku sampai bunuh diri? Aku berusaha menggantikan kamu, meskipun aku tahu kamu tak akan pernah terganti sampai kapanpun. Aku enggak tahu mau dibawa kemana pernikahan ini? Apa aku bisa menyayanginya seperti aku menyayangimu? Atau aku justru membencinya?” Rafa menarik nafas panjang. “Aku tahu, saat pertama aku kehilangan kamu, kehidupan aku nggak akan lagi sama. Semua terasa berbeda, dan asing. Ku mohon maafkan aku.” Rafa mencium batu nisan itu seolah itu adalah kening Dinda, rasanya dingin sama seperti kening wanita itu saat terakhir dicium olehnya di rumah sakit. Rafa berdiri, mengusap matanya yang telah berair dan kembali memakai kacamata hitam, berjalan dengan langkah tertatih menuju mobilnya. Sesaat dia menoleh ke belakang dan menunduk, lalu masuk ke mobil menuju hotel tempat terakhir dia meninggalkan istrinya. Rafa bukan lelaki yang b******k, tapi dia tak tahu saat ini? Terkadang dia merasa apa yang dia lakukan, dan yang diucapkan diluar kendalinya sama sekali. Dan dia jauh lebih suka melamun belakangan ini. membayangkan hari-hari bahagia yang pernah dilewatinya bersama Dinda. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN